PLAAAK!!! PLAAAK!!!
Dua kali tamparan bolak-balik mendarat mulus di pipi Darren.
Darren yang sedang memeluk Kiara yang tengah menangis sontak melepaskan dekapannya dari perempuan itu saat Tatiana—sang kekasih sekaligus calon istrinya muncul tiba-tiba entah dari mana.
“Tia! Apa-apaan kamu?” tanya Darren kaget sambil memegang pipinya yang perih akibat stempel jari-jari yang dilayangkan Tatiana ke mukanya.
"Apanya yang apa-apaan?" balas Tatiana seraya memandang tajam pada Darren dengan sepasang mata bulatnya. "Tega kamu ya, Ren! Kita udah mau nikah dan tinggal selangkah lagi, tapi kamu berani-beraninya main di belakangku."
“Tia, kamu dengar aku dulu, aku nggak main belakang, aku—“
“Sudahlah, Ren! Aku paham sekarang. Jadi ini alasannya nama aku sudah diganti dengan nama orang lain di buku WO itu?”
“Tia, ini nggak seperti yang kamu bayangkan, aku bisa jelasin semuanya.” Darren berusaha menggapai tangan Tatiana dan menepis tangan Kiara yang sejak tadi bergelayut manja di lengannya.
“Lepaskan aku!” Tatiana menyingkirkan tangan Darren yang mencoba memeluknya.
Tatiana lantas beralih pada perempuan yang sejak tadi berada di dalam dekapan Darren. Perempuan itu tampak ketakutan menatap mata Tatiana yang menyala-nyala.
Dengan gerakan cepat Tatiana mengambil gelas minuman berkarbonasi yang berada di atas meja lalu menyiramnya ke arah perempuan itu. Dia terkesiap, namun sama seperti Darren, tak ada yang mampu dilakukannya.
Tatiana menginjak keras kaki Darren, sampai laki-laki itu menjerit kesakitan.
Tatiana tidak peduli. Dengan penuh kemarahan dia berbalik, tak memedulikan tatapan orang-orang di resto itu, yang masih menjadikan mereka sebagai fokus perhatian.
Tatiana segera masuk ke dalam taksi yang sejak tadi menunggunya. Selama beberapa saat dia hanya bisa duduk tanpa melakukan apa-apa. Tatiana mengatur napasnya yang sedikit sesak akibat emosi yang meluap tadi. Gemuruh di dadanya mereda setelah dia meminum setengah botol air mineral ukuran medium.
Tatiana berkaca di cermin kecil yang baru saja dia ambil dari dalam tas. Wajahnya yang tadi memerah akibat marah kini sudah kembali seperti biasa. Tatiana beralih pada matanya yang kata Darren indah. Tidak ada genangan air bening disana. Tatiana tidak menangis sama sekali. Tatiana tahu, dirinya adalah perempuan yang kuat. Air matanya terlalu berharga untuk menangisi seorang Darren yang kini sama sekali tak berharga di matanya.
“Mbak, kita ke mana?” tanya supir taksi yang sejak tadi diam menunggu Tatiana mengatakan tujuannya.
“Ke mana saja, Pak, yang penting pergi jauh dari sini.”
“Tapi, Mbak, jauhnya ke mana?” Supir taksi bertanya bingung. Tidak tahu harus membawa Tatiana ke mana.
“Pokoknya Bapak jalan saja dulu, nanti kalau saya bilang berhenti, ya berhenti.”
“Baik, Mbak.”
Taksi yang ditumpangi Tatiana pun bergerak dan melintasi jalan raya. Dalam diam, Tatiana kembali teringat kejadian beberapa jam yang lalu.
Tadi, Tatiana datang ke kantor wedding organizer tempat Darren mendaftarkan pernikahan mereka guna memeriksa dan meyakinkan sejauh mana persiapannya. Tapi alangkah terkejutnya dia saat menemukan fakta bahwa bukan namanya yang menjadi pasangan Darren dalam buku pendaftaran pernikahan.
“Hah! Apa? Ini bukan nama saya, Mbak. Mbak pasti salah tulis,” protes Tatiana pada perwakilan wedding organizer yang sedang berbicara dengannya.
“Nggak, Mbak Tia, Mas Darren sendiri yang mendaftarkannya. Dan, kami sudah mengonfirmasi ulang. Semua data yang ada pada kami sudah akurat,” ujar perempuan berambut ikal dengan lipstick merah tomat di hadapan Tatiana.
Tatiana menggeleng tidak percaya. Matanya menatap nanar pada tulisan berwarna hitam yang tertera di buku pendaftaran pernikahan. Bukan namanya yang tertera di sana, tapi nama perempuan lain. Bukan Tatiana Jamaica, tapi Kiara Maharani. Tatiana tidak habis pikir, bagaimana mungkin Darren salah mendaftarkan namanya?
Dari rumah, Tatiana begitu bersemangat. Apa pun yang menyangkut pernikahan selalu membuatnya antusias. Bagaimana tidak. Menikah dengan Darren, lelaki yang sangat dicintainya merupakan salah satu dari sekian banyak hal yang sudah lama diimpi-impikannya. Namun, saat mendapati kenyataan bahwa bukan namanya yang menjadi pengantin wanita, Tatiana seolah dijatuhkan dari tempat yang paling tinggi ke dasar jurang yang paling dalam.
Ah, ini pasti salah. Kesalahan besar yang teramat fatal. Kalau pihak WO tidak mau mengaku, jadi Tatiana pikir kesalahan penulisan nama itu adalah kekhilafan Darren. Pasti tidak salah lagi.
‘Aku harus menghubungi Darren sekarang dan meminta klarifikasi,’ pikir Tatiana.
Detik selanjutnya dia sudah terhubung dengan pria berusia seperempat abad itu melalui panggilan seluler.
“Ren, kamu di mana? Aku sekarang di kantor WO, tapi kenapa bukan namaku yang terdaftar? Mereka bilang nggak salah dan datanya sudah akurat. Mereka juga bilang sudah konfirmasi ke kamu. Ini pasti salah kan, Ren? Kamu salah tulis nama aku kan, Ren? Kamu pasti lagi nggak fokus kan?”
Hening. Tidak sepotong kata pun keluar dari mulut Darren sebagai jawaban atas rentetan pertanyaan Tatiana.
“Ren, kenapa kamu diam saja? Kamu dengar suaraku kan, Ren? Tolong jawab aku, Ren!” Suara Tatiana terdengar menuntut dan sangat mendesak.
Hening itu kini berganti dengan helaan napas Darren yang berat. Seperti ada sesuatu yang menggayuti hati dan membebani pikirannya.
“Darren!” panggil Tatiana semakin tidak sabar. Entah mengapa sikap laki-laki itu terlihat aneh dan tidak seperti biasa.
“Eh, iya, kamu lagi di kantor WO ya sekarang? Tunggu di sana dulu ya, sebentar lagi aku sampai.”
Akhirnya Tatiana bisa bernapas dengan lega, meski tidak sepenuhnya. “Jangan lama-lama ya, Ren!”
Tidak ada lagi sahutan dari Darren. Tatiana menjauhkan handphone dari telinganya dan melihat ke layar. Ternyata panggilan sudah terputus.
Aneh. Tidak biasanya Darren bersikap begitu. Entah apa yang terjadi padanya. Mungkin Tatiana akan mengetahuinya nanti setelah mereka bertemu.
Menunggu Darren, Tatiana duduk dengan gelisah di ruang tamu kantor WO tempatnya berada sekarang. Untuk membunuh kegalauan, Tatiana mencoba memikirkan hal yang indah-indah. Membayangkan kembali sikap Darren yang selama ini baik, perhatian, serta romantis padanya. Tanpa Tatiana sadari segaris senyum terbit di bibirnya. Kisah cinta yang mulus tanpa hambatan akhirnya akan berakhir di pelaminan hanya dalam hitungan hari. Dan setelah itu mereka akan menjadi pasangan yang paling berbahagia. Tatiana sudah tidak sabar menunggu hari itu tiba. Hari dimana dia dan Darren akan menjadi raja dan ratu sehari.
Tatiana sudah membayangkan indahnya gaun pengantin berwarna putih dengan ekor sepanjang dua meter melekat sempurna di tubuhnya. Juga stiletto yang membuat kaki panjangnya semakin jenjang.
Lalu, rambut lurus bergelombangnya akan dihiasi sebuah tiara yang membuatnya seperti seorang ratu sungguhan. Orang-orang pasti akan mengagumi wajah manisnya yang terlihat semakin jelita dengan riasan pengantin minimalis. Di sebelahnya Darren akan tersenyum bangga. Terlebih saat malam pertama Darren mendapatinya dalam keadaan yang masih suci.
Lama menunggu, Darren tak juga datang sehingga membuat kesabaran Tatiana menemui ambangnya. Perempuan itu kembali menelepon sang kekasih. Namun kali ini tidak ada jawaban.
Akhirnya Tatiana meninggalkan kantor WO dan mencari Darren di tempatnya biasa mangkal bersama teman-temannya. Dari sana Tatiana mendapat informasi bahwa ada salah satu dari temannya melihat Darren sedang berada di sebuah resto. Tatiana lantas datang ke resto itu dan menemukan Darren sedang berpelukan mesra dengan perempuan lain.
Suara decit rem mobil yang ditekan tiba-tiba membuat lamunan Tatiana tergilas habis. Tubuhnya pun terdorong ke depan.
“Astaga, Pak! Kalau nyetir hati-hati dong, Pak!”
“Maaf, Mbak, tadi ada yang menyalip dari kiri, makanya saya kaget.” Supir taksi membela diri.
“Ya sudah, Pak, saya turun di depan saja.”
Tatiana akhirnya turun dari taksi. Dia tidak punya tujuan yang jelas. Tapi saat ini dia tidak ingin pulang ke rumah. Tatiana butuh me time untuk menenangkan diri.
Melihat ada taman di sana, Tatiana pun menghampirinya. Mungkin dia bisa duduk sebentar di bangku panjang di bawah pohon rindang.
Baru saja Tatiana mendudukkan diri, sebuah pesan dari Daren masuk ke gawainya.
“Tia, maaf, aku tahu ini berat, tapi aku nggak bisa menikahi kamu karena aku mencintai orang lain. Setelah aku sadari, bukan kamu yang ternyata benar-benar aku cintai, tapi Kiara. Dia yang bersamaku tadi.”
Apa hidup memang seabsurd ini?
Mereka sudah merencanakan pernikahan dengan matang dan sekarang Darren membatalkannya begitu saja. Dua tahun pacaran tiba-tiba saja hubungan mereka kandas sebelum hari ‘H’.
Tatiana mengumpat sendiri. “Shit! Ternyata selama ini aku cuma menjaga jodoh orang. Laki-laki memang brengsek, nggak ada yang benar.”
Suara deheman seseorang membuat Tatiana memindahkan mata ke sisi kiri. Ternyata ada bangku lain di sana. Dan yang membuat Tatiana kaget, ternyata lelaki yang berdehem tadi dan sedang duduk di bangku taman itu adalah Bian, paman atau omnya Darren.
“Sendiri?” tanya Bian dari tempat duduknya.
Tatiana mengangguk pelan. Matanya memerhatikan langkah kecil Bian yang kini menghampirinya.
“Boleh aku duduk di sini?”
“Boleh,” sahut Tatiana lirih sembari menggeser posisinya.
“Kamu kenapa sendiri di sini? Darren mana?” Kepala Bian celingukan mencari sosok keponakannya.
“Aku sudah putus dengan Darren.”
“Apa? Bukannya kamu akan menikah dengan Darren?” Bian menjadi heran. Setahunya Tatiana akan berumah tangga dengan keponakannya itu.
Tatiana menggelengkan kepala. “Nggak jadi, dia selingkuh. Dia baru saja membatalkan pernikahan kami,” ucap Tatiana pahit.
“Selingkuh?” Bian mengulang kata-kata Tatiana.
“Aku nggak tahu harus menamakannya apa. Tapi dia membatalkan pernikahan kami untuk menikah dengan orang lain. Apa itu bukan pengkhianatan?”
Bian menelan saliva. Dia mengerti perasaan Tatiana karena baru saja mengalami hal yang sama. “Aku juga sudah putus dengan pacarku. Dia juga selingkuh.”
“Senasib dong. Kalau gitu kita nikah aja, yuk!” ajak Tatiana asal tanpa pikir panjang.
Bian—pria kharismatik dengan wajah tidak membosankan itu pun berucap lugas, “Okay!”
Keduanya kemudian saling menautkan jari kelingking sebagai bentuk penyataan deal atau komitmen.
***
What a awkward wedding!Pikiran itu yang melintas di benak Tatiana saat berada di pernikahannya sendiri. Di ballroom hotel yang luas dan sudah didekor sedemikian lupa, nuansa adanya pesta begitu terasa. Ballroom itu didominasi oleh warna putih. Mulai dari dekorasi hingga properti, sampai pada hal-hal yang paling detail seperti taplak meja. Para undangan juga terlihat sangat menikmati aneka hidangan lezat yang disajikan. Namun, bukan itu masalahnya. Ada yang terasa janggal. Tidak seorang pun keluarga Bian ada di sana. Termasuk orang tuanya. Bian bilang mereka sedang berada di luar negeri. Tapi kenapa mereka melewatkan begitu saja momen penting dan sesakral seperti pernikahan? Apalagi yang menikah adalah anak mereka sendiri.Sudah sejak tadi kilatan lampu kamera menerpa dan menyambar-nyambar wajah Bian dan Tatiana. Sudah sejak tadi pula keduanya tak berhenti tersenyum. Tatiana merasakan mulutnya mulai pegal, dan giginya juga sudah kering. Dia melirik tangan Bian yang mengait lengannya.
“Tatiana, bisa kita bicara sebentar?” Suara Bian mengagetkan Tatiana yang sedang duduk melamun di pinggir kolam renang dengan kaki terulur ke dalam air.Tatiana menoleh. Didapatinya Bian sedang berdiri di sisi pintu. Sebuah kacamata hitam membingkai wajahnya.Tatiana bangkit dari duduk, lalu mengikuti Bian yang kembali masuk ke kamar.“Ada apa, Bi?” “Orang tuaku akan datang dari Madrid, nanti malam mereka sudah sampai. Kamu siap-siap ya!”“Madrid?”“Iya, Spanyol. Kamu tahu kan?”Tatiana mengangguk pelan. Bagaimana mungkin dia tidak tahu. Setidaknya secara geografis Tatiana paham letak negara tersebut, walaupun dia belum pernah ke sana. Jujur saja, Tatiana mengagumi salah satu pemain bola dari klub Real Madrid. Bahkan, Tatiana pernah mempunyai impian untuk mengunjungi negara tersebut. Tapi, bagi Tatiana impian itu akan selamanya tetap menjadi mimpi. Darren juga pernah bercerita bahwa Bian adalah pria berdarah campuran Spanyol dan Indonesia.Bian pergi meninggalkan Tatiana sebelum dia
Bian masuk ke kamar setelah orang tua dan adiknya pulang. Lelaki itu melihat Tatiana sedang duduk bercermin di depan kaca. Istrinya itu sedang menyisir rambut, lalu mengoleskan sesuatu ke mukanya. Mungkin semacam krim malam atau sejenis kosmetika lainnya. Bian tidak tahu apa dan tidak mau tahu. Hanya sekedar itu. Bian tidak memedulikannya. Dia lalu merebahkan diri ke tempat tidur dan menarik selimut. Tak lama dia pun tertidur.Tatiana mendesah lelah. Banyak yang ingin ditanyakannya. Nyatanya dia menelan sendiri rasa itu kala melihat Bian yang sepertinya teramat lelah. Buktinya dia memilih mendekam di bawah selimut ketimbang mengajaknya bicara.Tatiana ikut berbaring di sebelah Bian yang tidur membelakanginya. Dia harus segera memejamkan mata karena besok sudah harus kembali bekerja. Tapi yang ada, meskipun matanya terpejam, pikirannya jalan-jalan. Semua percakapan Bian dan orang tuanya tadi begitu mengganggu hati dan pikirannya. Membuatnya resah, galau, juga terhina.***Keesokan har
“Yang benar saja, Bi? Aku nggak percaya kalau dia istri kamu!” kata Gladys tidak terima. Saat ini mereka sedang berbicara di salah satu sudut lounge.“Terserah kamu percaya atau nggak. Nyatanya dia adalah istriku!” “Istri sewaan? Iya? Cuma buat manas-manasin aku kan? Nggak akan mempan, Bi! Apalagi cewek kayak gitu yang kamu sodorin ke aku,” oceh Gladys dengan ekspresi jijik.“Kayak gitu gimana, hah? Buktinya dia jauh lebih baik dari kamu.”“Cuih! Perempuan kayak gitu kamu bilang baik? Dilihat dari puncak Monas juga nggak ada bagus-bagusnya!” Gladys mengambil jeda, lantas menoleh sekilas pada Tatiana yang berdiri terpaku kebingungan sendiri.Bian ikut melirik istrinya itu. Tatiana terlihat seperti orang bingung dalam diamnya. Tatiana pasti terheran-heran dan tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Bian pun tidak ingin ambil peduli. Dia ingin menyelesaikan masalahnya dengan perempuan berbibir seksi yang kini bersamanya.“Aku nggak ngerti deh, Bi, apa bagusnya dia? Wajah biasa, pen
Tatiana mondar-mandir sendiri di kamarnya yang luas dan besar. Sudah lewat jam dua malam, tapi hingga detik ini Bian masih belum pulang. Tidak ada kabar apa pun dari lelaki itu, semisal sebaris pesan singkat. Tapi bukankah Bian tidak pernah berkabar? Apa pun yang terjadi Bian tidak akan peduli. Tatiana kembali mengingatkan diri bahwa mereka adalah dua orang asing yang dikumpulkan dalam sebuah ruangan.‘Kenapa aku harus khawatir? Dia saja tidak pernah memedulikanku. Bahkan dia meninggalkanku untuk wanita lain.'Atas pemikirannya barusan, maka Tatiana pun mencoba untuk tidur setelah merebahkan diri di tempat tidur. Diusapnya permukaan kasur yang kosong dan dingin. Sama dinginnya dengan hatinya saat ini. Semestinya Tatiana tidak perlu cemas, nyatanya dia sangat mengkhawatirkan Bian. Di mana Bian menginap sekarang? Apa di tempat perempuan itu? Pernikahan macam apa ini? Sampai kapan akan seperti ini? Tatiana larut dalam pikirannya sendiri. Entah berapa lama, sampai akhirnya dia tertidur
Pagi ini sama seperti pagi-pagi yang lain. Hampir setiap ruas jalan yang Tatiana lewati dipenuhi oleh kendaraan. Mulai dari roda empat hingga roda dua seperti Tatiana sekarang. Sebagian dari mereka Tatiana yakin adalah karyawan seperti dirinya yang sedang mengejar waktu.Tatiana hampir saja lolos dari antrian panjang di traffic light, nyatanya dia harus terjebak perangkap lampu merah lagi karena terlambat bergerak. Terpaksa Tatiana mengumpulkan lagi kesabarannya.Dari balik kaca helm yang gelap Tatiana menoleh pada Land Cruiser hitam yang ikut antri di sebelahnya. Tatiana rasa dia mengenal mobil itu. Tatiana lalu membuka kaca helm agar bisa melihat dengan lebih jelas. Mirip mobil Bian, pikirnya. Tapi bukankah di kota ini banyak yang memiliki mobil serupa? Mungkin saja itu bukan Bian. “Pak Bian, itu bukannya Ibu Tatiana?” tanya Mario saat melihat Tatiana yang juga ikut antri menunggu lampu merah bersamanya.Bian mengarahkan mata pada pandangan Mario. Iya, itu memang Tatiana. Bian mena
Fortune Corp. jam 12 siang.“Ada lagi yang harus saya lakukan, Pak?” tanya Kania, sekretaris Bian setelah menuangkan Martell XO Supreme Cognac ke dalam gelas kecil yang berisi es batu dan meletakkannya di atas meja sesuai dengan permintaan Bian. “Sedikit saja, Kania!” Itu kata Bian tadi. Dan Kania memenuhi permintaan sang atasan.“Nggak ada. Sekarang kamu boleh keluar,” suruh Bian. Dia sedang ingin sendiri tanpa direcoki siapa pun. Pikirannya saat ini betul-betul kacau sekacau-kacaunya. Dan yang Bian inginkan hanya sendiri tanpa gangguan apa pun.“Baik, Pak.” Kania lalu meninggalkan ruangan Bian.Bian memijit kecil pelipisnya dengan siku tertopang ke meja. Kepalanya yang berdenyut terasa bertambah berat. Bukan apa-apa, sejak pertemuannya dengan Gladys kemarin, Bian merasa hatinya yang sudah tenang kembali terusik. Bian tidak ingin lagi berhubungan dengan perempuan itu. Tapi semesta masih belum sepakat. Hal itu pun terbukti saat ini ketika tiba-tiba Gladys kembali muncul di hadapannya.
Kingdom Residence, 14.30.Bian melepas jas, tak lupa melonggarkan dasi, lantas menyingsingkan lengan kemeja sampai ke siku. Dirinya merasa sesak dengan atribut itu. Bian merasa butuh lebih banyak oksigen. Saat ini Bian sudah merebahkan tubuh di atas sofa abu-abu di apartemen Gladys. Sementara perempuan itu bergerak ke belakang untuk mengambil air putih.Memandangi langit-langit, Bian larut dalam pikirannya sendiri. Bagaimana mungkin dia bisa berada sini? Seharusnya jam segini dia sedang berada di kantor, memeriksa RAB yang sudah disiapkan bagian keuangan perusahaannya dan hanya tinggal persetujuannya saja. Nyatanya dia malah berada di sini. Di apartemen Gladys. Perempuan yang berprofesi sebagai script writer sekaligus penulis buku itu seolah punya kekuatan magis yang membuat Bian takluk padanya. Sebut saja Bian lemah. Tapi jangan hubung-hubungkan dengan profesi dan apa pun yang dia miliki. Cinta adalah masalah rasa. Siapa pun pernah memiliki rasa itu, atau minimal merasakannya. Jang
Tokyo pagi itu lebih dingin dari biasanya. Gerimis yang turun sejak tadi menimbulkan rasa sejuk yang menembus hingga ke tulang. Membuat sebagian orang enggan keluar dari rumah. Jangankan dari rumah, bahkan Davin terlalu malas keluar dari selimut dan memilih meringkuk di dalamnya bersama wanita tercintanya.Sudah satu tahun belakangan Davin memboyong Angel dan anak-anak ke negara sakura itu. Sesuai dengan keinginan opinya—Delta Mahendra, yang mewariskan seluruh aset padanya. Maka Davin pun menggantikan Delta yang sudah sepuh menjalankan tugas sebagai pemimpin perusahaan dan pemilik berbagai usaha.Si kembar tiga saat ini sudah berusia sembilan tahun, disusul dengan El yang tahun ini menginjak delapan tahun. Sedangkan Romeo, ini adalah tahun ketiga hidupnya di dunia. Repot? Itu pasti. Pusing apalagi. Sering kali terdengar keributan di rumah itu. Semakin bertambah usia anak-anak rumah itu semakin ramai dan ricuh. Setiap hari ada saja yang diributkan. Yang besar suka mengganggu, sedangka
Lima tahun kemudian.Davin mondar-mandir sepanjang lorong rumah sakit. Sudah sejak tadi dia melakukan hal tersebut. Pikirannya kacau balau. Hatinya resah dan gelisah memikirkan seseorang yang berada di dalam ruangan sana. Seharusnya Davin mendampinginya, menemaninya dan tetap berada di sisinya sambil membisikkan kata-kata cinta dan semangat, serta sesekali mengecup lembut keningnya dengan tangan saling menggenggam. Namun semua itu hanya ada di dalam angan-angannya. Karena…Sembilan bulan yang lalu.Saat itu Angel dan Davin sedang bercengkerama di suatu sore di teras belakang rumah mereka. Sementara itu El dan si kembar yang sudah bersekolah di bangku taman kanak-kanak sedang bermain di taman belakang rumah yang sudah mereka modifikasi menjadi mini playground lengkap dengan kolam renang.Anak-anak yang tumbuh dan berkembang dengan sehat dan cerdas membuat keduanya bahagia. Pelan-pelan mereka mulai menunjukkan bakat, minat, serta hobi masing-masing. Si kecil El mewarisi nyaris seratus
Angel dan Davin sama-sama menghempaskan badan ke kasur begitu mereka sampai di kamar hotel. Nyaris sembilan puluh menit tayangan film di bioskop, dan keduanya tidak tahu apa-apa. Mereka ikut keluar ketika para penonton lain juga keluar saat film sudah selesai.“Duh, capek banget…,” keluh Angel sambil mengembuskan nafas.“Nggak ngapa-ngapain kenapa capek?”Mereka mungkin hanya duduk saja, tapi tingkah Davin yang terus menggerayanginya membuat Angel lelah. “Capeknya kerena kamu.”“Memangnya aku ngapain?” tanya Davin pura-pura bodoh dengan ekspresi yang membuat Angel gemas. Angel mendekat, melingkari pundak Davin dengan tangannya lalu mengecup lembut bibirnya yang hangat.“Dave, kira-kira anak-anak sekarang lagi ngapain ya?” tanyanya kemudian. Seharian ini mereka sama sekali tidak tahu bagaimana keadaan para buah hati mereka.“Mungkin udah tidur,” jawab Davin mengira-ngira sambil melirik arloji mahalnya yang limited edition itu.“Kita telfon yuk, aku kangen.”“Nggal usah, Dek, katanya
Seperti rencana yang sudah tersusun di kepalanya, Davin membawa Angel ke hotel paling mewah di kota mereka. The Sun, namanya. Hotel itu teletak di pinggir kota dan jauh dari kawasan pemukiman penduduk. Namun sengaja dibangun dengan konsep all in one building. Semuanya ada di sana. Mulai dari pusat perbelanjaan, restoran, pusat kebugaran tubuh dan kecantikan hingga playground. Tempat itu memang dirancang bagi orang-orang yang ingin menghilangkan penat dan beristirahat sejenak, namun tetap bisa memanjakan diri dengan hal-hal apapun yang mereka butuhkan.Setelah check in dan meletakkan barang-barang di kamar hotel, Davin mengajak Angel ke pusat perawatan kecantikan. Davin memang paling mengerti perempuan dan memahami istrinya. Mereka akan melakukan perawatan tubuh di sana. Berpasang-pasang mata tertuju pada pasangan ideal tersebut ketika tangan Davin membuka pintu kaca dan mempersilakan Angel masuk terlebih dahulu. Untuk sesaat mata keduanya menyapu sekitar. Menyaksikan resepsionis dan
“Kita mau ngobrolin apa, Dave?” tanya Angel di atas pangkuan Davin. Embusan nafas hangat Davin menggelitik lehernya. Membuat sekujur tubuhnya meremang. Memanggil-manggil jiwa terdalamnya untuk datang.“Aku rasa kita perlu honeymoon lagi, Sayang…,” bisik Davin dari belakang. Tangannya melingkari Angel dengan erat dan rapat.“Maksudnya mau nambah anak lagi?” sahut Angle seperti tersentak.“Lho, kok nambah anak? Memangnya orang yang pergi honeymoon itu mau nambah anak?”“Tapi biasanya kan gitu. Aku nggak mau lagi lho, Dave, udah cukup El yang terakhir,” ucap Angel sambil memberengut.Davin tersenyum kecil. Dikecupnya pundak Angel yang membuatnya gemas. “Anak itu kan rezeki. Rezeki nggak boleh ditolak kan? Aku ngajak kamu honeymoon tapi kapan-kapan, kalo El udah bisa ditinggal lama-lama. Sekarang honeymoon-nya di sini aja dulu.”Bisikan Davin di telinganya membuat Angel kian meremang. Pasti sebentar lagi Davin akan mengeksekusinya.Davin membalikkan tubuh Angel mengarah padanya sehingga s
Jujur saja selama ada Gendiz sedikit banyak meringankan Angel dan Davin. Hampir setiap hari Gendiz bermain ke rumahnya, atau memboyong anak-anak ke rumah orang tua mereka. Saking sayangnya pada para bocah, Gendiz juga menahan si kembar agar menginap bersamanya dan tidak mengantarnya pulang. Sesekali Davin dan Angel membiarkan si kembar tidur bersama Gendiz di rumah Kiano dan Adizty. Mereka yakin dan percaya sepenuhnya kalau adiknya itu bisa menjaga ketiganya dengan baik. Meskipun sepanjang malam keduanya tidak bisa memejamkan mata karena tidak terbiasa berpisah dengan anak-anak mereka.“Kalian kalo mau kencan, pergi aja, biar anak-anak aku yang urus,” ucap Gendiz pada suatu hari. Melihat keseharian Angel yang disibukkan dengan mengasuh, menjaga, merawat dan mengurus anak-anaknya membuat Gendiz merasa kasihan. Begitu pula dengan Davin yang terlalu sibuk bekerja dari pagi hingga sore. Kadang sampai senja atau malam. Pasti keduanya butuh waktu untuk hanya berdua saja tanpa direcoki anak-
“Halo, Mbak Angel, masih ingat sama saya?” Suara Nilam mengagetkan Angel yang berdiri di tempatnya dan belum bergeming sejak berdetik-detik yang lalu.Angel maju beberapa langkah mendekati Gendiz dan Nilam. “Tentu saja aku ingat. Kamu yang dulu resek kan? Yang suka menggoda suamiku?” sahut Angel tidak suka. Kehadiran Nilam membuatnya merasa tidak nyaman. Bukan karena dia takut akan kehilangan Davin, tapi tingkah Nilam begitu meresahkan.“Hehe…” Nilam tertawa canggung sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. “maaf ya, Mbak Angel, tapi Mbak Angel jangan salah sangka dulu sama saya. Maksud saya baik kok. Saya hanya ingin menguji kadar cinta Mbak Angel sama mas Davin. Dan ternyata Mbak Angel cemburu sama saya. Hehehe…,” ucap Nilam penuh percaya diri.Angel tidak mengerti dengan gadis di hadapannya. Setelah minta maaf, eh bisa-bisanya bicara sesantai itu. Tidak ingin ambil pusing, Angel beralih pada Gendiz dan memeluk adik iparnya itu. Wangi vanila dari tubuh dan rambut Gendiz me
“Halo, Mas Davin, masih ingat siapa saya?” Nilam memamerkan senyum lebar pada Davin yang termangu saat beradu mata dengannya. Nilam harap pemuda tampan yang menawan hatiya sejak awal perkenalan itu tidak melupakannya.Davin membalas senyum Nilam sekenanya dan berbasa-basi sekadarnya. “Hai, apa kabar?”“Baik, Mas, bapak sama ibu juga sehat. Mereka titip salam buat Mas Davin.”“Terima kasih,” jawab Davin singkat, lalu segera menarik tangan Gendiz menjauh dari sana diiringi tatapan penuh tanda tanya Kiano, Adizty serta Nilam. Sedangkan anak-anak sibuk bermain dengan bonekanya.“Ada apa sih, Dave?” tanya Gendiz tidak mengerti karena Davin menarik tangannya tiba-tiba.“Ndiz, kenapa kamu bawa dia ke sini?” Suara Davin setengah berbisik. Meskipun saat itu mereka berada di ruangan yang terpisah, tapi bisa saja dinding mempunyai telinga dan menyampaikannya.“Maksudnya Nilam?”“Iya, siapa lagi kalo bukan dia,” jawab Davin kesal. D
“Dave, jangan lupa nanti jemput anak-anak di rumah mami,” kata Angel mengingatkan saat menelepon Davin melalui panggilan video sore itu, meskipun dia tahu kalau Davin tidak akan pernah melupakan hal tersebut.Davin tersenyum sambil merebahkan kepala ke sandaran kursi. Mendengar suara Angel mengusir penat yang menderanya.“Iya, Dek, aku nggak akan lupa kok. Mana mungkin aku bisa lupa. Kamu pasti modus kan?”“Modus apa?”“Bilang aja kalo sebenarnya kamu lagi kangen sama aku, pengen dengar suara aku terus pake alasan mengingatkan aku biar nggak lupa jemput anak-anak.”“Ih, apaan sih, Dave?” Angel tertawa saat merasakan pipinya menghangat digoda Davin.“Jadi serius kamu nelfon aku cuma buat kasih tahu jemput anak-anak?”“Kangen juga sih sebenarnya.”“Tuh kan ngaku akhirnya.” Davin tertawa karena berhasil menggoda Angel dan membuatnya mengakui perasaannya. “Aku juga kangen kamu, suara kamu itu bagai candu buat aku. Kamu nelfon kayak gini udah bikin aku bersemangat dan ngilangin semua rasa