“Tatiana, bisa kita bicara sebentar?” Suara Bian mengagetkan Tatiana yang sedang duduk melamun di pinggir kolam renang dengan kaki terulur ke dalam air.
Tatiana menoleh. Didapatinya Bian sedang berdiri di sisi pintu. Sebuah kacamata hitam membingkai wajahnya.Tatiana bangkit dari duduk, lalu mengikuti Bian yang kembali masuk ke kamar.
“Ada apa, Bi?”
“Orang tuaku akan datang dari Madrid, nanti malam mereka sudah sampai. Kamu siap-siap ya!”
“Madrid?”
“Iya, Spanyol. Kamu tahu kan?”
Tatiana mengangguk pelan. Bagaimana mungkin dia tidak tahu. Setidaknya secara geografis Tatiana paham letak negara tersebut, walaupun dia belum pernah ke sana. Jujur saja, Tatiana mengagumi salah satu pemain bola dari klub Real Madrid. Bahkan, Tatiana pernah mempunyai impian untuk mengunjungi negara tersebut. Tapi, bagi Tatiana impian itu akan selamanya tetap menjadi mimpi. Darren juga pernah bercerita bahwa Bian adalah pria berdarah campuran Spanyol dan Indonesia.
Bian pergi meninggalkan Tatiana sebelum dia sempat bertanya banyak.
Kamu siap-siap ya! Kalimat Bian itu terngiang jelas di telinga Tatiana. Perempuan itu mengartikan kata siap-siap itu dengan berpakaian yang rapi serta berdandan secantik mungkin. Tapi sepertinya tidak hanya itu. Setidaknya Tatiana harus menyambut sang mertiua dengan sesuatu yang berbeda. Tapi apa?
Tatiana berpikir keras sampai akhirnya sebuah ide cemerlang melintas di kepalanya. Mengapa dia tidak menggunakan keahliannya saja?
Tatiana kemudian keluar dari kamar menuju dapur. Banyak hal yang bisa dilakukannya di sana. Tangannya sudah gatal untuk mengotori dapur yang rapi dan bersih itu.
“Eh, Bu Tia!” sapa Lina saat melihat Tatiana muncul.
“Bi, apa Bibi punya tepung gandum dan keju?”
“Kebetulan sekali nggak ada, Bu.” Lina ingat betul, bahan yang dimaksud baru saja habis setelah dia menggunakannya kemarin sore.
“Kalau begitu bisa bantu saya membelinya, Bi?”
‘”Tentu saja bisa, Bu,” sahut Lina cepat.
Tatiana lalu menuliskan bahan-bahan yang diperlukan di secarik kertas, lantas meminta Lina untuk membelikannya. Tatiana bermaksud untuk membuat cheese cake serta puding karamel sebagai hidangan untuk mertuanya nanti. Tatiana tidak tahu seperti apa selera mertuanya. Yang jelas dia sudah berusaha melakukan yang dia bisa.
***
Tepat jam delapan malam, Camila serta Jamie Danner—orang tua Bian datang. Ada Reinhard juga bersama mereka. Reinhard yang sering dipanggil Rei itu adalah adik kandung Bian. Tatiana sudah mengenal Rei sebelumnya. Tapi hanya nama, bukan secara personal. Dan itu pun dari cerita sekilas Darren.
“Jadi ini istri kamu, Bi?” kata Camila pada Bian setelah dia mengenalkan Tatiana.
Tatiana berusaha bersikap rileks, tapi tatapan mengawasi Camila yang menilainya dari atas kepala hingga telapak kaki membuatnya merasa terintimidasi.
“Apa kabar, Bu?” Tatiana tersenyum ramah.
“Hah? Ibu? Kamu memanggil saya ibu?” ucap Camila penuh protes seraya memandang Bian meminta penjelasan.
Mengerti maksud Camila, Bian pun mencoba menerangkan pada Tatiana. “Tia, jangan panggil ibu, panggil mami, seperti aku.”
Tatiana mengangguk pelan dan mengulangi sapaannya tentu saja setelah meralat seperti yang disampaikan Bian tadi.
“Apa kabar, Mi? Saya Tatiana, istri Bian.”
“Baik!” Camila menyambut setengah hati uluran tangan Tatiana yang ingin berjabatan dengannya.
Dari caranya itu Tatiana jadi tahu bahawa Camila tidak menyukainya. Namun Tatiana mencoba untuk tetap positif thinking.
Sikap Jamie Danner, lelaki bertubuh tinggi dengan iris mata coklat jauh lebih hangat meskipun tidak banyak berbicara. Tadi Lina sempat bercerita bahwa Camila, ibu Bian adalah orang Indonesia asli yang menikah dengan Jamie Danner, lelaki berkebangsaan Spanyol. Setelah bertemu langsung dengannya Tatiana jadi tahu bahwa Bian mewarisi hampir seratus persen kerupawanan fisik ayahnya itu.
Reinhard, lelaki gagah tapi mukanya jauh berbeda dengan Bian juga sangat ramah padanya.
“Senang bisa kenal sama kamu, Tatiana.”
“Saya juga, senang menjadi bagian dari keluarga ini,” balas Tatiana. Dari sudut mata dia bisa merasakan tatapan tidak suka Camila padanya.
‘Apa aku salah bicara?’ batin Tatiana.
“Mi, Pi, ayo kita makan dulu!” ajak Bian sembari merangkul mesra pinggang Tatiana.
Tatiana menegang saat tangan Bian menyentuh tubuhnya. Sentuhan pertama di badannya selain tangan.
Bian bersikap hangat dan mesra sepanjang makan malam mereka. Lelaki itu seakan ingin menunjukkan bahwa dia begitu bahagia menikah dengan Tatiana.
“Nyonya Camila, silahkan dicicipi puding dan cake-nya. Ini yang bikin Ibu Tia,” ujar Lina saat menyajikan hasil baking Tatiana. Saat itu mereka semua baru saja menyelesaikan sesi makan malam.
Jamie, Reinhard, serta Bian mencicipinya. Pun dengan Camila. Komentar yang keluar dari mulutnya setelah itu membuat lubang di hati Tatiana.
“Rasanya biasa saja. Lain kali gunakan bahan-bahan premium, jangan yang kiloan.” Camila membuang ke piring potongan cheese cake yang sempat dicicipinya segigit.
“Enak kok, Mi, aku aja suka,” bela Reinhard sambil mengambil sepotong lagi irisan cheese cake. “Pudingnya juga enak,” pujinya lagi setelah meloloskan sesuap demi sesuap puding karamel buatan Tatiana ke dalam perutnya.
“Mungkin Mami hanya belum terbiasa dengan masakan Tia.” Bian ikut membela istrinya.
“Iya, Mi, masa masakan menantu kita selezat ini Mami bilang nggak enak.” Jamie ikut bersuara.
Camila tak bicara lagi karena merasa tersudut oleh anak serta suaminya.
Acara makan malam keluarga yang ditutup dengan menikmati dessert pun berakhir. Mereka berkumpul di ruang tamu. Sedang Tatiana memilih tetap berada di belakang. Perempuan itu membantu Lina membereskan meja makan, kemudian mencuci piring di wastafel.
“Bu Tia, nggak usah, ini semua pekerjaan saya, biar saya yang menyelesaikannya. Bu Tia ke depan saja,” ucap Lina merasa tidak enak hati melihat Tatiana yang turun tangan membantunya.
“Nggak apa-apa, Bi, saya sudah biasa kok.” Dulu, di rumahnya Tatiana memang sudah biasa melakukan pekerjaan rumah seperti ini sehingga saat tinggal di rumah Bian kebiasaan itu ikut terbawa.
“Bu Tia ke depan saja ya, nanti Pak Bian bisa marah sama saya,” ulang Lina.
Tatiana terseyum tipis, lantas mencuci tangan yang penuh busa cairan pencuci piring. Memangnya seperti apa Bian kalau marah?
Langkah kaki Tatiana tertahan sesaat sebelum mencapai ruang tamu. Bukan bermaksud menguping. Tapi telinganya yang masih berfungsi dengan baik mendengar semuanya.
“Bian, bisa-bisanya kamu menikah dengan dia tanpa izin Mami dan Papi.” Terdengar suara Camila yang diucapkan dengan nada tinggi.
“Mi, aku sudah dewasa. Aku berhak menentukan pilihan sendiri,” kata Bian membela diri.
“Tapi setidaknya kamu tunggu Mami dan papi pulang dari Madrid dulu, bukan mendadak seperti ini. Ada apa sih sebenarnya?”
“Nggak ada apa-apa, Mi. Aku hanya ingin menikah.”
“Tanpa kehadiran Mami dan Papi? Apa kami tidak berarti buat kamu?”
“Mi, sudahlah, semua sudah terjadi.” Jamie membela Bian.
“Iya, Mi. Kalau Mami mau nanti aku akan membuat pesta lagi,” ucap Bian. Kepalanya mulai sakit mendengar ocehan Camila.
“Bukan itu masalahnya, Bian. Tapi siapa perempuan itu sebenarnya? Datang dari keluarga mana? Apa pekerjaannya? Mami tidak suka sama dia.”
“Nggak penting dia datang dari mana dan apa pekerjaannya, Mi. Yang penting aku mencintainya,” jawab Bian tegas.
***
Bian masuk ke kamar setelah orang tua dan adiknya pulang. Lelaki itu melihat Tatiana sedang duduk bercermin di depan kaca. Istrinya itu sedang menyisir rambut, lalu mengoleskan sesuatu ke mukanya. Mungkin semacam krim malam atau sejenis kosmetika lainnya. Bian tidak tahu apa dan tidak mau tahu. Hanya sekedar itu. Bian tidak memedulikannya. Dia lalu merebahkan diri ke tempat tidur dan menarik selimut. Tak lama dia pun tertidur.Tatiana mendesah lelah. Banyak yang ingin ditanyakannya. Nyatanya dia menelan sendiri rasa itu kala melihat Bian yang sepertinya teramat lelah. Buktinya dia memilih mendekam di bawah selimut ketimbang mengajaknya bicara.Tatiana ikut berbaring di sebelah Bian yang tidur membelakanginya. Dia harus segera memejamkan mata karena besok sudah harus kembali bekerja. Tapi yang ada, meskipun matanya terpejam, pikirannya jalan-jalan. Semua percakapan Bian dan orang tuanya tadi begitu mengganggu hati dan pikirannya. Membuatnya resah, galau, juga terhina.***Keesokan har
“Yang benar saja, Bi? Aku nggak percaya kalau dia istri kamu!” kata Gladys tidak terima. Saat ini mereka sedang berbicara di salah satu sudut lounge.“Terserah kamu percaya atau nggak. Nyatanya dia adalah istriku!” “Istri sewaan? Iya? Cuma buat manas-manasin aku kan? Nggak akan mempan, Bi! Apalagi cewek kayak gitu yang kamu sodorin ke aku,” oceh Gladys dengan ekspresi jijik.“Kayak gitu gimana, hah? Buktinya dia jauh lebih baik dari kamu.”“Cuih! Perempuan kayak gitu kamu bilang baik? Dilihat dari puncak Monas juga nggak ada bagus-bagusnya!” Gladys mengambil jeda, lantas menoleh sekilas pada Tatiana yang berdiri terpaku kebingungan sendiri.Bian ikut melirik istrinya itu. Tatiana terlihat seperti orang bingung dalam diamnya. Tatiana pasti terheran-heran dan tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Bian pun tidak ingin ambil peduli. Dia ingin menyelesaikan masalahnya dengan perempuan berbibir seksi yang kini bersamanya.“Aku nggak ngerti deh, Bi, apa bagusnya dia? Wajah biasa, pen
Tatiana mondar-mandir sendiri di kamarnya yang luas dan besar. Sudah lewat jam dua malam, tapi hingga detik ini Bian masih belum pulang. Tidak ada kabar apa pun dari lelaki itu, semisal sebaris pesan singkat. Tapi bukankah Bian tidak pernah berkabar? Apa pun yang terjadi Bian tidak akan peduli. Tatiana kembali mengingatkan diri bahwa mereka adalah dua orang asing yang dikumpulkan dalam sebuah ruangan.‘Kenapa aku harus khawatir? Dia saja tidak pernah memedulikanku. Bahkan dia meninggalkanku untuk wanita lain.'Atas pemikirannya barusan, maka Tatiana pun mencoba untuk tidur setelah merebahkan diri di tempat tidur. Diusapnya permukaan kasur yang kosong dan dingin. Sama dinginnya dengan hatinya saat ini. Semestinya Tatiana tidak perlu cemas, nyatanya dia sangat mengkhawatirkan Bian. Di mana Bian menginap sekarang? Apa di tempat perempuan itu? Pernikahan macam apa ini? Sampai kapan akan seperti ini? Tatiana larut dalam pikirannya sendiri. Entah berapa lama, sampai akhirnya dia tertidur
Pagi ini sama seperti pagi-pagi yang lain. Hampir setiap ruas jalan yang Tatiana lewati dipenuhi oleh kendaraan. Mulai dari roda empat hingga roda dua seperti Tatiana sekarang. Sebagian dari mereka Tatiana yakin adalah karyawan seperti dirinya yang sedang mengejar waktu.Tatiana hampir saja lolos dari antrian panjang di traffic light, nyatanya dia harus terjebak perangkap lampu merah lagi karena terlambat bergerak. Terpaksa Tatiana mengumpulkan lagi kesabarannya.Dari balik kaca helm yang gelap Tatiana menoleh pada Land Cruiser hitam yang ikut antri di sebelahnya. Tatiana rasa dia mengenal mobil itu. Tatiana lalu membuka kaca helm agar bisa melihat dengan lebih jelas. Mirip mobil Bian, pikirnya. Tapi bukankah di kota ini banyak yang memiliki mobil serupa? Mungkin saja itu bukan Bian. “Pak Bian, itu bukannya Ibu Tatiana?” tanya Mario saat melihat Tatiana yang juga ikut antri menunggu lampu merah bersamanya.Bian mengarahkan mata pada pandangan Mario. Iya, itu memang Tatiana. Bian mena
Fortune Corp. jam 12 siang.“Ada lagi yang harus saya lakukan, Pak?” tanya Kania, sekretaris Bian setelah menuangkan Martell XO Supreme Cognac ke dalam gelas kecil yang berisi es batu dan meletakkannya di atas meja sesuai dengan permintaan Bian. “Sedikit saja, Kania!” Itu kata Bian tadi. Dan Kania memenuhi permintaan sang atasan.“Nggak ada. Sekarang kamu boleh keluar,” suruh Bian. Dia sedang ingin sendiri tanpa direcoki siapa pun. Pikirannya saat ini betul-betul kacau sekacau-kacaunya. Dan yang Bian inginkan hanya sendiri tanpa gangguan apa pun.“Baik, Pak.” Kania lalu meninggalkan ruangan Bian.Bian memijit kecil pelipisnya dengan siku tertopang ke meja. Kepalanya yang berdenyut terasa bertambah berat. Bukan apa-apa, sejak pertemuannya dengan Gladys kemarin, Bian merasa hatinya yang sudah tenang kembali terusik. Bian tidak ingin lagi berhubungan dengan perempuan itu. Tapi semesta masih belum sepakat. Hal itu pun terbukti saat ini ketika tiba-tiba Gladys kembali muncul di hadapannya.
Kingdom Residence, 14.30.Bian melepas jas, tak lupa melonggarkan dasi, lantas menyingsingkan lengan kemeja sampai ke siku. Dirinya merasa sesak dengan atribut itu. Bian merasa butuh lebih banyak oksigen. Saat ini Bian sudah merebahkan tubuh di atas sofa abu-abu di apartemen Gladys. Sementara perempuan itu bergerak ke belakang untuk mengambil air putih.Memandangi langit-langit, Bian larut dalam pikirannya sendiri. Bagaimana mungkin dia bisa berada sini? Seharusnya jam segini dia sedang berada di kantor, memeriksa RAB yang sudah disiapkan bagian keuangan perusahaannya dan hanya tinggal persetujuannya saja. Nyatanya dia malah berada di sini. Di apartemen Gladys. Perempuan yang berprofesi sebagai script writer sekaligus penulis buku itu seolah punya kekuatan magis yang membuat Bian takluk padanya. Sebut saja Bian lemah. Tapi jangan hubung-hubungkan dengan profesi dan apa pun yang dia miliki. Cinta adalah masalah rasa. Siapa pun pernah memiliki rasa itu, atau minimal merasakannya. Jang
Gladys menuangkan red wine ke dalam gelas setelah sesi makan malam mereka berakhir. Dia tersenyum tipis menyadari Bian yang mengamati gerak-geriknya. “Sedikit aja, Dys,” kata Bian memberitahu saat Gladys akan menuang cairan beralkohol itu sampai penuh.“Apa nggak terlalu sedikit?” Gladys melihat isi gelas yang tidak sampai setengah. Padahal biasanya Bian sanggup menenggak bergelas-gelas minuman itu.“Nggak kok, segitu aja.” Bian sedang tidak ingin minum banyak malam ini. Bian tahu kapan tubuhnya benar-benar hanya ingin minum, pun saat dia benar-benar ingin mabuk.Dengan gerakan yang teramat anggun, Gladys memberikan gelas yang sudah berisi pada Bian. Lelaki itu lalu menyesapnya pelan-pelan. Tiba-tiba Bian teringat Tatiana kala matanya tak sengaja bertemu dengan cincin nikah mereka. Hanya itu. Bian tidak ingin memikirkan Tatiana dan menambah penuh isi kepalanya. Perempuan di sampingnya lebih menyita perhatiannya.Bian menoleh ke kanan, dan dia menemukan Gladys sedang tersenyum mesra
Pagi ini Tatiana merasa badannya tidak seperti biasa. Tubuhnya terasa lemas tak bertenaga. Saat Tatiana memegang dahinya, dia merasakan hangat pada bagian itu. Tatiana tahu kondisi tubuhnya saat ini sedang menurun. Mungkin sebentar lagi dia akan demam. Hal itu diperkuat lagi dengan badannya yang meriang setelah mandi tadi.Bian masih belum pulang hingga saat ini, dan Tatiana mencoba untuk mengabaikannya.“Ibu Tia sakit? Muka Ibu pucat lho,” ujar Lina melihat wajah Tia yang agak pucat saat sarapan di ruang makan.Tatiana memegang pipinya, seolah dengan begitu dia bisa membuktikan perkataan Lina.“Nggak kok, Bi, saya nggak sakit,” sangkal Tatiana membantah.Lina terlihat kurang percaya, tapi dia tidak ingin mengusik Tatiana yang pagi ini terlihat sedikit berbeda. Mungkin merasa sedih kalau boleh Lina nilai.“Bi Lina, Pak Bian sering ya nggak pulang ke rumah?” tanya Tatiana tidak mampu lagi menyimpan sendiri rasa ingin tahunya.“Kadang-kadang sih, Bu, kalau lagi sibuk.”“Terus, apa dia k