"Bajingan!" maki Qiana selagi membanting gelas berisi whisky ke atas meja bar. Wajahnya yang cantik tampak merah merona, efek alkohol yang tercampur dengan rasa marah dan kekecewaan mendalam.
Qiana tahu tindakannya itu menarik perhatian banyak orang. Akan tetapi, dia tidak peduli. Hatinya terlalu sakit untuk bisa memikirkan tanggapan orang lain terhadap dirinya.
Beberapa saat lalu, Qiana tengah mengunjungi apartemen sang kekasih guna memberikan kejutan di hari ulang tahun pria tersebut. Namun, saat wanita itu masuk ke dalam, tidak dia sangka dia malah akan diberikan kejutan yang luar biasa.
"Jangan seperti ini, kamu terlalu nakal.” Seorang wanita bertubuh seksi dan berdada besar tampak sedang berada di pangkuan seorang pria dan mendorong wajah pria tersebut, menolak ciuman dengan manja dan menggoda. "Bagaimana kalau sampai Qiana datang ke sini? Kamu tidak takut Qiana datang dan memergoki kita?”
Pria itu tersenyum meremehkan dan mengeratkan pelukannya pada pinggang sang wanita. “Aku sudah bilang padanya hari ini aku sibuk dan akan pulang malam. Jadi, tidak mungkin dia datang untuk mengganggu kita," ucapnya seraya mulai menciumi leher wanita dalam pelukan dengan penuh nafsu. Dia bahkan meninggalkan bekas di leher sang kekasih.
"Ha ha, dasar pria kejam! Kamu bilang kamu mencintainya, tapi kenapa tega bermain dengan wanita lain di belakangnya?"
"Nafsu dan cinta itu beda urusan. Kalau bisa memuaskan nafsu denganmu selagi mendapatkan cinta darinya, kenapa harus menolak?" balas pria tersebut tanpa sedikit pun merasa berdosa. "Sudah, Jess. Aku tidak tahan lagi!" Pria itu pun mulai melepaskan kancing kemeja wanita di depannya.
Saat itu, Qiana merasa dunianya seakan berhenti. Seumur-umur, tidak pernah wanita itu sangka bahwa Alvan, pria yang sudah menjadi kekasihnya untuk dua tahun, akan berakhir mengkhianatinya dengan begitu tega seperti ini. Bukan dengan wanita lain yang tidak Qiana kenal, melainkan dengan teman baiknya sendiri, Jessica!
Awalnya, Qiana dan Jessica sudah merupakan teman semenjak kuliah, dan karena hobi serta kesukaan mereka begitu mirip, mereka pun menjadi sangat dekat.
Usai lulus, Qiana dan Jessica pun bekerja di kantor yang sama, di mana Qiana menjadi sekretaris CEO, sedangkan Jessica menjadi bagian dari tim keuangan. Di saat itulah, Qiana mulai mengenal Alvan, manager departemen keuangan dan atasan langsung dari Jessica.
Karena keramahan dan ketampanannya, juga usaha pria tersebut untuk mengejar Qiana, pada akhirnya keduanya pun mulai berpacaran secara sembunyi-sembunyi di kantor. Hanya Jessica yang mengetahui hubungan tersebut dan membantu mereka menyembunyikannya, membuat Qiana terharu dengan dukungan sang sahabat.
Namun, siapa yang menyangka kalau ternyata Jessica dan Alvan memiliki rahasia lebih besar di belakang Qiana?!
"Dua pengkhianat, aku sangat membenci kalian!" maki Qiana yang sekarang sudah berada di bar untuk melampiaskan amarah dan kesedihannya. Dia meneguk bergelas-gelas minuman keras dan kembali berseru, "Lihat saja nanti, akan kubalas kalian semua!"
BUK!
Di tengah Qiana masih berusaha menenggelamkan diri dengan alkohol, dia terkejut saat seseorang yang sedang berjalan menabrak bahunya. Belum mendengar permintaan maaf karena hampir menjatuhkan gelas di tangannya, Qiana dengan cepat menoleh galak, bersiap menegur orang tersebut.
Namun, seketika wanita itu membeku.
Sorot mata hitam tajam, hidung tinggi mancung, dan rahang tegas berwibawa. Wajah pria itu begitu tampan dan memesona hingga Qiana tak mampu bersuara!
"Maaf," ucap pria bertubuh tinggi dan tegap tersebut dengan suara dalam yang menggelitik jiwa.
Selagi Qiana mematung di tempat seperti orang bodoh, pria tersebut pun berbalik dan berniat melanjutkan perjalanannya lagi menuju area dalam kelab. Melihat pria itu mulai berjalan pergi, terbersit sebuah pikiran gila dalam benak Qiana. 'Kalau dua orang itu bisa berselingkuh di belakangku, maka aku juga bisa melakukannya, bukan?'
Demikian, Qiana berdiri, lalu menggenggam tangan sang pria, membuat pria tersebut kaget dan langsung menautkan alis. "Ada yang bisa kubantu, Nona?"
Meneguk ludah melihat wajah dingin itu, Qiana memberanikan diri untuk lanjut berkata, "Kamu ... mau tidur denganku?"
Halo semuanya. Aku Kim Meili. Salam kenal semuanya. Semoga suka sama ceritanya ya. Jangan lupa juga masukkan ke daftar perpustakaan kalian dan ikuti kisah mereka sampai habis. Untuk info lainnya, Kim akan post di IG: @kimm.meili. Terima kasih dan sampai jumpa lagi.
Qiana menggeliat pelan ketika cahaya matahari mulia mengusik tidur nyenyaknya.Dia pun mendesis pelan saat merasakan semua otot dalam tubuhnya sakit. Tidak hanya itu,kepalanya juga berdenyut nyeri, membuatnya terpaksa harus memijat pelipisnya sebelummatanya terbuka. Hingga dia membuka mata dan menatap ke arah langit kamar yang terasa asing. “Aku dimana?” gumam Qiana panik. Perlahan, dia bangkit dan sehingga selimut yang sejak tadi menutupi tubuhnya turun. Sontak, kedua matanya melebar saat mendapati tidak ada selembar pakaian pun di tubuhnya. Dengan cepat, dia menarik selimut dan kembali menutupi tubuhnya.Qiana pun akhirnya tersadar bahwa ada seorang punggung pria tertidur nyenyak di sebelahnya. Qiana membuka mulut dan siap berteriak, tetapi sebuah ingatan melintas dalambenaknya. “Kamu mau tidur denganku?” Qiana yang masih setengah sadar pun menatap kearah pria kekar di depannya. “Namaku Qiana dan aku masih perawan,” lanjutnya sembarimengulurkan tangan.
“Ke ruanganku sekarang juga, Qiana.” Qiana yang mendengar panggilan itu pun membuang napas kasar. Dengan malas, diabangkit dan mengayunkan kaki, menuju ke arah tangga yang akan membawanya ke ruanganJames. Ya, sudah satu bulan sejak pertemuannya dengan pria itu, Qiana resmi menjadi asistenpribadi pria tersebut. Dia harus mengerjakan banyak sekali tugas. Tidak jarang dia haruspulang malam karena kelakuan pria yang sudah menidurinya.Qiana menggelengkan kepala saat bayangan satu bulan lalu teringat, dimana dia kehilangan keperawanannya. Dia pikir James hanyalah seorang pria bayaran yang tidak akan pernah hadir kembali dalam hidupnya, tetapi siapa sangka jika James ternyata adalah atasannya sendiri! Sebuah takdir yang cukup membuatnya tertekan. Kalau saja bukan karena Qiana membutuhkan pekerjaan, mungkin dirinya sudah memutuskan untuk berhenti saat itu karena rasa malunya pada James. Qiana menghentikan langkah dan mengetuk pintu ruangan James. Setelahnya dia membuka
“Aku akan bertanggung jawab, Qiana.” Qiana yang sejak tadi hanya diam di mobil James pun tidak menunjukkan ekspresi sama sekali. Wajahnya masih tetap datar dengan pandangan tertuju lurus ke arah jalanan di depannya. Sudah tiga puluh menit mereka berada di sana, tetapi tidak juga membuka suara. Selain karena Qiana yang shock mendengar kabar yang baru saja dia terima, membuatnya tidak bisa bereaksi apa pun. Qiana malah membuang napas kasar dan membuka pintu mobil. Saat ini pikirannya sedang kalut dan tidak bisa berpikir dengan benar. James yang melihat pun melakukan hal yang sama. Dia keluar dan mengejar Qiana yang akan memasuki sebuah rumah dengan dua lantai. Tangannya dengan cepat meraih pergelangan tangan Qiana, membuat langkah wanita itu terhenti. “Lepaskan, Pak James,” ucap Qiana sembari mencoba melepaskan diri. “Aku akan bertanggung jawab untuk anak dalam kandungan kamu,” sahut James. Bagaimanapun itu adalah anaknya dan dia berhak untuk memberika
“Kita sudah sampai, Qiana.” Hening. Qiana hanya diam dengan kepala tertunduk. Manik matanya menatap ke arahcincin yang melingkar di jari manisnya. Wajahnya tampak datar, tetapi jelas dari sorot mata terdapat kesedihan. Bagaimana tidak, secara mendadak Qiana kini sudah berstatus sebagai istri James. Dua jam yang lalu dirinya diminta menikah sirih hanya untuk menutupi kehamilannya. Mengenai cinta, papanya bahkan tidak peduli sama sekali. Apalagi pesta, tidak ada pesta apa pun untuk itu, membuat air matanya tanpa sadar mengalir. “Mulai sekarang kita akan tinggal di sini,” ucap James kembali. Qiana yang mendengar pun menarik napas dalam dan membuang perlahan. Jemarinya mengusap pelan air mata yang sempat melewati pelupuk. Kepalanya mulai mendongak, menatap ke arah rumah mewah di depannya. Qiana membuka pintu dan keluar, mengabaikan James yang masih menunggunya. Kakinya terus melangkah dan masuk, mengamati sekitar. Semua yang ada di sana adalah barang me
“Kamu mau kemana, James?” James yang baru saja menapakkan kaki di anak tangga terakhir pun berhenti. Sorot matanya menatap tajam ke arah Deolinda yang sudah berhenti di depannya. Tidak ada senyum ramah di bibir pria itu.“Aku sudah membuat sarapan. Ayo makan bersama,” ucap Deolinda, masih mengulas senyum manis. Tangannya pun terulur ke arah James. Namun, belum sampai Deolinda menyentuh jemari James, pria itu sudah lebih dulu menyingkirkannya. Kedua tangannya dimasukkan ke saku celana dan berkata, “Aku sudah bilang jangan berikan perhatian apa pun untukku, Deolinda. Itu tidak akan mengubah keadaan kita.” Deolinda yang awalnya mengulas senyum pun terdiam. Raut wajahnya berubah datar, menatap sang suami tanpa ekspresi sama sekali. Kedua tangannya mengepal, menahan amarah yang ingin sekali keluar. Hingga dia membuang napas secara perlahan, mencoba menormalkan kembali perasaannya. “Aku hanya ingin sarapan bersama suamiku, James,” ucap Deolinda, menekankan setiap kata yang dia ucapkan.
Qiana terkejut ketika mendapati James sedang menatapnya tajam. Sejak kapan pria itu pulang? Qiana sama sekali tidak mendengar suara pintu maupun langkah kakinya. “Apa kau mual?” suara James menyadarkan Qiana dari lamunan. Dirinya hanya mengangguk pelan. Namun, James langsung segera meminta pelayan untuk menyiapkan sup hangat untuknya. “Makan sup ini,” Qiana yang baru saja berbaring di sofa menatap ke arah James yang sudah duduk di hadapannya. Qiana membenarkan posisi duduknya dan mengambil mangkuk dari tangan James. Qiana mulai menyeruput sup untuk meredakan mual di perut. Terbukti, perutnya juga sedikit lebih baik dari sebelumnya. Mualnya juga tidak begitu mengganggu, membuat Qiana merasa jauh lebih nyaman. Sedangkan James, mulai fokus dengan layar komputer, tidak memperhatikan sang istri sama sekali. ‘Sebenarnya pernikahan macam apa yang aku jalani ini, Tuhan,’ batin Qiana. Pasalnya dia sendiri takut untuk memulai dengan James. Bagaimana kalau nantinya James seperti Alvan?
“Nona, anda pulang terlalu malam. Saya takut kalau Tuan James akan marah.” Qiana yang duduk di bangku penumpang pun mengalihkan pandangan, menatap ke arah sang sopir dan berkata, “Tidak apa. Aku sudah bilang.” Qiana berbohong. Padahal dirinya tidak mengatakan apa pun dengan sang suami dan sebelum berangkat James sudah mengatakan supaya dirinya tidak pulang larut malam dan meminta supir untuk mengantar dirinya. Tomy hanya diam dan kembali fokus dengan kemudi. Tidak ada percakapan sama sekali selama mereka menuju ke rumah. Sesampainya di rumah, Qiana langsung masuk. Jam di dinding menunjukan pukul sepuluh malam. Qiana lupa diri begitu bertemu dengan sahabatnya, karena begitu menikmati waktu bersama. Dirinya juga merahasiakan kandungan dan masalah pernikahan dari sang sahabat. “Darimana saja kamu, Qiana?” Qiana yang melihat James sudah berdiri di hadapannya pun berhenti. Aura mengintimidasi dari pria itu membuat Qiana cukup merasa takut, namun berusaha tetap tampak tenang. “Aku
BAB 9 “Hari ini, apa saja jadwalku, Qiana?” Qiana yang baru selesai memoles wajahnya pun berhenti. Dia menatap ke arah sang suami yang tengah duduk di sofa dan fokus dengan laptop. Sejak pagi pria itu hanya sibuk dengan pekerjaannya. Qiana sendiri sampai lupa kalau di ruangannya ada orang selain dirinya. Pasalnya sejak tadi James tidak membuka suara sama sekali. Hingga dia mengmabil buku catatan. “Hari ini ada rapat dengan pemegang saham pukul sepuluh. Anda juga ada pertemuan dengan klien setelah makan siang,” jawab Qiana. “Hanya itu?” tanya James kembali, tanpa menatap ke arah Qiana. Qiana terdiam sejenak dan menganggukkan kepala. “Iya, Pak,” jawabnya singkat. James pun menutup laptop dan memasukkan ke dalam tas. Dia bangkit dan melangkah pelan, tetapi baru beberapa langkah dia berhenti. Manik matanya menatap ke arah Qiana yang berdiri tegak di depannya. Padahal dia hanya bertanya mengenai jadwal, tetapi istrinya sudah bersikap formal. “Kalau kamu sudah selesai, turun. Kita