“Aku akan bertanggung jawab, Qiana.”
Qiana yang sejak tadi hanya diam di mobil James pun tidak menunjukkan ekspresi sama sekali. Wajahnya masih tetap datar dengan pandangan tertuju lurus ke arah jalanan di depannya. Sudah tiga puluh menit mereka berada di sana, tetapi tidak juga membuka suara. Selain karena Qiana yang shock mendengar kabar yang baru saja dia terima, membuatnya tidak bisa bereaksi apa pun. Qiana malah membuang napas kasar dan membuka pintu mobil. Saat ini pikirannya sedang kalut dan tidak bisa berpikir dengan benar.
James yang melihat pun melakukan hal yang sama. Dia keluar dan mengejar Qiana yang akan memasuki sebuah rumah dengan dua lantai. Tangannya dengan cepat meraih pergelangan tangan Qiana, membuat langkah wanita itu terhenti.
“Lepaskan, Pak James,” ucap Qiana sembari mencoba melepaskan diri.
“Aku akan bertanggung jawab untuk anak dalam kandungan kamu,” sahut James. Bagaimanapun itu adalah anaknya dan dia berhak untuk memberikan kehidupan yang layak.
Sayangnya Qiana berpikir berbeda. Dia tidak mau menikah dengan pria tanpa cinta dan hanya karena dirinya hamil, “Kamu tidak perlu bertanggung jawab. Mengenai anak ini aku akan ....” Qiana menghentikan ucapan dan memasang raut wajah berpikir.
“Apa yang akan kamu lakukan dengan anak ini? Kamu akan menggugurkannya?”
tanya James dengan cepat.
Kali ini Qiana diam. Haruskah dia melakukan hal keji itu? Anak dalam kandungannya tidak bersalah apa pun. Dia yang bersalah karena tidak menjaga diri dengan baik. Sedangkan James yang melihat kebingungan di wajah Qiana pun kembali meraih punggung tangan dan mengelus pelan.
“Qiana, bagaimanapun anak dalam kandunganmu adalah anakku. Aku juga berhak atasnya!”
,” ucap James mengintimidasi.
“Tap—“
“Siapa yang akan memiliki anak?”
Qiana dan James yang mendengar pun langsung mengalihkan pandangan, menatap ke asal suara. Seketika, Qiana melebarkan kedua mata ketika melihat kedua orang tuanya berdiri tepat di hadapannya. Wajahnya langsung memucat saat melihat Romeo—papanya menatap tajam.
Astaga, apa yang harus aku lakukan, batin Qiana.
***
“Keterlaluan kamu Qiana! Kamu benar-benar sudah mencoreng nama baik keluarga kita!” bentak Romeo dengan nada menggelegar.
Qiana yang saat ini tengah duduk di sofa pun hanya diam dengan kepala ditundukkan. Jemarinya saling bertaut, merasa takut dengan kemarahan sang papa. Pasalnya, papanya tidak pernah marah apalagi membentak dirinya. Ini adalah kali pertama dia melihat kemarahan di wajah sang papa. Tatapan papanya juga benar-benar tidak bersahabat. Padahal, pria di hadapannya selalu menatapnya dengan penuh kasih sayang dan suara yang lembut.
“Maaf, Pa.” Hanya kalimat itu yang bisa keluar dari mulut Qiana. Dia tahu sejak kecil kedua orang tuanya selalu mengajarkannya tentang nilai kebaikan, tetapi sekarang dia malah melakukan kesalahan yang begitu besar hanya karena ingin membalas dendam pada Alvan dan Jessica. Tanpa diduga Romeo yang sejak tadi menatap tajam pada James langsung melayangkan satu pukulan, tepat di pipi James. Jelas pria itu limbung karena tidak siap menerima pukulan.
“Jadi kamu pria kurang ajar yang sudah menghamili anakku? Dasar bajingan!” Romeo kembali melayangkan tangan dan memukul bagian yang lain.
“Papa, hentikan!” teriak Qiana dengan kedua mata melebar.
Namun, Romeo masih terus melayangkan pukulan. Qiana pun segera bangkit dan berlari. Dia menahan tangan sang papa, membuat Romeo menghentikan gerakan.
“Pa, jangan pukul dia lagi. Dia tidak bersalah. Qiana yang ak—“
“Papa gak mau tau, Qiana. Sekarang juga kamu dan lelaki ini harus menikah!” putus Romeo tegas.
“Kita sudah sampai, Qiana.” Hening. Qiana hanya diam dengan kepala tertunduk. Manik matanya menatap ke arahcincin yang melingkar di jari manisnya. Wajahnya tampak datar, tetapi jelas dari sorot mata terdapat kesedihan. Bagaimana tidak, secara mendadak Qiana kini sudah berstatus sebagai istri James. Dua jam yang lalu dirinya diminta menikah sirih hanya untuk menutupi kehamilannya. Mengenai cinta, papanya bahkan tidak peduli sama sekali. Apalagi pesta, tidak ada pesta apa pun untuk itu, membuat air matanya tanpa sadar mengalir. “Mulai sekarang kita akan tinggal di sini,” ucap James kembali. Qiana yang mendengar pun menarik napas dalam dan membuang perlahan. Jemarinya mengusap pelan air mata yang sempat melewati pelupuk. Kepalanya mulai mendongak, menatap ke arah rumah mewah di depannya. Qiana membuka pintu dan keluar, mengabaikan James yang masih menunggunya. Kakinya terus melangkah dan masuk, mengamati sekitar. Semua yang ada di sana adalah barang me
“Kamu mau kemana, James?” James yang baru saja menapakkan kaki di anak tangga terakhir pun berhenti. Sorot matanya menatap tajam ke arah Deolinda yang sudah berhenti di depannya. Tidak ada senyum ramah di bibir pria itu.“Aku sudah membuat sarapan. Ayo makan bersama,” ucap Deolinda, masih mengulas senyum manis. Tangannya pun terulur ke arah James. Namun, belum sampai Deolinda menyentuh jemari James, pria itu sudah lebih dulu menyingkirkannya. Kedua tangannya dimasukkan ke saku celana dan berkata, “Aku sudah bilang jangan berikan perhatian apa pun untukku, Deolinda. Itu tidak akan mengubah keadaan kita.” Deolinda yang awalnya mengulas senyum pun terdiam. Raut wajahnya berubah datar, menatap sang suami tanpa ekspresi sama sekali. Kedua tangannya mengepal, menahan amarah yang ingin sekali keluar. Hingga dia membuang napas secara perlahan, mencoba menormalkan kembali perasaannya. “Aku hanya ingin sarapan bersama suamiku, James,” ucap Deolinda, menekankan setiap kata yang dia ucapkan.
Qiana terkejut ketika mendapati James sedang menatapnya tajam. Sejak kapan pria itu pulang? Qiana sama sekali tidak mendengar suara pintu maupun langkah kakinya. “Apa kau mual?” suara James menyadarkan Qiana dari lamunan. Dirinya hanya mengangguk pelan. Namun, James langsung segera meminta pelayan untuk menyiapkan sup hangat untuknya. “Makan sup ini,” Qiana yang baru saja berbaring di sofa menatap ke arah James yang sudah duduk di hadapannya. Qiana membenarkan posisi duduknya dan mengambil mangkuk dari tangan James. Qiana mulai menyeruput sup untuk meredakan mual di perut. Terbukti, perutnya juga sedikit lebih baik dari sebelumnya. Mualnya juga tidak begitu mengganggu, membuat Qiana merasa jauh lebih nyaman. Sedangkan James, mulai fokus dengan layar komputer, tidak memperhatikan sang istri sama sekali. ‘Sebenarnya pernikahan macam apa yang aku jalani ini, Tuhan,’ batin Qiana. Pasalnya dia sendiri takut untuk memulai dengan James. Bagaimana kalau nantinya James seperti Alvan?
“Nona, anda pulang terlalu malam. Saya takut kalau Tuan James akan marah.” Qiana yang duduk di bangku penumpang pun mengalihkan pandangan, menatap ke arah sang sopir dan berkata, “Tidak apa. Aku sudah bilang.” Qiana berbohong. Padahal dirinya tidak mengatakan apa pun dengan sang suami dan sebelum berangkat James sudah mengatakan supaya dirinya tidak pulang larut malam dan meminta supir untuk mengantar dirinya. Tomy hanya diam dan kembali fokus dengan kemudi. Tidak ada percakapan sama sekali selama mereka menuju ke rumah. Sesampainya di rumah, Qiana langsung masuk. Jam di dinding menunjukan pukul sepuluh malam. Qiana lupa diri begitu bertemu dengan sahabatnya, karena begitu menikmati waktu bersama. Dirinya juga merahasiakan kandungan dan masalah pernikahan dari sang sahabat. “Darimana saja kamu, Qiana?” Qiana yang melihat James sudah berdiri di hadapannya pun berhenti. Aura mengintimidasi dari pria itu membuat Qiana cukup merasa takut, namun berusaha tetap tampak tenang. “Aku
BAB 9 “Hari ini, apa saja jadwalku, Qiana?” Qiana yang baru selesai memoles wajahnya pun berhenti. Dia menatap ke arah sang suami yang tengah duduk di sofa dan fokus dengan laptop. Sejak pagi pria itu hanya sibuk dengan pekerjaannya. Qiana sendiri sampai lupa kalau di ruangannya ada orang selain dirinya. Pasalnya sejak tadi James tidak membuka suara sama sekali. Hingga dia mengmabil buku catatan. “Hari ini ada rapat dengan pemegang saham pukul sepuluh. Anda juga ada pertemuan dengan klien setelah makan siang,” jawab Qiana. “Hanya itu?” tanya James kembali, tanpa menatap ke arah Qiana. Qiana terdiam sejenak dan menganggukkan kepala. “Iya, Pak,” jawabnya singkat. James pun menutup laptop dan memasukkan ke dalam tas. Dia bangkit dan melangkah pelan, tetapi baru beberapa langkah dia berhenti. Manik matanya menatap ke arah Qiana yang berdiri tegak di depannya. Padahal dia hanya bertanya mengenai jadwal, tetapi istrinya sudah bersikap formal. “Kalau kamu sudah selesai, turun. Kita
“Minggir.” Qiana yang baru sampai di kantor pun dibuat kesal dengan kehadiran Jessica. Pasalnya mantan sahabatnya itu menghentikan langkah dan menghalangi jalannya. Padahal sudah lama Qiana tidak melihat wanita itu, tepatnya setelah perselingkuhan Jessica dan Alvan terbongkar. Qiana melangkah ke arah lain karena Jessica yang tidak juga menuruti perintahnya. Dia enggan bersama dengan wanita tersebut meski hanya satu menit. Luka di hatinya masih ada meski sudah berbulan-bulan kejadian itu berlalu. Meski Qiana sudah merelakan Alvan dengan Jessica, tetapi tidak ada maaf untuk keduanya. Namun, Jessica yang melihat pun kembali menghentikan langkah Qiana. Manik matanya menatap tajam dengan kedua tangan disedekapkan. “Sebenarnya apa maumu, Jessica?” tanya Qiana dengan nada kesal. Dia harus segera masuk kerja, enggan membuang waktunya secara percuma. “Aku mau kamu jauhi Alvan,” jawab Jessica dengan tegas. “Hah?” Qiana yang mendengar terdiam sejenak hingga akhirnya tertawa kecil. Beber
“Huek!” Qiana langsung memuntahkan isi perutnya begitu sampai di toilet. Sejak tadi dia menahan mual karena tidak ingin menyinggung klien besar yang sedang James temui. Itu sebabnya dia hanya minum teh hangat yang dihidangkan. Setelah merasa lebih lega, Qiana membersihkan mulut dan melangkah keluar. Namun, dirinya mendapati James yang berdiri di depan pintu sembari menyerahkan sapu tangan. Manik matanya memperhatikan James yang masih memasang wajah datar. Apakah James tidak memiliki ekspresi yang lain? “Besok kita ke rumah sakit.” Qiana sempat melamun dan langsung tersadar saat mendengar usulan James. “Untuk apa?” “Kamu harus memeriksakan kandungan kamu,” jawab James. “Aku rasa tak perlu,” tolak Qiana cepat. “Aku baik-baik saja.” “Kalau kamu baik-baik saja, gak mungkin kamu terus muntah selama beberapa hari ini. Jadi, aku sudah membuat keputusan,” tegas James. Qiana membisu. Dia menatap ke arah James yang sudah melangkah di depannya. Ada perasaan tidak nyaman saat James me
“Kurang ajar!” teriak Deolinda dengan emosi menggebu. Dia mengambil vas di sebelahnya dan melempar asal. Emosinya benar-benar meluap saat mengetahui fakta mencengangkan tentang sang suami. “Bajingan kamu, James. Bajingan kamu!” Deolinda kembali berteriak keras dengan air mata yang mengalir semakin deras. Deolinda menghentikan amukannya dan terduduk lemah. Air matanya kembali mengalir dengan suara terisak. Rambutnya sudah berantakan. Dadanya naik turun, menunjukkan emosi yang semakin memuncak. Setiap mengingatnya, dia ingin sekali memberikan perhitungan untuk James dan Qiana, wanita yang sudah merebut sang suami. “Astaga, Deolinda. Apa yang terjadi di sini? Kenapa rumahmu berantakan sekali?” “James memiliki istri lagi, Gis.” “Apa?” Gista—sahabat Deolinda pun langsung melebarkan kedua mata, tidak percaya dengan apa yang dikatakan sahabatnya. James memang tidak pernah bersikap manis dengan Deolinda, tetapi apa mungkin pria yang tidak pernah dekat dengan wanita itu menikah lagi?