“Minggir.” Qiana yang baru sampai di kantor pun dibuat kesal dengan kehadiran Jessica. Pasalnya mantan sahabatnya itu menghentikan langkah dan menghalangi jalannya. Padahal sudah lama Qiana tidak melihat wanita itu, tepatnya setelah perselingkuhan Jessica dan Alvan terbongkar. Qiana melangkah ke arah lain karena Jessica yang tidak juga menuruti perintahnya. Dia enggan bersama dengan wanita tersebut meski hanya satu menit. Luka di hatinya masih ada meski sudah berbulan-bulan kejadian itu berlalu. Meski Qiana sudah merelakan Alvan dengan Jessica, tetapi tidak ada maaf untuk keduanya. Namun, Jessica yang melihat pun kembali menghentikan langkah Qiana. Manik matanya menatap tajam dengan kedua tangan disedekapkan. “Sebenarnya apa maumu, Jessica?” tanya Qiana dengan nada kesal. Dia harus segera masuk kerja, enggan membuang waktunya secara percuma. “Aku mau kamu jauhi Alvan,” jawab Jessica dengan tegas. “Hah?” Qiana yang mendengar terdiam sejenak hingga akhirnya tertawa kecil. Beber
“Huek!” Qiana langsung memuntahkan isi perutnya begitu sampai di toilet. Sejak tadi dia menahan mual karena tidak ingin menyinggung klien besar yang sedang James temui. Itu sebabnya dia hanya minum teh hangat yang dihidangkan. Setelah merasa lebih lega, Qiana membersihkan mulut dan melangkah keluar. Namun, dirinya mendapati James yang berdiri di depan pintu sembari menyerahkan sapu tangan. Manik matanya memperhatikan James yang masih memasang wajah datar. Apakah James tidak memiliki ekspresi yang lain? “Besok kita ke rumah sakit.” Qiana sempat melamun dan langsung tersadar saat mendengar usulan James. “Untuk apa?” “Kamu harus memeriksakan kandungan kamu,” jawab James. “Aku rasa tak perlu,” tolak Qiana cepat. “Aku baik-baik saja.” “Kalau kamu baik-baik saja, gak mungkin kamu terus muntah selama beberapa hari ini. Jadi, aku sudah membuat keputusan,” tegas James. Qiana membisu. Dia menatap ke arah James yang sudah melangkah di depannya. Ada perasaan tidak nyaman saat James me
“Kurang ajar!” teriak Deolinda dengan emosi menggebu. Dia mengambil vas di sebelahnya dan melempar asal. Emosinya benar-benar meluap saat mengetahui fakta mencengangkan tentang sang suami. “Bajingan kamu, James. Bajingan kamu!” Deolinda kembali berteriak keras dengan air mata yang mengalir semakin deras. Deolinda menghentikan amukannya dan terduduk lemah. Air matanya kembali mengalir dengan suara terisak. Rambutnya sudah berantakan. Dadanya naik turun, menunjukkan emosi yang semakin memuncak. Setiap mengingatnya, dia ingin sekali memberikan perhitungan untuk James dan Qiana, wanita yang sudah merebut sang suami. “Astaga, Deolinda. Apa yang terjadi di sini? Kenapa rumahmu berantakan sekali?” “James memiliki istri lagi, Gis.” “Apa?” Gista—sahabat Deolinda pun langsung melebarkan kedua mata, tidak percaya dengan apa yang dikatakan sahabatnya. James memang tidak pernah bersikap manis dengan Deolinda, tetapi apa mungkin pria yang tidak pernah dekat dengan wanita itu menikah lagi?
Deolinda benar-benar takut. Dia tidak ingin kalau Qiana berhasil mendapatkan James sepenuhnya. Hingga dirinya nekat mengirimkan pesan pada ibu mertuanya dan meminta supaya pernikahannya dan James bisa diberitakan di media. Deolinda tersenyum puas begitu melihat pesan jawaban dari sang ibu mertua. ‘Mama minta maaf karena pernikahanmu dan James tidak diketahui media sampai tidak ada yang mengetahui mengenai pernikahan kalian. Tapi mama janji akan memberitahu semua orang kalau kalian sudah menikah. Sebentar lagi ada acara di kantor dan ada wartawan juga. Di san mama akan mengumumkan mengenai pernikahan kalian’ “Aku tidak sabar melihat wajahmu begitu mengetahui kebenaran ini, Qiana! Akan aku pastikan kamu dihina sebagai pelakor,” gumam Deolinda.*** “Anda tenang saja, Tuan. Istri anda baik-baik saja. Janin di kandungannya juga sehat dan berkembang dengan baik. Kalau mengenai mual, hal itu wajar dialami ibu hamil. Apalagi saat ini istri anda masih trimester satu. Saya akan memberikan
“Ada urusan apa, Alvan?” Qiana yang baru sampai menatap ke arah Alvan lekat. Wajahnya tidak menunjukkan keramahan sama sekali. Bayangan pria tersebut menghianatinya membuat Qiana enggan bersikap ramah. Sebenarnya pun dia enggan untuk datang, tetapi mendengar Alvan memohon membuatnya tidak tega. Dia sendiri penasaran dengan apa yang ingin Alvan bicarakan. Qiana bahkan lupa untuk meminta izin dari James. “Aku senang, akhirnya kamu mau datang, Qiana,” ucap Alvan dengan senyum manis. “Aku tidak memiliki banyak waktu, Alvan. Jadi, katakan apa yang ingin kamu katakan. Jangan membuang waktuku percuma,” tegas Qiana. “Kamu sekarang berbeda, Qiana. Dulu kamu suka kalau kita berdua mengobrol begini,” celetuk Alvan dengan senyum tipis. Mendengar itu, Qiana tertawa kecil dan menyandarkan tubuh dengan punggung kursi. Dia berkata, “Itu dulu, Alvan. Sekarang, sedetik bersama dengan kamu, aku sudah muak.” Dia memang membenci Alvan. Bahkan dia tidak berniat untuk memaafkan atau berbaikan. Al
James menatap layar komputernya dengan perasaan kesal. Dirinya mendengar sekilas percakapan Qiana dan Jessica di lobby tadi. Dan akhirnya mengetahui bahwa Qiana baru saja bertemu dengan seorang pria, tanpa meminta izin darinya yang adalah suaminya. James kemudian memanggil Tomy, dan memintanya untuk mencari tahu soal Alvan. “Dia pewaris dari keluarga Bahran, Tuan,” jawab Tomy. James menganggukkan kepala, cukup kenal dengan nama itu. Keluarga Bahran sudah bekerjasama dengannya dalam waktu yang lama. Keluarga mereka juga cukup dekat, tetapi selama ini James belum pernah bertemu dengan pewaris tunggal keluarga itu. “Apa hubungan Qiana dengan Alvan?” tanya James serius. “Menurut informasi yang saya dapat, Alvan adalah mantan kekasih Nyonya,” jawab Tomy. James melebarkan kedua mata, cukup terkejut dengan hal itu. Dia memang tahu mengenai Qiana yang memiliki mantan kekasih. Kejadian malam itu pun karena Qiana yang baru saja merasakan patah hati. Apa itu karena Alvan? “Mereka berni
Bab 17_ “Apa yang kamu lakukan di kamarku, Deolinda!” James menatap tajam ke arah sang istri. Rahangnya mengeras dengan tangan mengepal. Pagi tadi dia terbangun dengan kepala yang berat dan tubuh yang terasa lelah. Padahal dia tidak melakukan apa pun setelah pulang kerja dan ke rumah sang mama. James ingat betul dengan semua kejadian yang dilakukannya. Dia datang, makan dan ke kamar. “Apa yang sudah kamu lakukan, Deolinda?” tanya James. Pasalnya dia baru merasa aneh setelah mengingat semuanya. Makanan sang mama yang baru dimakan beberapa suap dan membuat kepalanya pusing. Tubuhnya juga panas. “Aku tidak melakukan apa pun, James. Aku hanya datang ke sini dan aku mandi di kamar kamu karena Mama bilang kamu mau datang. Itu sebabnya aku bersiap dan ingin menyambut kamu. Tapi ternyata kamu malah ---” Deolinda menghentikan penjelasan dan menatap James takut. Mulutnya juga langsung tertutup dengan rapat. “Aku malah apa, Deolinda?” James masih menat
“Kamu sudah mau berangkat?” Qiana yang baru selesai sarapan dan siap bangkit pun berhenti. Dia menatap ke arah James yang baru saja datang. Matanya menyipit, memperhatikan sang suami yang berjalan mendekat. Tidak ada yang aneh dengan James, tetapi tatapannya semakin tajam saat pria itu semakin mendekat dengannya. Raut wajahnya menunjukkan ekspresi berpikir. “Kamu bisa tunggu aku sebentar, Qiana. Kita berangkat bersama. Aku akan mandi dulu,” ucap James. “Bukannya kamu dari rumah mamamu? Kenapa tidak mandi di sana? Selain itu, pakaian kamu sudah ganti. Kenapa masih belum mandi?” tanya Qiana dengan sorot mengamati. Matanya masih menyipit, berusaha mengingat sesuatu. Pasalnya dia ingat sekali jika sang suami pergi menggunakan kemeja putih. Saat ini pria itu menggunakan pakaian yang berbeda. James pun tidak mengenakan jas sama sekali. Mendapat pertanyaan itu, James diam. Biasanya Qiana tidak sebanyak ini bertanya. Wanita itu memilih diam dan menjawab sepe
“Bayi dalam kandunganmu baik-baik saja, Qiana. Dia juga sehat dan tumbuh dengan baik.”Qiana yang mendengar ucapan sang dokter pun tersenyum lebar. Dia merasa bahagia dengan kabar yang diterimanya. Harapannya supaya yang anak tumbuh di rahimnya dengan baik pun seakan terwujud. Dia yang bahagia membuat bayi dalam kandungannya bisa berkembang dengan cukup baik.“Aku akan berikan resep obat buat kamu,” ucap sang dokter kembali.Qiana hanya menganggukkan kepala. Bibirnya masih tersenyum lebar, menatap ke arah gambar janin di depannya. Sudah terbentuk kepala dan bagian tubuh yang lain. Beratnya juga sudah tampak. Terlihat di sana bayinya mulai bergerak, membuat Qiana yang begitu menantikan semakin tidak sabar. Padahal dia tahu setelah ini dia akan berpisah dengan James.Namun, Qiana seakan tidak peduli sama sekali. Dia tetap mengharapkan anaknya segera lahir. Rasanya tidak sabar untuk menggendong bocah mungil yang saat ini hanya bisa melihatnya melalui monitor USG. Hingga sang dokter membe
Qiana mengenakan dress panjang semata kaki dan mengatur rambutnya. Dia menatap beberapa kali, takut kalau sampai ada yang salah dengan penampilannya. Make up tipis membuatnya tampak semakin menawan. Entah kenapa, Qiana merasa kalau setelah kehamilan ini, dia terasa jauh lebih cantik dari sebelumnya.Qiana mulai melangkahkan kaki setelah merasa sudah puas dengan penampilannya. Dia menuju ke arah pintu dan keluar. Kakinya menuruni satu per satu anak tangga. Sebelah tangannya memegang pembatas tangga, takut kalau dia kenapa-kenapa. Perutnya sudah lebih besar dari sebelumnya, tetapi masih bisa untuk melihat kakinya melangkah. Hingga Qiana yang sudah sampai di bawah pun segera menuju ke arah pintu depan.“Qiana, kamu mau kemana?” tanya Siska dengan tatapan lekat.Qiana pun berhenti dan menjawab, “Aku mau periksa kandungan, Ma. Hari ini memang sudah jadwalnya.”“Loh, kok gak bilang sama James,” ucap Siska.Qiana yang ditanya pun diam. Dia memang sengaja tidak mengatakan hal ini dengan James
“Diminum dulu, Jessica.”Jessica yang mendengar hal itu pun terdiam. Dia menatap ke arah Qiana dan Emily yang ada di depannya. Ada perasaan canggung saat melihat keduanya yang sudah menolong dirinya. Padahal jelas kalau dia sudah berbuat buruk dengan Qiana. Hingga dia menelan saliva pelan dan mengambil gelas di depannya. Jessica mulai meneguk pelan, berusaha menghilangkan ketakutan dan perasaan canggung yang tiba-tiba muncul.“Bagaimana kamu bisa berurusan dengan mereka, Jes? Kamu memiliki masalah atau memiliki hutang?” tanya Emily.Jessica baru saja selesai menghabiskan minuman yang ditawarkan Emily. Dia mulai meletakkan gelas di meja dan balik bertanya, “Bukannya itu orang suruhan kalian?” Sebenarnya Jessica tahu kalau tidak mungkin mereka menyuruh orang untuk menyakitinya, tetapi Jessica sudah terlanjur malu. Dia enggan mengakui kesalahannya yang sudah berbuat jahat dengan Qiana. Mendengar itu, emosi Emily pun langsung meningkat. Dengan tegas dia berkata, “Jaga omonganmu, Jessica.
Qiana membuang napas lirih. Pagi ini dia memilih berjalan-jalan di taman yang jauh dari rumahnya. Tidak lupa Qiana mengenakan masker, takut kalau ada yang mengenali dirinya. Dia takut kalau kejadian beberapa hari yang lalu membuat banyak orang mengenal dirinya. Ditambah dengan perutnya sudah sedikit lebih membesar, membuat Qiana mau tidak mau harus lebih giat dalam melakukan aktivitas. Padahal kalau dulu dia hanya akan berbaring cantik dan tidak melakukan apa pun.Qiana yang sudah berjalan beberapa putaran pun membuang napas lirih. Dia memilih untuk duduk di tanah dan menyelonjorkan kedua kaki. Manik matanya menatap sekitar. Ada beberapa ibu hamil juga yang tengah berjalan-jalan seperti dirinya. Bedanya, mereka ditemani suami. Sedangkan Qiana harus berjalan-jalan sendiri. Ada rasa iri setiap kali melihat pasangan yang begitu bahagia. Qiana juga menginginkan hal yang sama.Namun, Qiana harus cukup sadar diri. Dia tidak mungkin mendapatkan hal semacam itu. Kalau sampai dia mendapatkanny
Hening. Alvan dan James hanya diam. Keduanya duduk saling berhadapan, tetapi tidak ada yang membuka suara sama sekali. Keduanya seperti tengah asyik menikmati pikiran masing-masing. Hingga Alvan yang tidak sabar menunggu pun membuang napas lirih. Dia mendongakkan kepala, menatap ke arah James dan bertanya, “Kenapa kamu kesini, James?”James yang awalnya dia pun langsung mendongak. Sebenarnya dia tidak bermaksud untuk diam. Dia juga tidak takut dengan Alvan. Hanya saja, sejak tadi dia diam tengah memikirkan kalimat yang pas untuk melarang Alvan selain karena Qiana adalah istrinya. Dia ingin membuat Alvan takut dan menurut dengannya.“Tidak biasanya kamu datang ke rumahku,” imbuh Alvan karena tidak juga mendapat jawaban.James membuang napas lirih dan berkata, “Aku kesini karena aku melihat kamu bersama dengan Qiana beberapa hari yang lalu, Alvan.”Mendengar itu, Alvan terdiam sejenak. Dia merasa bahagia karena James yang ternyata terpancing dengan rencananya. Dia yakin, James pasti ten
Alvan melangkah pelan, keluar dari mobil dan memasang wajah datar. Sorot matanya menunjukkan keseriusan. Tidak ada senyum yang terlintas di bibirnya. Bahkan beberapa sapaan dari karyawan tidak dibalasnya sama sekali. Hari ini mood-nya tidaklah baik, membuat Alvan tidak mau bersikap ramah dengan siapa pun.Alvan terus melangkahkan kaki, menuju ke arah lift yang akan membawa ke ruangannya. Mulutnya masih bungkam. Padahal biasanya dia masih mau menyapa para karyawan yang bersikap baik dengannya. Hingga pintu lift terbuka, membuat Alvan kembali melanjutkan langkah.Alvan segera memasuki ruangan, sesekali menatap ke arah sang sekretaris yang belum datang. Padahal sudah siang, tetapi sekretarisnya malah tidak berniat untuk bekerja sama sekali. Bahkan dia yang merupakan atasan malah jauh lebih dulu sampai di kantor. Hingga Alvan memasuki ruangan dan siap melangkah ke arah meja kerja.Namun, niatnya terhenti karena manik matanya melihat seseorang yang cukup dikenalnya. Menyadari kesabarannya
“Kamu masih bekerja dengan James kan, Deolinda?” tanya Ishana.Deolinda yang hendak menyendok makanan pun menghentikannya. Dia menatap ke arah sang mertua dan menjawab, “Iya, Ma.”“Kamu harus memanfaatkan momen ini, Deolinda. Kalau dulu Qiana bisa mendekati James saat menjadi sekretarisnya, seharusnya kamu juga bisa. Kamu harus bisa menaklukan James dan membuat dia bertekuk lutut denganmu. Jangan biarkan wanita murahan itu mengalahkanmu,” ucap Ishana serius.Deolinda terdiam. Manik matanya menatap lekat ke arah sang mertua yang menurutnya tampak aneh. Biasanya Ishana tidak memaksanya seperti ini. Wanita itu lebih sering melakukan dengan cara yang santai. Kali ini, Deolinda menjadi heran. Dia pun meraih jemari sang mertua dna bertanya, “Mama sedang ada masalah?” Ishana yang ditanya pun membuang napas lirih. Dia menatap lekat ke arah sang menantu dan menggelengkan kepala. “Tidak sama sekali, Deolinda. Mama baik-baik saja,” jawab Ishana dengan santai.“Terus, kenapa tiba-tiba Mama mem
Qiana menyembunyikan dalam wajahnya di dalam bantal. Dia merasakan kenyamanan saat mendekap benda yang selalu menemaninya tidur, tetapi entah kenapa kalau kali ini dia merasa jauh lebih nyaman. Dia seakan enggan meninggalkan tersebut dan malah mendekap semakin erat. Bau maskulin yang melekat membuat Qiana enggan meninggalkannya. Belum lagi elusan lembut di bagian punggung yang semakin menambah rasa nyamannya.Sejenak, Qiana menikmati semua hal tersebut. Dia bahkan terus mengusel masuk, berusaha mencari titik ternyaman yang enggan untuk ditinggalkan. Sampai dia yang mulai kembali meraih kesadarannya pun terdiam. Wanita itu mencoba mengingat semuanya. Dia yang tengah mendekap guling, tetapi kenapa merasakan elusan? Dengan cepat, Qiana membuka mata dan mendongakkan kepala. Tepat saat itu, Qiana melebarkan kedua mata.‘Astaga,’ batin Qiana.“Pagi,” sapa James.Qiana yang menyadari kalau sejak tadi bukan bantal guling yang didekap pun semakin diam. Mulutnya tertutup dengan raut wajah kaku.
Hening. Qiana hanya diam, menatap ke arah langit kamar dengan raut wajah berpikir. Dia masih mengingat semua ucapan James padanya. Ada perasaan berbeda setiap kali dia mengingatnya. Pasalnya dia tidak pernah mempercayai pria itu sama sekali. Qiana bahkan selalu bertingkah buruk dengan James, tetapi pria itu masih begitu percaya dengannya.Apakah menjauh dan memusuhi James bukanlah hal yang benar? Qiana mulai memikirkan hal tersebut. Dia mulai merasa kalau semua perlakuannya dengan sang suami adalah salah. Pikirannya benar-benar semakin kacau sejak beberapa menit yang lalu. Qiana merasa kalau dia tidak bisa berpikir dengan benar. Hingga pintu kamar mandi terbuka, membuat Qiana mengalihkan pandangan.Deg.Qiana yang melihat James sudah keluar kamar mandi pun hanya diam. Mulutnya setengah terbuka saat melihat sang suami yang tidak mengenakan pakaian. Kali ini James hanya menggunakan celana panjang dan membiarkan bagian dadanya terbuka. Otot yang terbentuk sempurna membuat Qiana menelan s