“Ada urusan apa, Alvan?” Qiana yang baru sampai menatap ke arah Alvan lekat. Wajahnya tidak menunjukkan keramahan sama sekali. Bayangan pria tersebut menghianatinya membuat Qiana enggan bersikap ramah. Sebenarnya pun dia enggan untuk datang, tetapi mendengar Alvan memohon membuatnya tidak tega. Dia sendiri penasaran dengan apa yang ingin Alvan bicarakan. Qiana bahkan lupa untuk meminta izin dari James. “Aku senang, akhirnya kamu mau datang, Qiana,” ucap Alvan dengan senyum manis. “Aku tidak memiliki banyak waktu, Alvan. Jadi, katakan apa yang ingin kamu katakan. Jangan membuang waktuku percuma,” tegas Qiana. “Kamu sekarang berbeda, Qiana. Dulu kamu suka kalau kita berdua mengobrol begini,” celetuk Alvan dengan senyum tipis. Mendengar itu, Qiana tertawa kecil dan menyandarkan tubuh dengan punggung kursi. Dia berkata, “Itu dulu, Alvan. Sekarang, sedetik bersama dengan kamu, aku sudah muak.” Dia memang membenci Alvan. Bahkan dia tidak berniat untuk memaafkan atau berbaikan. Al
James menatap layar komputernya dengan perasaan kesal. Dirinya mendengar sekilas percakapan Qiana dan Jessica di lobby tadi. Dan akhirnya mengetahui bahwa Qiana baru saja bertemu dengan seorang pria, tanpa meminta izin darinya yang adalah suaminya. James kemudian memanggil Tomy, dan memintanya untuk mencari tahu soal Alvan. “Dia pewaris dari keluarga Bahran, Tuan,” jawab Tomy. James menganggukkan kepala, cukup kenal dengan nama itu. Keluarga Bahran sudah bekerjasama dengannya dalam waktu yang lama. Keluarga mereka juga cukup dekat, tetapi selama ini James belum pernah bertemu dengan pewaris tunggal keluarga itu. “Apa hubungan Qiana dengan Alvan?” tanya James serius. “Menurut informasi yang saya dapat, Alvan adalah mantan kekasih Nyonya,” jawab Tomy. James melebarkan kedua mata, cukup terkejut dengan hal itu. Dia memang tahu mengenai Qiana yang memiliki mantan kekasih. Kejadian malam itu pun karena Qiana yang baru saja merasakan patah hati. Apa itu karena Alvan? “Mereka berni
Bab 17_ “Apa yang kamu lakukan di kamarku, Deolinda!” James menatap tajam ke arah sang istri. Rahangnya mengeras dengan tangan mengepal. Pagi tadi dia terbangun dengan kepala yang berat dan tubuh yang terasa lelah. Padahal dia tidak melakukan apa pun setelah pulang kerja dan ke rumah sang mama. James ingat betul dengan semua kejadian yang dilakukannya. Dia datang, makan dan ke kamar. “Apa yang sudah kamu lakukan, Deolinda?” tanya James. Pasalnya dia baru merasa aneh setelah mengingat semuanya. Makanan sang mama yang baru dimakan beberapa suap dan membuat kepalanya pusing. Tubuhnya juga panas. “Aku tidak melakukan apa pun, James. Aku hanya datang ke sini dan aku mandi di kamar kamu karena Mama bilang kamu mau datang. Itu sebabnya aku bersiap dan ingin menyambut kamu. Tapi ternyata kamu malah ---” Deolinda menghentikan penjelasan dan menatap James takut. Mulutnya juga langsung tertutup dengan rapat. “Aku malah apa, Deolinda?” James masih menat
“Kamu sudah mau berangkat?” Qiana yang baru selesai sarapan dan siap bangkit pun berhenti. Dia menatap ke arah James yang baru saja datang. Matanya menyipit, memperhatikan sang suami yang berjalan mendekat. Tidak ada yang aneh dengan James, tetapi tatapannya semakin tajam saat pria itu semakin mendekat dengannya. Raut wajahnya menunjukkan ekspresi berpikir. “Kamu bisa tunggu aku sebentar, Qiana. Kita berangkat bersama. Aku akan mandi dulu,” ucap James. “Bukannya kamu dari rumah mamamu? Kenapa tidak mandi di sana? Selain itu, pakaian kamu sudah ganti. Kenapa masih belum mandi?” tanya Qiana dengan sorot mengamati. Matanya masih menyipit, berusaha mengingat sesuatu. Pasalnya dia ingat sekali jika sang suami pergi menggunakan kemeja putih. Saat ini pria itu menggunakan pakaian yang berbeda. James pun tidak mengenakan jas sama sekali. Mendapat pertanyaan itu, James diam. Biasanya Qiana tidak sebanyak ini bertanya. Wanita itu memilih diam dan menjawab sepe
Jessica terdiam. Pikirannya masih melayang, mengingat tawaran wanita asing yang baru saja menemuinya. Dia merasa aneh dengan Deolinda yang tiba-tiba mengajak bekerjasama. Apakah ini benar atau hanya jebakan semata? Pasalnya, Jessica tidak mengenal Deolinda. Darimana asal dan latar belakang, Jessica tidak mengetahui dengan jelas. Dia hanya bertemu dengan Deolinda sekali. Itu pun saat mereka bertabrakan beberapa hari yang lalu. Pintu apartemen terbuka. Jessica mengalihkan pandangan saat melihat Alvan datang. kedua sudut bibirnya tertarik, membentuk senyum manis dan dan segera bangkit. Jessica tidak menyiakan waktu dan segera mendekat ke arah Alvan berada. Sampai bau alkohol terasa begitu menyengat. “Alvan, kamu mabuk?” tanya Jessica saat mencium bau yang begitu menusuk. Entah berapa botol yang Alvan habiskan saat ini. Namun, Alvan yang tidak sepenuhnya sadar hanya diam. Dia menatap ke arah Jessica, menyipitkan mata dengan kening berkerut dalam, seakan tengah
Hening. Qiana sibuk berkutat dengan laptop meski hari sudah cukup larut. Beberapa kali dia menguap, merasakan kantuk yang teramat sangat. Sayangnya, Qiana tidak berencana untuk menutup mata dan mengistirahatkan otaknya meski hanya sejenak. Dalam pikirannya saat ini hanya ada jumlah pekerjaan yang harus diselesaikan. Besok adalah hari ulang tahun perusahaan. Beberapa hari ini dia sibuk dengan persiapan, melupakan beberapa tugas yang sudah seharusnya selesai. Itu sebabnya Qiana memilih mengambil lembur supaya semuanya selesai tepat waktu. Qiana mengambil cangkir di dekatnya yang ternyata sudah kosong. Qiana yang melihat pun membuang napas kasar. Padahal dia enggan bangkit, tetapi sekarang dia terpaksa mengambil air kembali. Dia pun bangkit, tetapi di waktu yang sama, seseorang meletakkan cangkir di sebelahnya. Qiana yang melihat pun mengalihkan pandangan, menatap ke arah sang pelaku. “Hari sudah malam, Nona. Anda belum ingin pulang?” Qiana yang menden
Hening. James hanya diam, menatap kolam di depannya dengan tatapan kosong. Pikirannya masih melayang, memikirkan mengenai apa yang Qiana ucapkan semalam. Padahal jelas wanita itu hanya mengigau, tetapi cukup mengganggu pikirannya. James bahkan mulai bertanya-tanya, apakah yang dikatakan Qiana benar? “James.” James yang tengah asyik melamun pun menghentikan pikirannya dan menatap ke asal suara. Di hadapannya, berdiri Qiana dengan pakaian formal. Istrinya tampak lebih cantik dari biasanya. Hingga dia menggelengkan kepala, mengalihkan pikiran yang sejak tadi melayang entah kemana. “Aku mau ke kantor dulu. Aku harus melihat persiapan di sana dan memastikan semua berjalan dengan baik,” ucap Qiana. “Aku rasa kamu tidak perlu ke sana, Qiana,” sahut James. Qiana mengerutkan kening saat mendapat larangan dan bertanya, “Kenapa?” Hening. Suasana menjadi begitu sunyi. James sendiri bingung, kenapa tiba-tiba melarang Qiana unt
“Kamu gak apa, Qiana?” Qiana yang melihat siapa yang menolongnya pun melebarkan kedua mata. Mulutnya setengah terbuka, merasa terkejut dengan apa yang terjadi. Sejenak, pikirannya melayang, bingung harus melakukan apa. Tapi hal tersebut hanya berlangsung sejenak karena setelahnya dia langsung bangkit dan menjauhkan tubuh. "Aku tadi cuma lewat dan lihat kamu mau jatuh. Jadi, aku cuman menolong," jelas Alvan. Qiana yang mendengar penjelasan itu pun menarik kedua sudut bibir, membentuk senyum terpaksa yang tampak begitu jelas. Dia berkata, "Iya. Terima kasih." Qiana pun kembali melangkahkan kaki. Dia enggan berlama-lama dengan Alvan. Pasalnya, kalau sampai Jessica melihatnya, dia yakin wanita itu pasti akan marah dan Qiana enggan mencari masalah. Hari ini dia hanya ingin tenang dalam menyelesaikan tugasnya. Dia juga tidak ingin kembali berselisih dengan Jessica. Namun, baru satu langkah Qiana berniat meninggalkan, Alvan sudah lebih dulu meraih pergelangan tangannya. Pria itu men