“Kamu sudah mau berangkat?” Qiana yang baru selesai sarapan dan siap bangkit pun berhenti. Dia menatap ke arah James yang baru saja datang. Matanya menyipit, memperhatikan sang suami yang berjalan mendekat. Tidak ada yang aneh dengan James, tetapi tatapannya semakin tajam saat pria itu semakin mendekat dengannya. Raut wajahnya menunjukkan ekspresi berpikir. “Kamu bisa tunggu aku sebentar, Qiana. Kita berangkat bersama. Aku akan mandi dulu,” ucap James. “Bukannya kamu dari rumah mamamu? Kenapa tidak mandi di sana? Selain itu, pakaian kamu sudah ganti. Kenapa masih belum mandi?” tanya Qiana dengan sorot mengamati. Matanya masih menyipit, berusaha mengingat sesuatu. Pasalnya dia ingat sekali jika sang suami pergi menggunakan kemeja putih. Saat ini pria itu menggunakan pakaian yang berbeda. James pun tidak mengenakan jas sama sekali. Mendapat pertanyaan itu, James diam. Biasanya Qiana tidak sebanyak ini bertanya. Wanita itu memilih diam dan menjawab sepe
Jessica terdiam. Pikirannya masih melayang, mengingat tawaran wanita asing yang baru saja menemuinya. Dia merasa aneh dengan Deolinda yang tiba-tiba mengajak bekerjasama. Apakah ini benar atau hanya jebakan semata? Pasalnya, Jessica tidak mengenal Deolinda. Darimana asal dan latar belakang, Jessica tidak mengetahui dengan jelas. Dia hanya bertemu dengan Deolinda sekali. Itu pun saat mereka bertabrakan beberapa hari yang lalu. Pintu apartemen terbuka. Jessica mengalihkan pandangan saat melihat Alvan datang. kedua sudut bibirnya tertarik, membentuk senyum manis dan dan segera bangkit. Jessica tidak menyiakan waktu dan segera mendekat ke arah Alvan berada. Sampai bau alkohol terasa begitu menyengat. “Alvan, kamu mabuk?” tanya Jessica saat mencium bau yang begitu menusuk. Entah berapa botol yang Alvan habiskan saat ini. Namun, Alvan yang tidak sepenuhnya sadar hanya diam. Dia menatap ke arah Jessica, menyipitkan mata dengan kening berkerut dalam, seakan tengah
Hening. Qiana sibuk berkutat dengan laptop meski hari sudah cukup larut. Beberapa kali dia menguap, merasakan kantuk yang teramat sangat. Sayangnya, Qiana tidak berencana untuk menutup mata dan mengistirahatkan otaknya meski hanya sejenak. Dalam pikirannya saat ini hanya ada jumlah pekerjaan yang harus diselesaikan. Besok adalah hari ulang tahun perusahaan. Beberapa hari ini dia sibuk dengan persiapan, melupakan beberapa tugas yang sudah seharusnya selesai. Itu sebabnya Qiana memilih mengambil lembur supaya semuanya selesai tepat waktu. Qiana mengambil cangkir di dekatnya yang ternyata sudah kosong. Qiana yang melihat pun membuang napas kasar. Padahal dia enggan bangkit, tetapi sekarang dia terpaksa mengambil air kembali. Dia pun bangkit, tetapi di waktu yang sama, seseorang meletakkan cangkir di sebelahnya. Qiana yang melihat pun mengalihkan pandangan, menatap ke arah sang pelaku. “Hari sudah malam, Nona. Anda belum ingin pulang?” Qiana yang menden
Hening. James hanya diam, menatap kolam di depannya dengan tatapan kosong. Pikirannya masih melayang, memikirkan mengenai apa yang Qiana ucapkan semalam. Padahal jelas wanita itu hanya mengigau, tetapi cukup mengganggu pikirannya. James bahkan mulai bertanya-tanya, apakah yang dikatakan Qiana benar? “James.” James yang tengah asyik melamun pun menghentikan pikirannya dan menatap ke asal suara. Di hadapannya, berdiri Qiana dengan pakaian formal. Istrinya tampak lebih cantik dari biasanya. Hingga dia menggelengkan kepala, mengalihkan pikiran yang sejak tadi melayang entah kemana. “Aku mau ke kantor dulu. Aku harus melihat persiapan di sana dan memastikan semua berjalan dengan baik,” ucap Qiana. “Aku rasa kamu tidak perlu ke sana, Qiana,” sahut James. Qiana mengerutkan kening saat mendapat larangan dan bertanya, “Kenapa?” Hening. Suasana menjadi begitu sunyi. James sendiri bingung, kenapa tiba-tiba melarang Qiana unt
“Kamu gak apa, Qiana?” Qiana yang melihat siapa yang menolongnya pun melebarkan kedua mata. Mulutnya setengah terbuka, merasa terkejut dengan apa yang terjadi. Sejenak, pikirannya melayang, bingung harus melakukan apa. Tapi hal tersebut hanya berlangsung sejenak karena setelahnya dia langsung bangkit dan menjauhkan tubuh. "Aku tadi cuma lewat dan lihat kamu mau jatuh. Jadi, aku cuman menolong," jelas Alvan. Qiana yang mendengar penjelasan itu pun menarik kedua sudut bibir, membentuk senyum terpaksa yang tampak begitu jelas. Dia berkata, "Iya. Terima kasih." Qiana pun kembali melangkahkan kaki. Dia enggan berlama-lama dengan Alvan. Pasalnya, kalau sampai Jessica melihatnya, dia yakin wanita itu pasti akan marah dan Qiana enggan mencari masalah. Hari ini dia hanya ingin tenang dalam menyelesaikan tugasnya. Dia juga tidak ingin kembali berselisih dengan Jessica. Namun, baru satu langkah Qiana berniat meninggalkan, Alvan sudah lebih dulu meraih pergelangan tangannya. Pria itu men
"Untuk apa kamu ke sini, Deolinda?"Deolinda yang melihat James berdiri di depannya pun langsung menghentikan langkah. Dengan tenang, dia mengangkat kedua bahu dan berkata, "Mama yang menyuruhku datang, James. Aku juga tidak tahu untuk apa.""Jangan membohongiku, Deolinda," ucap James kembali. Kali ini dengan suara penuh penekanan dan tatapan tajam.Namun, Deolinda yang melihat tidak merasakan apa pun. Dia malah semakin tenang dan memasang raut wajah memelas. Dia bahkan semakin mendekatkan tubuh dan menatap lekat."Kamu tidak percaya denganku, James?" tanya Deolinda. "Padahal kita sudah menikah lama, James. Tapi kamu masih meragukanku. Kamu juga sudah mengenalku cukup lama, tetapi masih tidak tahu seperti apa aku. Aku tidak mungkin datang ke sini kalau tidak disuruh Mama. Aku tidak mungkin melanggar laranganmu.""Selain itu, waktu kamu menyuruhku pulang tadi, aku sudah akan pulang. Tapi saat itu Mama datang dan mencegah. James, aku mengatakan yang sebenarnya. Ak—""Deolinda, bisa kamu
“Untuk apa kamu ke sini lagi, James?” Qiana yang sedang berada di kursi rias pun hanya diam, menatap sang suami dari pantulan cermin. Wajahnya tidak menunjukkan apa pun. Sejak semalam, Qiana memutuskan untuk menjauh dari pria itu. Dia bahkan tidak segan meminta cerai dengan suaminya. Saat ini yang ada dipikiran Qiana hanyalah berpisah dan memulai hidup kembali. Dia tidak ingin menjadi istri kedua. Apa yang akan dikatakan tetangga kalau tahu mengenai dirinya yang menjadi simpanan? Keluarganya akan malu. Anaknya yang lahir pun akan mendapatkan cemoohan karena hal tersebut. Selain itu, Qiana enggan berpisah dengan anak dalam kandungannya. Meski semua terjadi tanpa kehendak dan keinginan darinya, tetapi tetap saja anak dalam kandunganya begitu berharga. Dia tidak akan memberikan kepada Deolinda. Namun, James yang mendapat tatapan dingin tersebut tidak berkomentar sama sekali. Dia tahu mengenai kesalahannya. Tidak seharusnya dia menyembunyikan pernikahannya, tetapi
Qiana diam, duduk dengan pandangan kosong. Pikirannya masih melayang, memikirkan nasib yang begitu mempermainkannya. Dia yang harus hamil di luar nikah dan melakukan pernikahan dengan pria yang tidak dicintainya. Sekarang dia bahkan menjadi perusak rumah tangga orang lain, menjadi istri kedua dan seorang wanita simpanan. Bahkan dia harus menerima jika dirinya dibohongi oleh sang suami. Qiana menarik napas dalam dan membuang perlahan. Sejak semalam dia tidak merasakan tenang sama sekali. Tujuannya kali ini keluar untuk jalan-jalan pun hanya ingin menenangkan pikiran. Dia tidak ingin terus terpaku dengan satu masalah. Anaknya tidak tahu apa pun. Jadi, dia tidak ingin membuat anak dalam kandungannya merasa stress karena pikirannya. “Kamu sudah lama, Qiana?” Qiana yang mendengar pun mengalihkan pandangan. Manik matanya menatap ke arah wanita yang baru saja datang dan duduk tepat di depannya. “Maaf, tadi aku ada kerjaan lain,” ucap Emily.