Qiana diam, duduk dengan pandangan kosong. Pikirannya masih melayang, memikirkan nasib yang begitu mempermainkannya. Dia yang harus hamil di luar nikah dan melakukan pernikahan dengan pria yang tidak dicintainya. Sekarang dia bahkan menjadi perusak rumah tangga orang lain, menjadi istri kedua dan seorang wanita simpanan. Bahkan dia harus menerima jika dirinya dibohongi oleh sang suami. Qiana menarik napas dalam dan membuang perlahan. Sejak semalam dia tidak merasakan tenang sama sekali. Tujuannya kali ini keluar untuk jalan-jalan pun hanya ingin menenangkan pikiran. Dia tidak ingin terus terpaku dengan satu masalah. Anaknya tidak tahu apa pun. Jadi, dia tidak ingin membuat anak dalam kandungannya merasa stress karena pikirannya. “Kamu sudah lama, Qiana?” Qiana yang mendengar pun mengalihkan pandangan. Manik matanya menatap ke arah wanita yang baru saja datang dan duduk tepat di depannya. “Maaf, tadi aku ada kerjaan lain,” ucap Emily.
“Jadi, kamu benar-benar sudah menikah dan sedang hamil?” tanya Emily setelah mendengar cerita Qiana. Qiana yang ditanya pun hanya mampu menganggukkan kepala. Sejak tadi dia tidak mendongakkan kepala sama sekali. Qiana sendiri tidak menatap ke arah Emily saat bercerita. Bukannya takut sahabatnya akan marah, tetapi dia merasa malu dengan diri sendiri. Dia sering mengatakan kalau Jessica adalah wanita murahan dan perusak hubungannya dengan Alvan. Tapi sekarang, dia sedang menuai karma dari setiap ucapannya. Qiana merasa tidak memiliki wajah untuk bertemu dengan siapa pun. Kalau sampai orang kantor tahu, bagaimana? Qiana semakin merasa tidak kuat dengan semua keadaan yang menimpa. Pasalnya dia yang dikenal begitu bersih dan berdedikasi dengan perusahaan, tiba-tiba malah menjadi seorang pelakor. “Qiana, kamu tidak salah dalam hal ini. Kamu juga tidak tahu kan kalau suamimu sudah memiliki istri. Kejadian yang kamu alami juga bukan kesengajaan. Kamu tidak menjebak atau menggodanya. Jadi
“Sekarang aku harus bagaimana?” Qiana duduk di pinggir kolam dengan raut wajah bingung. Beberapa menit yang lalu, orang tua James datang untuk menemuinya dan bahkan meminta hal yang terasa sulit. Meski dia sudah memutuskan untuk melakukan hal tersebut, tetapi tetap saja rasanya masih meragu. Akankah anaknya baik-baik saja jika dia berpisah dengan James? Qiana pun membuang napas kasar. Dia mendongakkan kepala, menatap ke arah langit kamar dan mengingat kejadian yang baru saja terjadi. "Kalau begitu, kamu tinggalkan dia." “Apa? Qiana yang mendengar pun langsung diam dengan kedua mata melebar. Mulutnya setengah terbuka, tidak percaya jika kedatangan wanita di hadapannya hanya untuk menyuruhnya pergi. Dia pikir ada masalah serius yang harus diselesaikan, membuat Ishana datang menemuinya. “Aku tidak tahu kenapa kamu mau menjadi simpanan anakku, tetapi apapun alasanmu, aku tidak peduli sama sekali. Sekarang aku mau kamu menjauh darinya. Tinggalkan dia dan jangan ganggu rumah tangg
“Mau sampai kapan dia mengurungku di sini?” tanya Qiana dengan diri sendiri. Qiana sejak tadi mondar-mandir pun mulai merasa kesal. Dia ingin keluar dari rumah itu, tetapi James malah mengurungnya. Ya, pria itu memberikan penjagaan ketat, membuat rumah tampak seperti penjara. Setiap sudut sudah diisi oleh anak buah yang mengenakan pakaian serba hitam dan menyeramkan. Qiana sendiri tidak bisa berbuat apa pun. Dia harus memikirkan cara untuk keluar dari rumah tersebut. Dia tidak ingin kalau nantinya Ishana dan Deolinda datang menemuinya, memaki dan menghina. Bagaimanapun dia masih memiliki harga diri. Menjadi wanita simpanan juga bukan keinginannya, kan? Kalau James mengatakannya, dia tidak mungkin terjebak dalam keadaan semacam ini. Qiana membuang napas kasar dan memilih duduk. Kakinya sudah lelah, ditambah dengan berat badan yang sudah semakin bertambah. Perutnya juga sudah mulai membuncit karena usia kandungan yang semakin bertambah. “Maafkan mama,
“Makan, Qiana.” Qiana yang sejak tadi diam pun hanya melirik ke arah James. Kedua tangannya disedekapkan dengan mulut terkunci. Wajahnya menunjukkan ekspresi murung karena permintaannya kali ini tidak disetujui sang suami. Padahal dia hanya meminta hal yang menurutnya simple. Dia ingin berpisah dan biarkan James bahagia dengan istri pertamanya. “Qiana.” Qiana mendengar panggilan yang mulai terkesan memaksa, tetapi dia masih enggan untuk peduli. Beberapa pelayan yang datang pun tidak dipedulikan. Dia akan tetap mogok makan supaya permintaannya dituruti. Hingga saat ini James berada di hadapannya dan menatap tajam. “Kamu mau membunuh anakmu?” tanya James sembari meletakkan sendok berisi makanan. “Aku menyayanginya, James,” jawab Qiana dengan penuh penekanan. Tatapannya mulai tidak bersahabat. Meski anak dalam kandungannya ada karena hal yang tidak diinginkan, tetapi dia tetap menyayangi buah hati yang ada dalam kandungannya.
"Bajingan!" maki Qiana selagi membanting gelas berisi whisky ke atas meja bar. Wajahnya yang cantik tampak merah merona, efek alkohol yang tercampur dengan rasa marah dan kekecewaan mendalam.Qiana tahu tindakannya itu menarik perhatian banyak orang. Akan tetapi, dia tidak peduli. Hatinya terlalu sakit untuk bisa memikirkan tanggapan orang lain terhadap dirinya.Beberapa saat lalu, Qiana tengah mengunjungi apartemen sang kekasih guna memberikan kejutan di hari ulang tahun pria tersebut. Namun, saat wanita itu masuk ke dalam, tidak dia sangka dia malah akan diberikan kejutan yang luar biasa."Jangan seperti ini, kamu terlalu nakal.” Seorang wanita bertubuh seksi dan berdada besar tampak sedang berada di pangkuan seorang pria dan mendorong wajah pria tersebut, menolak ciuman dengan manja dan menggoda. "Bagaimana kalau sampai Qiana datang ke sini? Kamu tidak takut Qiana datang dan memergoki kita?”Pria itu tersenyum meremehkan dan mengeratkan pelukannya pada pinggang sang wanita. “Aku sud
Qiana menggeliat pelan ketika cahaya matahari mulia mengusik tidur nyenyaknya.Dia pun mendesis pelan saat merasakan semua otot dalam tubuhnya sakit. Tidak hanya itu,kepalanya juga berdenyut nyeri, membuatnya terpaksa harus memijat pelipisnya sebelummatanya terbuka. Hingga dia membuka mata dan menatap ke arah langit kamar yang terasa asing. “Aku dimana?” gumam Qiana panik. Perlahan, dia bangkit dan sehingga selimut yang sejak tadi menutupi tubuhnya turun. Sontak, kedua matanya melebar saat mendapati tidak ada selembar pakaian pun di tubuhnya. Dengan cepat, dia menarik selimut dan kembali menutupi tubuhnya.Qiana pun akhirnya tersadar bahwa ada seorang punggung pria tertidur nyenyak di sebelahnya. Qiana membuka mulut dan siap berteriak, tetapi sebuah ingatan melintas dalambenaknya. “Kamu mau tidur denganku?” Qiana yang masih setengah sadar pun menatap kearah pria kekar di depannya. “Namaku Qiana dan aku masih perawan,” lanjutnya sembarimengulurkan tangan.
“Ke ruanganku sekarang juga, Qiana.” Qiana yang mendengar panggilan itu pun membuang napas kasar. Dengan malas, diabangkit dan mengayunkan kaki, menuju ke arah tangga yang akan membawanya ke ruanganJames. Ya, sudah satu bulan sejak pertemuannya dengan pria itu, Qiana resmi menjadi asistenpribadi pria tersebut. Dia harus mengerjakan banyak sekali tugas. Tidak jarang dia haruspulang malam karena kelakuan pria yang sudah menidurinya.Qiana menggelengkan kepala saat bayangan satu bulan lalu teringat, dimana dia kehilangan keperawanannya. Dia pikir James hanyalah seorang pria bayaran yang tidak akan pernah hadir kembali dalam hidupnya, tetapi siapa sangka jika James ternyata adalah atasannya sendiri! Sebuah takdir yang cukup membuatnya tertekan. Kalau saja bukan karena Qiana membutuhkan pekerjaan, mungkin dirinya sudah memutuskan untuk berhenti saat itu karena rasa malunya pada James. Qiana menghentikan langkah dan mengetuk pintu ruangan James. Setelahnya dia membuka