“Mau sampai kapan dia mengurungku di sini?” tanya Qiana dengan diri sendiri. Qiana sejak tadi mondar-mandir pun mulai merasa kesal. Dia ingin keluar dari rumah itu, tetapi James malah mengurungnya. Ya, pria itu memberikan penjagaan ketat, membuat rumah tampak seperti penjara. Setiap sudut sudah diisi oleh anak buah yang mengenakan pakaian serba hitam dan menyeramkan. Qiana sendiri tidak bisa berbuat apa pun. Dia harus memikirkan cara untuk keluar dari rumah tersebut. Dia tidak ingin kalau nantinya Ishana dan Deolinda datang menemuinya, memaki dan menghina. Bagaimanapun dia masih memiliki harga diri. Menjadi wanita simpanan juga bukan keinginannya, kan? Kalau James mengatakannya, dia tidak mungkin terjebak dalam keadaan semacam ini. Qiana membuang napas kasar dan memilih duduk. Kakinya sudah lelah, ditambah dengan berat badan yang sudah semakin bertambah. Perutnya juga sudah mulai membuncit karena usia kandungan yang semakin bertambah. “Maafkan mama,
“Makan, Qiana.” Qiana yang sejak tadi diam pun hanya melirik ke arah James. Kedua tangannya disedekapkan dengan mulut terkunci. Wajahnya menunjukkan ekspresi murung karena permintaannya kali ini tidak disetujui sang suami. Padahal dia hanya meminta hal yang menurutnya simple. Dia ingin berpisah dan biarkan James bahagia dengan istri pertamanya. “Qiana.” Qiana mendengar panggilan yang mulai terkesan memaksa, tetapi dia masih enggan untuk peduli. Beberapa pelayan yang datang pun tidak dipedulikan. Dia akan tetap mogok makan supaya permintaannya dituruti. Hingga saat ini James berada di hadapannya dan menatap tajam. “Kamu mau membunuh anakmu?” tanya James sembari meletakkan sendok berisi makanan. “Aku menyayanginya, James,” jawab Qiana dengan penuh penekanan. Tatapannya mulai tidak bersahabat. Meski anak dalam kandungannya ada karena hal yang tidak diinginkan, tetapi dia tetap menyayangi buah hati yang ada dalam kandungannya.
"Bajingan!" maki Qiana selagi membanting gelas berisi whisky ke atas meja bar. Wajahnya yang cantik tampak merah merona, efek alkohol yang tercampur dengan rasa marah dan kekecewaan mendalam.Qiana tahu tindakannya itu menarik perhatian banyak orang. Akan tetapi, dia tidak peduli. Hatinya terlalu sakit untuk bisa memikirkan tanggapan orang lain terhadap dirinya.Beberapa saat lalu, Qiana tengah mengunjungi apartemen sang kekasih guna memberikan kejutan di hari ulang tahun pria tersebut. Namun, saat wanita itu masuk ke dalam, tidak dia sangka dia malah akan diberikan kejutan yang luar biasa."Jangan seperti ini, kamu terlalu nakal.” Seorang wanita bertubuh seksi dan berdada besar tampak sedang berada di pangkuan seorang pria dan mendorong wajah pria tersebut, menolak ciuman dengan manja dan menggoda. "Bagaimana kalau sampai Qiana datang ke sini? Kamu tidak takut Qiana datang dan memergoki kita?”Pria itu tersenyum meremehkan dan mengeratkan pelukannya pada pinggang sang wanita. “Aku sud
Qiana menggeliat pelan ketika cahaya matahari mulia mengusik tidur nyenyaknya.Dia pun mendesis pelan saat merasakan semua otot dalam tubuhnya sakit. Tidak hanya itu,kepalanya juga berdenyut nyeri, membuatnya terpaksa harus memijat pelipisnya sebelummatanya terbuka. Hingga dia membuka mata dan menatap ke arah langit kamar yang terasa asing. “Aku dimana?” gumam Qiana panik. Perlahan, dia bangkit dan sehingga selimut yang sejak tadi menutupi tubuhnya turun. Sontak, kedua matanya melebar saat mendapati tidak ada selembar pakaian pun di tubuhnya. Dengan cepat, dia menarik selimut dan kembali menutupi tubuhnya.Qiana pun akhirnya tersadar bahwa ada seorang punggung pria tertidur nyenyak di sebelahnya. Qiana membuka mulut dan siap berteriak, tetapi sebuah ingatan melintas dalambenaknya. “Kamu mau tidur denganku?” Qiana yang masih setengah sadar pun menatap kearah pria kekar di depannya. “Namaku Qiana dan aku masih perawan,” lanjutnya sembarimengulurkan tangan.
“Ke ruanganku sekarang juga, Qiana.” Qiana yang mendengar panggilan itu pun membuang napas kasar. Dengan malas, diabangkit dan mengayunkan kaki, menuju ke arah tangga yang akan membawanya ke ruanganJames. Ya, sudah satu bulan sejak pertemuannya dengan pria itu, Qiana resmi menjadi asistenpribadi pria tersebut. Dia harus mengerjakan banyak sekali tugas. Tidak jarang dia haruspulang malam karena kelakuan pria yang sudah menidurinya.Qiana menggelengkan kepala saat bayangan satu bulan lalu teringat, dimana dia kehilangan keperawanannya. Dia pikir James hanyalah seorang pria bayaran yang tidak akan pernah hadir kembali dalam hidupnya, tetapi siapa sangka jika James ternyata adalah atasannya sendiri! Sebuah takdir yang cukup membuatnya tertekan. Kalau saja bukan karena Qiana membutuhkan pekerjaan, mungkin dirinya sudah memutuskan untuk berhenti saat itu karena rasa malunya pada James. Qiana menghentikan langkah dan mengetuk pintu ruangan James. Setelahnya dia membuka
“Aku akan bertanggung jawab, Qiana.” Qiana yang sejak tadi hanya diam di mobil James pun tidak menunjukkan ekspresi sama sekali. Wajahnya masih tetap datar dengan pandangan tertuju lurus ke arah jalanan di depannya. Sudah tiga puluh menit mereka berada di sana, tetapi tidak juga membuka suara. Selain karena Qiana yang shock mendengar kabar yang baru saja dia terima, membuatnya tidak bisa bereaksi apa pun. Qiana malah membuang napas kasar dan membuka pintu mobil. Saat ini pikirannya sedang kalut dan tidak bisa berpikir dengan benar. James yang melihat pun melakukan hal yang sama. Dia keluar dan mengejar Qiana yang akan memasuki sebuah rumah dengan dua lantai. Tangannya dengan cepat meraih pergelangan tangan Qiana, membuat langkah wanita itu terhenti. “Lepaskan, Pak James,” ucap Qiana sembari mencoba melepaskan diri. “Aku akan bertanggung jawab untuk anak dalam kandungan kamu,” sahut James. Bagaimanapun itu adalah anaknya dan dia berhak untuk memberika
“Kita sudah sampai, Qiana.” Hening. Qiana hanya diam dengan kepala tertunduk. Manik matanya menatap ke arahcincin yang melingkar di jari manisnya. Wajahnya tampak datar, tetapi jelas dari sorot mata terdapat kesedihan. Bagaimana tidak, secara mendadak Qiana kini sudah berstatus sebagai istri James. Dua jam yang lalu dirinya diminta menikah sirih hanya untuk menutupi kehamilannya. Mengenai cinta, papanya bahkan tidak peduli sama sekali. Apalagi pesta, tidak ada pesta apa pun untuk itu, membuat air matanya tanpa sadar mengalir. “Mulai sekarang kita akan tinggal di sini,” ucap James kembali. Qiana yang mendengar pun menarik napas dalam dan membuang perlahan. Jemarinya mengusap pelan air mata yang sempat melewati pelupuk. Kepalanya mulai mendongak, menatap ke arah rumah mewah di depannya. Qiana membuka pintu dan keluar, mengabaikan James yang masih menunggunya. Kakinya terus melangkah dan masuk, mengamati sekitar. Semua yang ada di sana adalah barang me
“Kamu mau kemana, James?” James yang baru saja menapakkan kaki di anak tangga terakhir pun berhenti. Sorot matanya menatap tajam ke arah Deolinda yang sudah berhenti di depannya. Tidak ada senyum ramah di bibir pria itu.“Aku sudah membuat sarapan. Ayo makan bersama,” ucap Deolinda, masih mengulas senyum manis. Tangannya pun terulur ke arah James. Namun, belum sampai Deolinda menyentuh jemari James, pria itu sudah lebih dulu menyingkirkannya. Kedua tangannya dimasukkan ke saku celana dan berkata, “Aku sudah bilang jangan berikan perhatian apa pun untukku, Deolinda. Itu tidak akan mengubah keadaan kita.” Deolinda yang awalnya mengulas senyum pun terdiam. Raut wajahnya berubah datar, menatap sang suami tanpa ekspresi sama sekali. Kedua tangannya mengepal, menahan amarah yang ingin sekali keluar. Hingga dia membuang napas secara perlahan, mencoba menormalkan kembali perasaannya. “Aku hanya ingin sarapan bersama suamiku, James,” ucap Deolinda, menekankan setiap kata yang dia ucapkan.