“Mama lagi apa?” Ishana yang tengah duduk di kursi dan fokus dengan ponsel pun langsung mengalihkan pandangan. Kedua sudut bibirnya tertarik, membentuk senyum manis yang ditunjukkan untuk sang menantu kesayangan. Sebelah tangannya terulur dan memberikan isyarat agar Deolinda duduk di sebelahnya. “Kamu dari mana?” tanya Ishana sembari menatap ke arah Deolinda. Deolinda malah membuang napas lirih dan duduk di sebelah Ishana. Wajahnya menunjukkan ekspresi berpikir, seperti sedang menimang sesuatu. Bibir bagian bawahnya juga digigit kecil, menandakan ada hal yang tengah mengganggu pikirannya. “Apa James melakukan sesuatu yang membuat kamu sedih?” tanya Ishana dengan sorot mata tama. Namun, Deolinda dengan cepat menggelengkan kepala. Dia berkata, “Sebenarnya James tidak melakukan apa pun, Ma. Hanya saja aku baru dari perusahaan dan ....” Deolinda menghentikan ucapannya, menunjukkan raut wajah meragu. “Kenapa, Deolinda
Qiana yang melihat kehadiran Ishana langsung terdiam dengan kedua mata melebar. Bibirnya sedikit terbuka, terkejut karena melihat wanita yang tengah menatap tajam ke arahnya. Seketika, nyalinya menciut. Wajahnya berubah pucat. Bola matanya mengamati sekitar dan mendapati beberapa karyawan sudah memperhatikannya, membuat Qiana menelan saliva pelan. Tangan yang sejak tadi digenggam pun tidak bergerak sama sekali. Sedangkan Ishana yang melihat keduanya tampak lebih murka. Dia yang tidak menyukai Qiana menjadi semakin membencinya. Kakinya pun melangkah lebar dan langsung melayangkan tangan. Plak. “Mama!” bentak James refleks. Dia langsung menatap ke arah Qiana yang sudah menitikkan air mata. Terdapat tanda merah di pipi sang istri yang membuat emosi James semakin meningkat. Dengan tenang, dia menatap ke arah sang mama yang masih terbalut emosi. “Apa? Kamu mau membela wanita murahan ini?” Ishana yang baru ditatap pun langsung membuka suara. Rahangnya men
“Mama, dengarkan Qiana dulu, Ma.” Qiana melangkah lebar. Dia yang biasanya tampil anggun dan penuh wibawa, kini tampak acak-acakan. Polesan make up yang sebelumnya tampak rapi, kali ini sudah tidak lagi terbentuk. Air matanya pun terus mengalir dengan langkah lebar, mengejar sang mama yang berjalan cepat. Tangannya berusaha meraih, tetapi beberapa kali gagal. Hingga akhirnya dia meraih pergelangan tangan sang mama, membuat wanita yang sudah melahirkannya berhenti. “Ma, dengarkan penjelasan Qiana dulu,” ucap Qiana dengan suara serak. Siska yang sejak tadi menahan kesal pun membuang napas kasar. Dia menatap ke arah Qiana dan berkata, “Apa yang ingin kamu jelaskan, Qiana? Kamu ingin menjelaskan kalau kamu sudah merusak rumah tangga orang lain atau kamu mau menjelaskan seberapa bahagianya menjadi benalu? Kamu bangga sudah bisa merebut suami orang lain?” Qiana langsung menggeleng dan berkata, “Tidak, Ma. Tidak sama sekali.” “Kamu itu sudah memb
Hening. James hanya diam, duduk di kursi sebelah ranjang. Manik matanya menatap ke arah Qiana yang masih berbaring dengan kedua mata terpejam. Saat di kantor, dia dibuat cemas karena Qiana yang sudah pingsan dengan wajah memucat. Hingga dia sampai di rumah sakit dan mengatakan kalau Qiana baik-baik saja, tapi kalau terus berlanjut, mungkin akan berpengaruh dalam kandungannya. James membuang napas kasar. Pikirannya terasa penuh karena masalah yang tidak ada habisnya. Dia yang harus menjadi mental dan pikiran Qiana, tetapi entah kenapa sang mama malah menghancurkan. Mamanya seakan tidak mengharapkan cucu darinya. Kalau terus berlanjut, bisa-bisa dia kehilangan anaknya, kan? “Ya Tuhan, sekarang aku harus bagaimana?” tanya James dengan diri sendiri. Ini pertama kali dia merasakan bimbang dan bingung harus berbuat apa. Pasalnya jika dia menegur sang mama, pasti akan terjadi pertengkaran besar. Bisa-bisa mamanya kembali mendatangi Qiana, tetapi kalau dia hanya diam, istri
“Sekarang aku harus bagaimana?” Qiana hanya diam, duduk di ranjang dengan kepala menatap langit kamar. Sudah hampir dua jam dia melakukannya, mencoba mencari penyelesain untuk masalahnya. Hari ini dia juga bingung harus melakukan apa. Datang ke kantor, dia sudah tidak memiliki muka sama sekali. Datang ke rumah orang tuanya, dia takut akan mendapat penolakan lagi. Qiana menarik napas dalam dan membuang perlahan. Dia ingin mengosongkan pikiran dan perasaan hati yang tidak karuan. Padahal dia ingin tenang supaya bayi dalam kandungannya baik-baik saja, tetapi rasanya tetap sulit. Melinta wajah penuh kekecewaan sang mama, Qiana yakin orang tuanya sangat membenci dirinya. “Tapi kalau aku gak pulang, Mama dan Papa akan semakin marah,” gumam Qiana. Sudah beberapa hari berselang sejak kejadian itu. Dia juga sudah keluar dari rumah sakit, tetapi tidak sekalipun dia datang ke rumah orang tuanya. Dia juga sudah libur beberapa hari dari kantor. Pintu kamar terbu
“Siapa pagi-pagi begini sudah bertamu.” Siska yang baru akan sarapan dengan sang suami pun memilih menghentikan saat suara ketukan pintu terdengar. Dia melangkah kesal ke arah pintu. Pasalnya ini masih cukup pagi. Dia juga ingin sarapan dengan tenang bersama sang suami, tetapi ketukan pintu yang berulang membuatnya kesal dan memutuskan untuk membuka pintu kamar. “Sebentar,” ucap Siska karena sang tamu tidak juga berhenti mengetuk. Hari ini asisten rumah tangganya libur dan pulang kampung. Bel rumah juga sedang rusak dan menunggu seseorang yang ditugaskan untuk memperbaiki datang. Itu sebabnya Siska keteteran sejak pagi dna belum istirahat karena harus menyiapkan sarapan. Siska menghentikan langkah dan membuka pintu. Mulutnya hendak mengatakan sesuatu, tetapi terhenti saat melihat siapa yang datang. Wajha kesalnya berubah menjadi datar dan menatap tajam ke arah tamu di depannya. “Untuk apa kamu ke sini?” tanya Siska dengan tatapan tidak suka.
Qiana duduk di lantai, tepat di sebelah kolam. Hari ini dia benar-benar bosan karena tidak memiliki pekerjaan apa pun. Dia hanya diam dengan wajah masam. Bahkan kolam ikan yang terletak di sebelah kolam renang pun menjadi sasarannya. Berulang kali Qiana melemparkan makanan, membuat semua ikan berkumpul. Sayangnya, saat ini ikan-ikan itu tidak lagi mendekat saat ada makanan ditaburkan. Qiana membuang napas kasar. Biasanya dia sudah sibuk di kantor, tetapi untuk saat ini, dia tidak akan memiliki pekerjaan apa pun. Dia yang awalnya ingin mencari kegiatan lain pun langsung diurungkan karena takut ada yang mengenalinya. Dia tidak ingin membahayakan bayi dalam kandungannya lagi. Dia begitu mencintai anak tersebut meski dia ada karena ketidaksengajaan. “Qiana.” Qiana yang mendengar panggilan itu pun langsung menoleh. Dia menatap ke asal suara dan melebarkan kedua mata. Rasanya tidak menyangka kalau kedua orang tuanya ada di hadapannya. Dengan cepat, dia bangkit dan
“Tuan, sudah cukup malam. Anda tidak mau pulang?” “Sebentar lagi, Qiana,” sahut James tanpa mengalihkan pandangan. Namun, beberapa detik kemudian, dia berhenti dan membuang napas kasar. Dia mendongakkan kepala, menatap ke arah wanita yang tengah memandangnya dengan penuh tanya. Terlihat kerutan di kening sang sekretaris yang membuat James membuang napas lirih. “Maaf, aku lupa kalau sekarang sekretarisku itu kamu, Gita,” kata James. Gita yang mendengar malah melebarkan kedua mata. Mulutnya sedikit terbuka, menatap ke arah James lekat. Dia tidak menyangka kalau akhirnya bisa mendengar ucapan maaf dari tuannya. Bibirnya pun perlahan tersenyum manis dengan perasaan tidak karuan. Biasanya atasannya itu tampak mengerikan, tetapi hari ini dia yang baru pertama kali menjadi sekretaris malah mendapatkan ucapan maaf yang jarang keluar. Apa aku hoki, batin Gita. “Kamu bisa pulang, Gita. Jangan menungguku,” kata James kembali. “Baik,
“Bayi dalam kandunganmu baik-baik saja, Qiana. Dia juga sehat dan tumbuh dengan baik.”Qiana yang mendengar ucapan sang dokter pun tersenyum lebar. Dia merasa bahagia dengan kabar yang diterimanya. Harapannya supaya yang anak tumbuh di rahimnya dengan baik pun seakan terwujud. Dia yang bahagia membuat bayi dalam kandungannya bisa berkembang dengan cukup baik.“Aku akan berikan resep obat buat kamu,” ucap sang dokter kembali.Qiana hanya menganggukkan kepala. Bibirnya masih tersenyum lebar, menatap ke arah gambar janin di depannya. Sudah terbentuk kepala dan bagian tubuh yang lain. Beratnya juga sudah tampak. Terlihat di sana bayinya mulai bergerak, membuat Qiana yang begitu menantikan semakin tidak sabar. Padahal dia tahu setelah ini dia akan berpisah dengan James.Namun, Qiana seakan tidak peduli sama sekali. Dia tetap mengharapkan anaknya segera lahir. Rasanya tidak sabar untuk menggendong bocah mungil yang saat ini hanya bisa melihatnya melalui monitor USG. Hingga sang dokter membe
Qiana mengenakan dress panjang semata kaki dan mengatur rambutnya. Dia menatap beberapa kali, takut kalau sampai ada yang salah dengan penampilannya. Make up tipis membuatnya tampak semakin menawan. Entah kenapa, Qiana merasa kalau setelah kehamilan ini, dia terasa jauh lebih cantik dari sebelumnya.Qiana mulai melangkahkan kaki setelah merasa sudah puas dengan penampilannya. Dia menuju ke arah pintu dan keluar. Kakinya menuruni satu per satu anak tangga. Sebelah tangannya memegang pembatas tangga, takut kalau dia kenapa-kenapa. Perutnya sudah lebih besar dari sebelumnya, tetapi masih bisa untuk melihat kakinya melangkah. Hingga Qiana yang sudah sampai di bawah pun segera menuju ke arah pintu depan.“Qiana, kamu mau kemana?” tanya Siska dengan tatapan lekat.Qiana pun berhenti dan menjawab, “Aku mau periksa kandungan, Ma. Hari ini memang sudah jadwalnya.”“Loh, kok gak bilang sama James,” ucap Siska.Qiana yang ditanya pun diam. Dia memang sengaja tidak mengatakan hal ini dengan James
“Diminum dulu, Jessica.”Jessica yang mendengar hal itu pun terdiam. Dia menatap ke arah Qiana dan Emily yang ada di depannya. Ada perasaan canggung saat melihat keduanya yang sudah menolong dirinya. Padahal jelas kalau dia sudah berbuat buruk dengan Qiana. Hingga dia menelan saliva pelan dan mengambil gelas di depannya. Jessica mulai meneguk pelan, berusaha menghilangkan ketakutan dan perasaan canggung yang tiba-tiba muncul.“Bagaimana kamu bisa berurusan dengan mereka, Jes? Kamu memiliki masalah atau memiliki hutang?” tanya Emily.Jessica baru saja selesai menghabiskan minuman yang ditawarkan Emily. Dia mulai meletakkan gelas di meja dan balik bertanya, “Bukannya itu orang suruhan kalian?” Sebenarnya Jessica tahu kalau tidak mungkin mereka menyuruh orang untuk menyakitinya, tetapi Jessica sudah terlanjur malu. Dia enggan mengakui kesalahannya yang sudah berbuat jahat dengan Qiana. Mendengar itu, emosi Emily pun langsung meningkat. Dengan tegas dia berkata, “Jaga omonganmu, Jessica.
Qiana membuang napas lirih. Pagi ini dia memilih berjalan-jalan di taman yang jauh dari rumahnya. Tidak lupa Qiana mengenakan masker, takut kalau ada yang mengenali dirinya. Dia takut kalau kejadian beberapa hari yang lalu membuat banyak orang mengenal dirinya. Ditambah dengan perutnya sudah sedikit lebih membesar, membuat Qiana mau tidak mau harus lebih giat dalam melakukan aktivitas. Padahal kalau dulu dia hanya akan berbaring cantik dan tidak melakukan apa pun.Qiana yang sudah berjalan beberapa putaran pun membuang napas lirih. Dia memilih untuk duduk di tanah dan menyelonjorkan kedua kaki. Manik matanya menatap sekitar. Ada beberapa ibu hamil juga yang tengah berjalan-jalan seperti dirinya. Bedanya, mereka ditemani suami. Sedangkan Qiana harus berjalan-jalan sendiri. Ada rasa iri setiap kali melihat pasangan yang begitu bahagia. Qiana juga menginginkan hal yang sama.Namun, Qiana harus cukup sadar diri. Dia tidak mungkin mendapatkan hal semacam itu. Kalau sampai dia mendapatkanny
Hening. Alvan dan James hanya diam. Keduanya duduk saling berhadapan, tetapi tidak ada yang membuka suara sama sekali. Keduanya seperti tengah asyik menikmati pikiran masing-masing. Hingga Alvan yang tidak sabar menunggu pun membuang napas lirih. Dia mendongakkan kepala, menatap ke arah James dan bertanya, “Kenapa kamu kesini, James?”James yang awalnya dia pun langsung mendongak. Sebenarnya dia tidak bermaksud untuk diam. Dia juga tidak takut dengan Alvan. Hanya saja, sejak tadi dia diam tengah memikirkan kalimat yang pas untuk melarang Alvan selain karena Qiana adalah istrinya. Dia ingin membuat Alvan takut dan menurut dengannya.“Tidak biasanya kamu datang ke rumahku,” imbuh Alvan karena tidak juga mendapat jawaban.James membuang napas lirih dan berkata, “Aku kesini karena aku melihat kamu bersama dengan Qiana beberapa hari yang lalu, Alvan.”Mendengar itu, Alvan terdiam sejenak. Dia merasa bahagia karena James yang ternyata terpancing dengan rencananya. Dia yakin, James pasti ten
Alvan melangkah pelan, keluar dari mobil dan memasang wajah datar. Sorot matanya menunjukkan keseriusan. Tidak ada senyum yang terlintas di bibirnya. Bahkan beberapa sapaan dari karyawan tidak dibalasnya sama sekali. Hari ini mood-nya tidaklah baik, membuat Alvan tidak mau bersikap ramah dengan siapa pun.Alvan terus melangkahkan kaki, menuju ke arah lift yang akan membawa ke ruangannya. Mulutnya masih bungkam. Padahal biasanya dia masih mau menyapa para karyawan yang bersikap baik dengannya. Hingga pintu lift terbuka, membuat Alvan kembali melanjutkan langkah.Alvan segera memasuki ruangan, sesekali menatap ke arah sang sekretaris yang belum datang. Padahal sudah siang, tetapi sekretarisnya malah tidak berniat untuk bekerja sama sekali. Bahkan dia yang merupakan atasan malah jauh lebih dulu sampai di kantor. Hingga Alvan memasuki ruangan dan siap melangkah ke arah meja kerja.Namun, niatnya terhenti karena manik matanya melihat seseorang yang cukup dikenalnya. Menyadari kesabarannya
“Kamu masih bekerja dengan James kan, Deolinda?” tanya Ishana.Deolinda yang hendak menyendok makanan pun menghentikannya. Dia menatap ke arah sang mertua dan menjawab, “Iya, Ma.”“Kamu harus memanfaatkan momen ini, Deolinda. Kalau dulu Qiana bisa mendekati James saat menjadi sekretarisnya, seharusnya kamu juga bisa. Kamu harus bisa menaklukan James dan membuat dia bertekuk lutut denganmu. Jangan biarkan wanita murahan itu mengalahkanmu,” ucap Ishana serius.Deolinda terdiam. Manik matanya menatap lekat ke arah sang mertua yang menurutnya tampak aneh. Biasanya Ishana tidak memaksanya seperti ini. Wanita itu lebih sering melakukan dengan cara yang santai. Kali ini, Deolinda menjadi heran. Dia pun meraih jemari sang mertua dna bertanya, “Mama sedang ada masalah?” Ishana yang ditanya pun membuang napas lirih. Dia menatap lekat ke arah sang menantu dan menggelengkan kepala. “Tidak sama sekali, Deolinda. Mama baik-baik saja,” jawab Ishana dengan santai.“Terus, kenapa tiba-tiba Mama mem
Qiana menyembunyikan dalam wajahnya di dalam bantal. Dia merasakan kenyamanan saat mendekap benda yang selalu menemaninya tidur, tetapi entah kenapa kalau kali ini dia merasa jauh lebih nyaman. Dia seakan enggan meninggalkan tersebut dan malah mendekap semakin erat. Bau maskulin yang melekat membuat Qiana enggan meninggalkannya. Belum lagi elusan lembut di bagian punggung yang semakin menambah rasa nyamannya.Sejenak, Qiana menikmati semua hal tersebut. Dia bahkan terus mengusel masuk, berusaha mencari titik ternyaman yang enggan untuk ditinggalkan. Sampai dia yang mulai kembali meraih kesadarannya pun terdiam. Wanita itu mencoba mengingat semuanya. Dia yang tengah mendekap guling, tetapi kenapa merasakan elusan? Dengan cepat, Qiana membuka mata dan mendongakkan kepala. Tepat saat itu, Qiana melebarkan kedua mata.‘Astaga,’ batin Qiana.“Pagi,” sapa James.Qiana yang menyadari kalau sejak tadi bukan bantal guling yang didekap pun semakin diam. Mulutnya tertutup dengan raut wajah kaku.
Hening. Qiana hanya diam, menatap ke arah langit kamar dengan raut wajah berpikir. Dia masih mengingat semua ucapan James padanya. Ada perasaan berbeda setiap kali dia mengingatnya. Pasalnya dia tidak pernah mempercayai pria itu sama sekali. Qiana bahkan selalu bertingkah buruk dengan James, tetapi pria itu masih begitu percaya dengannya.Apakah menjauh dan memusuhi James bukanlah hal yang benar? Qiana mulai memikirkan hal tersebut. Dia mulai merasa kalau semua perlakuannya dengan sang suami adalah salah. Pikirannya benar-benar semakin kacau sejak beberapa menit yang lalu. Qiana merasa kalau dia tidak bisa berpikir dengan benar. Hingga pintu kamar mandi terbuka, membuat Qiana mengalihkan pandangan.Deg.Qiana yang melihat James sudah keluar kamar mandi pun hanya diam. Mulutnya setengah terbuka saat melihat sang suami yang tidak mengenakan pakaian. Kali ini James hanya menggunakan celana panjang dan membiarkan bagian dadanya terbuka. Otot yang terbentuk sempurna membuat Qiana menelan s