Qiana melangkah pelan. Manik matanya menatap ke arah dokumen di tangan. Wajahnya tampak serius, tidak memperhatikan jalanan di depannya. Hari ini akan ada rapat yang membahas mengenai kerjasama kedua perusahaan. Mereka yang akan memberikan modal jelas harus mengetahui seluk-beluk dari perusahaan tersebut. Itu sebabnya Qiana berusaha mempelajarinya. Hingga sebuah tangan terjulur dan menghalangi jalannya. Saat itu juga Qiana mendongakkan kepala. “Apa yang kamu lakukan, Jessica?” tanya Qiana dengan sorot mata kesal. Dia lelah mengurusi Jessica yang terus saja membuat masalah dengannya. Padahal Qiana sudah mencoba untuk menghindar, tidak menjalin kontak apa pun. Jessica yang ditanya menarik tangan dan berkata, “Jauhi Alvan. Kalau kamu masih tidak mau menjauhinya, aku akan katakan dengan seisi kantor mengenai kamu yang menjadi simpanan Pak James.” Qiana memutar bola mata pelan. Rasanya benar-benar kesal karena lagi-lagi mengenai Alvan. Qiana merasa tidak
“Mama lagi apa?” Ishana yang tengah duduk di kursi dan fokus dengan ponsel pun langsung mengalihkan pandangan. Kedua sudut bibirnya tertarik, membentuk senyum manis yang ditunjukkan untuk sang menantu kesayangan. Sebelah tangannya terulur dan memberikan isyarat agar Deolinda duduk di sebelahnya. “Kamu dari mana?” tanya Ishana sembari menatap ke arah Deolinda. Deolinda malah membuang napas lirih dan duduk di sebelah Ishana. Wajahnya menunjukkan ekspresi berpikir, seperti sedang menimang sesuatu. Bibir bagian bawahnya juga digigit kecil, menandakan ada hal yang tengah mengganggu pikirannya. “Apa James melakukan sesuatu yang membuat kamu sedih?” tanya Ishana dengan sorot mata tama. Namun, Deolinda dengan cepat menggelengkan kepala. Dia berkata, “Sebenarnya James tidak melakukan apa pun, Ma. Hanya saja aku baru dari perusahaan dan ....” Deolinda menghentikan ucapannya, menunjukkan raut wajah meragu. “Kenapa, Deolinda
Qiana yang melihat kehadiran Ishana langsung terdiam dengan kedua mata melebar. Bibirnya sedikit terbuka, terkejut karena melihat wanita yang tengah menatap tajam ke arahnya. Seketika, nyalinya menciut. Wajahnya berubah pucat. Bola matanya mengamati sekitar dan mendapati beberapa karyawan sudah memperhatikannya, membuat Qiana menelan saliva pelan. Tangan yang sejak tadi digenggam pun tidak bergerak sama sekali. Sedangkan Ishana yang melihat keduanya tampak lebih murka. Dia yang tidak menyukai Qiana menjadi semakin membencinya. Kakinya pun melangkah lebar dan langsung melayangkan tangan. Plak. “Mama!” bentak James refleks. Dia langsung menatap ke arah Qiana yang sudah menitikkan air mata. Terdapat tanda merah di pipi sang istri yang membuat emosi James semakin meningkat. Dengan tenang, dia menatap ke arah sang mama yang masih terbalut emosi. “Apa? Kamu mau membela wanita murahan ini?” Ishana yang baru ditatap pun langsung membuka suara. Rahangnya men
“Mama, dengarkan Qiana dulu, Ma.” Qiana melangkah lebar. Dia yang biasanya tampil anggun dan penuh wibawa, kini tampak acak-acakan. Polesan make up yang sebelumnya tampak rapi, kali ini sudah tidak lagi terbentuk. Air matanya pun terus mengalir dengan langkah lebar, mengejar sang mama yang berjalan cepat. Tangannya berusaha meraih, tetapi beberapa kali gagal. Hingga akhirnya dia meraih pergelangan tangan sang mama, membuat wanita yang sudah melahirkannya berhenti. “Ma, dengarkan penjelasan Qiana dulu,” ucap Qiana dengan suara serak. Siska yang sejak tadi menahan kesal pun membuang napas kasar. Dia menatap ke arah Qiana dan berkata, “Apa yang ingin kamu jelaskan, Qiana? Kamu ingin menjelaskan kalau kamu sudah merusak rumah tangga orang lain atau kamu mau menjelaskan seberapa bahagianya menjadi benalu? Kamu bangga sudah bisa merebut suami orang lain?” Qiana langsung menggeleng dan berkata, “Tidak, Ma. Tidak sama sekali.” “Kamu itu sudah memb
Hening. James hanya diam, duduk di kursi sebelah ranjang. Manik matanya menatap ke arah Qiana yang masih berbaring dengan kedua mata terpejam. Saat di kantor, dia dibuat cemas karena Qiana yang sudah pingsan dengan wajah memucat. Hingga dia sampai di rumah sakit dan mengatakan kalau Qiana baik-baik saja, tapi kalau terus berlanjut, mungkin akan berpengaruh dalam kandungannya. James membuang napas kasar. Pikirannya terasa penuh karena masalah yang tidak ada habisnya. Dia yang harus menjadi mental dan pikiran Qiana, tetapi entah kenapa sang mama malah menghancurkan. Mamanya seakan tidak mengharapkan cucu darinya. Kalau terus berlanjut, bisa-bisa dia kehilangan anaknya, kan? “Ya Tuhan, sekarang aku harus bagaimana?” tanya James dengan diri sendiri. Ini pertama kali dia merasakan bimbang dan bingung harus berbuat apa. Pasalnya jika dia menegur sang mama, pasti akan terjadi pertengkaran besar. Bisa-bisa mamanya kembali mendatangi Qiana, tetapi kalau dia hanya diam, istri
“Sekarang aku harus bagaimana?” Qiana hanya diam, duduk di ranjang dengan kepala menatap langit kamar. Sudah hampir dua jam dia melakukannya, mencoba mencari penyelesain untuk masalahnya. Hari ini dia juga bingung harus melakukan apa. Datang ke kantor, dia sudah tidak memiliki muka sama sekali. Datang ke rumah orang tuanya, dia takut akan mendapat penolakan lagi. Qiana menarik napas dalam dan membuang perlahan. Dia ingin mengosongkan pikiran dan perasaan hati yang tidak karuan. Padahal dia ingin tenang supaya bayi dalam kandungannya baik-baik saja, tetapi rasanya tetap sulit. Melinta wajah penuh kekecewaan sang mama, Qiana yakin orang tuanya sangat membenci dirinya. “Tapi kalau aku gak pulang, Mama dan Papa akan semakin marah,” gumam Qiana. Sudah beberapa hari berselang sejak kejadian itu. Dia juga sudah keluar dari rumah sakit, tetapi tidak sekalipun dia datang ke rumah orang tuanya. Dia juga sudah libur beberapa hari dari kantor. Pintu kamar terbu
“Siapa pagi-pagi begini sudah bertamu.” Siska yang baru akan sarapan dengan sang suami pun memilih menghentikan saat suara ketukan pintu terdengar. Dia melangkah kesal ke arah pintu. Pasalnya ini masih cukup pagi. Dia juga ingin sarapan dengan tenang bersama sang suami, tetapi ketukan pintu yang berulang membuatnya kesal dan memutuskan untuk membuka pintu kamar. “Sebentar,” ucap Siska karena sang tamu tidak juga berhenti mengetuk. Hari ini asisten rumah tangganya libur dan pulang kampung. Bel rumah juga sedang rusak dan menunggu seseorang yang ditugaskan untuk memperbaiki datang. Itu sebabnya Siska keteteran sejak pagi dna belum istirahat karena harus menyiapkan sarapan. Siska menghentikan langkah dan membuka pintu. Mulutnya hendak mengatakan sesuatu, tetapi terhenti saat melihat siapa yang datang. Wajha kesalnya berubah menjadi datar dan menatap tajam ke arah tamu di depannya. “Untuk apa kamu ke sini?” tanya Siska dengan tatapan tidak suka.
Qiana duduk di lantai, tepat di sebelah kolam. Hari ini dia benar-benar bosan karena tidak memiliki pekerjaan apa pun. Dia hanya diam dengan wajah masam. Bahkan kolam ikan yang terletak di sebelah kolam renang pun menjadi sasarannya. Berulang kali Qiana melemparkan makanan, membuat semua ikan berkumpul. Sayangnya, saat ini ikan-ikan itu tidak lagi mendekat saat ada makanan ditaburkan. Qiana membuang napas kasar. Biasanya dia sudah sibuk di kantor, tetapi untuk saat ini, dia tidak akan memiliki pekerjaan apa pun. Dia yang awalnya ingin mencari kegiatan lain pun langsung diurungkan karena takut ada yang mengenalinya. Dia tidak ingin membahayakan bayi dalam kandungannya lagi. Dia begitu mencintai anak tersebut meski dia ada karena ketidaksengajaan. “Qiana.” Qiana yang mendengar panggilan itu pun langsung menoleh. Dia menatap ke asal suara dan melebarkan kedua mata. Rasanya tidak menyangka kalau kedua orang tuanya ada di hadapannya. Dengan cepat, dia bangkit dan
Qiana membuang napas lirih. Pagi ini dia memilih berjalan-jalan di taman yang jauh dari rumahnya. Tidak lupa Qiana mengenakan masker, takut kalau ada yang mengenali dirinya. Dia takut kalau kejadian beberapa hari yang lalu membuat banyak orang mengenal dirinya. Ditambah dengan perutnya sudah sedikit lebih membesar, membuat Qiana mau tidak mau harus lebih giat dalam melakukan aktivitas. Padahal kalau dulu dia hanya akan berbaring cantik dan tidak melakukan apa pun.Qiana yang sudah berjalan beberapa putaran pun membuang napas lirih. Dia memilih untuk duduk di tanah dan menyelonjorkan kedua kaki. Manik matanya menatap sekitar. Ada beberapa ibu hamil juga yang tengah berjalan-jalan seperti dirinya. Bedanya, mereka ditemani suami. Sedangkan Qiana harus berjalan-jalan sendiri. Ada rasa iri setiap kali melihat pasangan yang begitu bahagia. Qiana juga menginginkan hal yang sama.Namun, Qiana harus cukup sadar diri. Dia tidak mungkin mendapatkan hal semacam itu. Kalau sampai dia mendapatkanny
Hening. Alvan dan James hanya diam. Keduanya duduk saling berhadapan, tetapi tidak ada yang membuka suara sama sekali. Keduanya seperti tengah asyik menikmati pikiran masing-masing. Hingga Alvan yang tidak sabar menunggu pun membuang napas lirih. Dia mendongakkan kepala, menatap ke arah James dan bertanya, “Kenapa kamu kesini, James?”James yang awalnya dia pun langsung mendongak. Sebenarnya dia tidak bermaksud untuk diam. Dia juga tidak takut dengan Alvan. Hanya saja, sejak tadi dia diam tengah memikirkan kalimat yang pas untuk melarang Alvan selain karena Qiana adalah istrinya. Dia ingin membuat Alvan takut dan menurut dengannya.“Tidak biasanya kamu datang ke rumahku,” imbuh Alvan karena tidak juga mendapat jawaban.James membuang napas lirih dan berkata, “Aku kesini karena aku melihat kamu bersama dengan Qiana beberapa hari yang lalu, Alvan.”Mendengar itu, Alvan terdiam sejenak. Dia merasa bahagia karena James yang ternyata terpancing dengan rencananya. Dia yakin, James pasti ten
Alvan melangkah pelan, keluar dari mobil dan memasang wajah datar. Sorot matanya menunjukkan keseriusan. Tidak ada senyum yang terlintas di bibirnya. Bahkan beberapa sapaan dari karyawan tidak dibalasnya sama sekali. Hari ini mood-nya tidaklah baik, membuat Alvan tidak mau bersikap ramah dengan siapa pun.Alvan terus melangkahkan kaki, menuju ke arah lift yang akan membawa ke ruangannya. Mulutnya masih bungkam. Padahal biasanya dia masih mau menyapa para karyawan yang bersikap baik dengannya. Hingga pintu lift terbuka, membuat Alvan kembali melanjutkan langkah.Alvan segera memasuki ruangan, sesekali menatap ke arah sang sekretaris yang belum datang. Padahal sudah siang, tetapi sekretarisnya malah tidak berniat untuk bekerja sama sekali. Bahkan dia yang merupakan atasan malah jauh lebih dulu sampai di kantor. Hingga Alvan memasuki ruangan dan siap melangkah ke arah meja kerja.Namun, niatnya terhenti karena manik matanya melihat seseorang yang cukup dikenalnya. Menyadari kesabarannya
“Kamu masih bekerja dengan James kan, Deolinda?” tanya Ishana.Deolinda yang hendak menyendok makanan pun menghentikannya. Dia menatap ke arah sang mertua dan menjawab, “Iya, Ma.”“Kamu harus memanfaatkan momen ini, Deolinda. Kalau dulu Qiana bisa mendekati James saat menjadi sekretarisnya, seharusnya kamu juga bisa. Kamu harus bisa menaklukan James dan membuat dia bertekuk lutut denganmu. Jangan biarkan wanita murahan itu mengalahkanmu,” ucap Ishana serius.Deolinda terdiam. Manik matanya menatap lekat ke arah sang mertua yang menurutnya tampak aneh. Biasanya Ishana tidak memaksanya seperti ini. Wanita itu lebih sering melakukan dengan cara yang santai. Kali ini, Deolinda menjadi heran. Dia pun meraih jemari sang mertua dna bertanya, “Mama sedang ada masalah?” Ishana yang ditanya pun membuang napas lirih. Dia menatap lekat ke arah sang menantu dan menggelengkan kepala. “Tidak sama sekali, Deolinda. Mama baik-baik saja,” jawab Ishana dengan santai.“Terus, kenapa tiba-tiba Mama mem
Qiana menyembunyikan dalam wajahnya di dalam bantal. Dia merasakan kenyamanan saat mendekap benda yang selalu menemaninya tidur, tetapi entah kenapa kalau kali ini dia merasa jauh lebih nyaman. Dia seakan enggan meninggalkan tersebut dan malah mendekap semakin erat. Bau maskulin yang melekat membuat Qiana enggan meninggalkannya. Belum lagi elusan lembut di bagian punggung yang semakin menambah rasa nyamannya.Sejenak, Qiana menikmati semua hal tersebut. Dia bahkan terus mengusel masuk, berusaha mencari titik ternyaman yang enggan untuk ditinggalkan. Sampai dia yang mulai kembali meraih kesadarannya pun terdiam. Wanita itu mencoba mengingat semuanya. Dia yang tengah mendekap guling, tetapi kenapa merasakan elusan? Dengan cepat, Qiana membuka mata dan mendongakkan kepala. Tepat saat itu, Qiana melebarkan kedua mata.‘Astaga,’ batin Qiana.“Pagi,” sapa James.Qiana yang menyadari kalau sejak tadi bukan bantal guling yang didekap pun semakin diam. Mulutnya tertutup dengan raut wajah kaku.
Hening. Qiana hanya diam, menatap ke arah langit kamar dengan raut wajah berpikir. Dia masih mengingat semua ucapan James padanya. Ada perasaan berbeda setiap kali dia mengingatnya. Pasalnya dia tidak pernah mempercayai pria itu sama sekali. Qiana bahkan selalu bertingkah buruk dengan James, tetapi pria itu masih begitu percaya dengannya.Apakah menjauh dan memusuhi James bukanlah hal yang benar? Qiana mulai memikirkan hal tersebut. Dia mulai merasa kalau semua perlakuannya dengan sang suami adalah salah. Pikirannya benar-benar semakin kacau sejak beberapa menit yang lalu. Qiana merasa kalau dia tidak bisa berpikir dengan benar. Hingga pintu kamar mandi terbuka, membuat Qiana mengalihkan pandangan.Deg.Qiana yang melihat James sudah keluar kamar mandi pun hanya diam. Mulutnya setengah terbuka saat melihat sang suami yang tidak mengenakan pakaian. Kali ini James hanya menggunakan celana panjang dan membiarkan bagian dadanya terbuka. Otot yang terbentuk sempurna membuat Qiana menelan s
Alvan turun dari mobil dan melangkah ke arah perusahaan. Hari ini dia cukup puas. Langkah pertamanya untuk memisahkan Qiana dan James pasti akan berhasil. Dia benar-benar begitu percaya diri dan yakin bisa mendapatkan Qiana lagi. Bagaimanapun dia pernah bersama dengan Qiana dan dia cukup tahu apa yang akan dilakukan untuk mendapatkan hati wanita itu.Alvan terus melangkah dan berhenti saat berada di depan lift. Dia menunggu, tetapi tidak terlalu lama, pintu terbuka. Dia pun segera masuk. Kedua tangannya dimasukkan ke saku celana dan memasang raut wajah sinis. Hingga pintu lift kembali terbuka, membuat Alvan segera keluar. Tujuannya kali ini ada ruang kerja yang terletak di ujung.Alvan yang sudah sampai di ruangan pun membuka dengan tenang sembari berkata, “Lihat saja. Aku pasti bisa mengalahkan egonya.”“Ego siapa?”Alvan menghentikan langkah dan langsung mengalihkan pandangan. Dia menatap ke asal suara, dimana Jessica sudah duduk di sofa. Wanita itu menyilangkan kaki. Kepalanya dimi
“Aww,” desis Alvan dengan wajah menahan sakit.Qiana yang mendengar hal itu pun menatap ke arah Alvan dengan wajah memelas. Dia merasa kasihan dengan pria yang baru saja mendapatkan tamparan dari sang mama. Padahal saat di dalam tadi dia pikir mamanya tidak akan melakukan hal semacam ini. Ya, Qiana tahu Alvan datang, tetapi tidak pernah terpikir kalau sang mama akan mengamuk dengannya. Bagaimanapun mamanya pernah sesayang itu dengan Alvan.“Maafin Mama ya, Alvan. Aku yakin, Mama gak sengaja tadi,” ucap Qiana. Dia benar-benar tidak enak hati atas semua yang dilakukan mamanya. Dia dan Alvan memang berpisah dengan cara yang buruk, tetapi dia sudah memaafkan semuanya. Dia sudah ikhlas dengan semua yang terjadi.Alvan yang mendengar pun tersenyum kecil dan menganggukkan kepala. Dia menyahut, “Gak masalah, Qiana. Aku juga tahu alasan Tante Siska marah. Dia pasti kesal karena anaknya dulu aku permainkan. Maaf untuk semua, Qiana.”Qiana hanya tersenyum tipis saat mendengar apa yang Alvan kata
Hening. James yang mendengar hal itu pun diam. Permintaan sang mama benar-benar sulit. Dia sendiri tidak yakin bisa melakukannya. Pasalnya dia begitu membenci Deolinda. Sedangkan Qiana juga membutuhkan dirinya. Dia tidak mungkin meninggalkan istrinya yang tengah mengandung. Kali ini, sang mama benar-benar memberikan keputusan yang menurutnya sulit.“Bagaimana, James? Kamu sepakat?” tanya Ishana dengan tatapan mengamati.Sejenak, James hanya diam dan tidak mengatakan apa pun. Dia memperhatikan sang mama lekat. Terlihat jelas sekali senyum sinis di bibir sang mama yang menandakan kemenangan. Hingga James yang sudah membuat keputusan membuang napas lirih dan berkata, “Aku bisa tinggal dengan Deolinda, memperlakukannya dengan baik. Tapi kalau aku tidak datang ke rumah Qiana, aku tidak bisa.”Seketika, kedua mata Ishana melebar. Rahangnya mengeras dengan kedua tangan mengepal. Tanpa sadar, dia bangkit dan berkata, “James, mama hanya meminta kamu tidak ke rumahnya lagi. Apa sesulit itu? Ter