Qiana duduk di lantai, tepat di sebelah kolam. Hari ini dia benar-benar bosan karena tidak memiliki pekerjaan apa pun. Dia hanya diam dengan wajah masam. Bahkan kolam ikan yang terletak di sebelah kolam renang pun menjadi sasarannya. Berulang kali Qiana melemparkan makanan, membuat semua ikan berkumpul. Sayangnya, saat ini ikan-ikan itu tidak lagi mendekat saat ada makanan ditaburkan. Qiana membuang napas kasar. Biasanya dia sudah sibuk di kantor, tetapi untuk saat ini, dia tidak akan memiliki pekerjaan apa pun. Dia yang awalnya ingin mencari kegiatan lain pun langsung diurungkan karena takut ada yang mengenalinya. Dia tidak ingin membahayakan bayi dalam kandungannya lagi. Dia begitu mencintai anak tersebut meski dia ada karena ketidaksengajaan. “Qiana.” Qiana yang mendengar panggilan itu pun langsung menoleh. Dia menatap ke asal suara dan melebarkan kedua mata. Rasanya tidak menyangka kalau kedua orang tuanya ada di hadapannya. Dengan cepat, dia bangkit dan
“Tuan, sudah cukup malam. Anda tidak mau pulang?” “Sebentar lagi, Qiana,” sahut James tanpa mengalihkan pandangan. Namun, beberapa detik kemudian, dia berhenti dan membuang napas kasar. Dia mendongakkan kepala, menatap ke arah wanita yang tengah memandangnya dengan penuh tanya. Terlihat kerutan di kening sang sekretaris yang membuat James membuang napas lirih. “Maaf, aku lupa kalau sekarang sekretarisku itu kamu, Gita,” kata James. Gita yang mendengar malah melebarkan kedua mata. Mulutnya sedikit terbuka, menatap ke arah James lekat. Dia tidak menyangka kalau akhirnya bisa mendengar ucapan maaf dari tuannya. Bibirnya pun perlahan tersenyum manis dengan perasaan tidak karuan. Biasanya atasannya itu tampak mengerikan, tetapi hari ini dia yang baru pertama kali menjadi sekretaris malah mendapatkan ucapan maaf yang jarang keluar. Apa aku hoki, batin Gita. “Kamu bisa pulang, Gita. Jangan menungguku,” kata James kembali. “Baik,
“Hari ini aku mau bertemu teman.” James yang tengah menyuap makanan pun langsung berhenti. Dia melirik ke arah Qiana yang terlihat tenang. Bahkan mulutnya masih sibuk mengunyah makanan dan tidak menatap ke arah lawan bicara. James sendiri sebenarnya kesal karena Qiana yang seperti tidak meminta izin darinya, tetapi James berusaha tenang. Dia kembali menyuap makanan dan mengunyah pelan. “Jangan suruh anak buahmu mengikutiku,” ucap Qiana lagi. “Kenapa?” Kali ini James meletakkan sendok dan menatap Qiana serius. Kedua tangannya disedekapkan di atas meja, menunggu jawaban dari sang istri. “Ya karena aku mau privasi. Aku tidak mau diganggu,” jawab Qiana enteng. Dia bahkan seperti tidak menganggap izin dari James itu penting. Sikapnya kali ini menunjukkan hal tersebut. Privasi? James yang mendengar pun membuang napas kasar dan menggelengkan kepala. Kenapa selalu privasi yang menjadi masalahnya? Rasanya dia tidak mengerti dengan sik
“Qiana, sini.” Qiana yang melihat lambaian tangan itu pun langsung melangkah lebar. Bibirnya tersenyum lebar, menunjukkan kebahagiaan yang begitu besar. Dia bahkan lupa jika perutnya sudah sedikit membesar dan membuat tubuhnya menjadi sedikit lebih berat. Sampai dia yang sudah berada di hadapan sang sahabat pun berhenti dan mendekap erat. “Akhirnya kamu pulang, Emily,” ucap Qiana dengan penuh kelegaan. Emily yang mendengar pun ikut tersenyum. Dia melepaskan dekapan dan berkata, “Maaf karena kali ini aku pergi terlalu lama, Qiana. Tapi aku sudah dengar semua kabar mengenai kamu dari rekan-rekan kita di kantor.” Qiana diam dan membuang napas kasar. Berarti Emily sudah tahu mengenai dirinya yang menjadi istri kedua dan mengundurkan diri dari pekerjaan, kan? Menyadari fakta itu, Qiana yang awalnya bersemangat pun langsung lesu. Bibirnya dimanyunkan dengan raut wajah masam. “Jangan mikir aneh-aneh,” kata Emily sembari menepuk jida
“Bisa kamu pulang ke rumah, James?” James yang mendengar hal itu pun langsung mendesah kasar. Beberapa hari ini mamanya terus saja menyuruhnya untuk pulang, tetapi selalu ditolak. Pasalnya dia yakin kalau sang mama pasti memiliki rencana lain untuk mendekatkannya dengan Deolinda. Padahal sudah berulang kali dia mengatakan bahwa dia enggan bersama Deolinda. Meski wanita itu adalah istri sahnya id mata hukum dan agama, tetap saja James enggan bersama. Dia melakukan pernikahan itu hanya karena keluarga yang memaksa. “James, kenapa diam?” James yang mendengar teguran itu pun langsung menyahut, “Aku tidak bisa, Ma. Ada banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan.” “Pekerjaan? Kamu yakin pekerjaan? Bukan karena wanita murahan itu yang melarang?” Seketika, James mengeraskan rahang. Tangannya mengepal, menunjukkan otot tangan yang begitu jelas. Qiana bukanlah wanita murahan. Dia adalah istri sah James, meski hanya diakui secara agama. Selain itu, Q
“Kamu sudah awasi Qiana, Tomy?” Tomy yang tengah mengemudi pun menganggukkan kepala dan menjawab, “Iya, Tuan. Nona Qiana hanya bertemu dengannya di cafe dan kembali ke rumah sahabatnya itu. Saya juga sudah mengutus salah satu anak buah kita untuk memantau.” James yang mendengar hal itu pun merasa tenang. Setidaknya, masih ada yang menjaga Qiana meski bukan dirinya. Sebenarnya tidak akan ada musuh yang menyerang Qiana, tetapi James cukup takut kalau mamanya dan Deolinda yang akan berulah. Pasalnya hanya kedua orang itu yang memiliki masalah dengan Qiana. Hening. Suasana di dalam mobil kembali sunyi. James hanya sibuk dengan pikirannya. Dia masih mencoba mencari cara untuk meyakinkan sang mama agar bisa menerima Qiana. Bagaimana Qiana adalah istrinya. Anak di kandungannya juga anaknya. Sama seperti Deolinda yang begitu diterima, James pun mau mamanya menerima dan menyayangi Qiana. Tapi bagaimana caranya? “Tuan, ada yang mengganggu pikiran anda?”
“Haaaah!” Deolinda yang kembali frustasi pun langsung memecahkan barang di atas meja. Air matanya mengalir dengan begitu deras karena James yang tidak jadi ke rumah sang mama. Padahal jelas-jelas pria itu sudah sampai dan tinggal masuk saja, tetapi semua gagal. Beberapa menit yang lalu, James menghubungi sang mama, mengatakan tidak jadi datang karena Qiana yang masuk rumah sakit. Deolinda menarik napas dalam dan membuang perlahan. Sebisa mungkin, dia ingin meredam emosinya, tetapi setiap kali mengingat apa yang James lakukan, rasa benci dan dendamnya langsung membara. Dia tidak terima jika Qiana yang mendapat perhatian dari James. Apa semua ini karena anak di kandungan Qiana? Deolinda yang berpikir demikian pun langsung tersenyum sinis. Rencana jahat mulai terpikir dalam otaknya. Sampai ketukan pintu terdengar, membuat Deolinda mengalihkan pandangan. Itu pasti Mama. Deolinda yang sudah cukup tahu pun langsung duduk di lantai dan menundukkan kepala.
Hening. James hanya diam, duduk bersebelahan dengan Qiana. Hari ini wanita itu sudah bisa dibawa pulang karena tidak ada luka yang serius. Meski sebelumnya darah mengalir cukup deras, tetapi hal itu tidak menimbulkan luka dalam. James sendiri merasa aneh, kenapa ada orang yang berusaha mencelakai Qiana? Apa ini ulah Mama da Deolinda? Namun, James segera mengusir pikiran itu. Tidak mungkin mamanya melakukan hal semacam itu. Pasalnya meski sang mama membenci Qiana, tetap saja dia masih memiliki hati nurani. Tidak mungkin rasanya kalau menyuruh orang untuk melakukan tindak kriminal. Selain itu, kenapa sang pelaku hanya menyerempet tangan saja? Padahal mereka bisa saja menusuk Qiana di bagian yang lain. “Qiana, kamu memiliki musuh?” tanya James tiba-tiba. Qiana yang mendengar pun mengalihkan pandangan, menatap ke arah James dengan kening berkerut dalam. Dia malah menjawab dengan sinis, “Aku itu bukan kamu yang memiliki banyak musuh, James.” Mendengar
Qiana membuang napas lirih. Pagi ini dia memilih berjalan-jalan di taman yang jauh dari rumahnya. Tidak lupa Qiana mengenakan masker, takut kalau ada yang mengenali dirinya. Dia takut kalau kejadian beberapa hari yang lalu membuat banyak orang mengenal dirinya. Ditambah dengan perutnya sudah sedikit lebih membesar, membuat Qiana mau tidak mau harus lebih giat dalam melakukan aktivitas. Padahal kalau dulu dia hanya akan berbaring cantik dan tidak melakukan apa pun.Qiana yang sudah berjalan beberapa putaran pun membuang napas lirih. Dia memilih untuk duduk di tanah dan menyelonjorkan kedua kaki. Manik matanya menatap sekitar. Ada beberapa ibu hamil juga yang tengah berjalan-jalan seperti dirinya. Bedanya, mereka ditemani suami. Sedangkan Qiana harus berjalan-jalan sendiri. Ada rasa iri setiap kali melihat pasangan yang begitu bahagia. Qiana juga menginginkan hal yang sama.Namun, Qiana harus cukup sadar diri. Dia tidak mungkin mendapatkan hal semacam itu. Kalau sampai dia mendapatkanny
Hening. Alvan dan James hanya diam. Keduanya duduk saling berhadapan, tetapi tidak ada yang membuka suara sama sekali. Keduanya seperti tengah asyik menikmati pikiran masing-masing. Hingga Alvan yang tidak sabar menunggu pun membuang napas lirih. Dia mendongakkan kepala, menatap ke arah James dan bertanya, “Kenapa kamu kesini, James?”James yang awalnya dia pun langsung mendongak. Sebenarnya dia tidak bermaksud untuk diam. Dia juga tidak takut dengan Alvan. Hanya saja, sejak tadi dia diam tengah memikirkan kalimat yang pas untuk melarang Alvan selain karena Qiana adalah istrinya. Dia ingin membuat Alvan takut dan menurut dengannya.“Tidak biasanya kamu datang ke rumahku,” imbuh Alvan karena tidak juga mendapat jawaban.James membuang napas lirih dan berkata, “Aku kesini karena aku melihat kamu bersama dengan Qiana beberapa hari yang lalu, Alvan.”Mendengar itu, Alvan terdiam sejenak. Dia merasa bahagia karena James yang ternyata terpancing dengan rencananya. Dia yakin, James pasti ten
Alvan melangkah pelan, keluar dari mobil dan memasang wajah datar. Sorot matanya menunjukkan keseriusan. Tidak ada senyum yang terlintas di bibirnya. Bahkan beberapa sapaan dari karyawan tidak dibalasnya sama sekali. Hari ini mood-nya tidaklah baik, membuat Alvan tidak mau bersikap ramah dengan siapa pun.Alvan terus melangkahkan kaki, menuju ke arah lift yang akan membawa ke ruangannya. Mulutnya masih bungkam. Padahal biasanya dia masih mau menyapa para karyawan yang bersikap baik dengannya. Hingga pintu lift terbuka, membuat Alvan kembali melanjutkan langkah.Alvan segera memasuki ruangan, sesekali menatap ke arah sang sekretaris yang belum datang. Padahal sudah siang, tetapi sekretarisnya malah tidak berniat untuk bekerja sama sekali. Bahkan dia yang merupakan atasan malah jauh lebih dulu sampai di kantor. Hingga Alvan memasuki ruangan dan siap melangkah ke arah meja kerja.Namun, niatnya terhenti karena manik matanya melihat seseorang yang cukup dikenalnya. Menyadari kesabarannya
“Kamu masih bekerja dengan James kan, Deolinda?” tanya Ishana.Deolinda yang hendak menyendok makanan pun menghentikannya. Dia menatap ke arah sang mertua dan menjawab, “Iya, Ma.”“Kamu harus memanfaatkan momen ini, Deolinda. Kalau dulu Qiana bisa mendekati James saat menjadi sekretarisnya, seharusnya kamu juga bisa. Kamu harus bisa menaklukan James dan membuat dia bertekuk lutut denganmu. Jangan biarkan wanita murahan itu mengalahkanmu,” ucap Ishana serius.Deolinda terdiam. Manik matanya menatap lekat ke arah sang mertua yang menurutnya tampak aneh. Biasanya Ishana tidak memaksanya seperti ini. Wanita itu lebih sering melakukan dengan cara yang santai. Kali ini, Deolinda menjadi heran. Dia pun meraih jemari sang mertua dna bertanya, “Mama sedang ada masalah?” Ishana yang ditanya pun membuang napas lirih. Dia menatap lekat ke arah sang menantu dan menggelengkan kepala. “Tidak sama sekali, Deolinda. Mama baik-baik saja,” jawab Ishana dengan santai.“Terus, kenapa tiba-tiba Mama mem
Qiana menyembunyikan dalam wajahnya di dalam bantal. Dia merasakan kenyamanan saat mendekap benda yang selalu menemaninya tidur, tetapi entah kenapa kalau kali ini dia merasa jauh lebih nyaman. Dia seakan enggan meninggalkan tersebut dan malah mendekap semakin erat. Bau maskulin yang melekat membuat Qiana enggan meninggalkannya. Belum lagi elusan lembut di bagian punggung yang semakin menambah rasa nyamannya.Sejenak, Qiana menikmati semua hal tersebut. Dia bahkan terus mengusel masuk, berusaha mencari titik ternyaman yang enggan untuk ditinggalkan. Sampai dia yang mulai kembali meraih kesadarannya pun terdiam. Wanita itu mencoba mengingat semuanya. Dia yang tengah mendekap guling, tetapi kenapa merasakan elusan? Dengan cepat, Qiana membuka mata dan mendongakkan kepala. Tepat saat itu, Qiana melebarkan kedua mata.‘Astaga,’ batin Qiana.“Pagi,” sapa James.Qiana yang menyadari kalau sejak tadi bukan bantal guling yang didekap pun semakin diam. Mulutnya tertutup dengan raut wajah kaku.
Hening. Qiana hanya diam, menatap ke arah langit kamar dengan raut wajah berpikir. Dia masih mengingat semua ucapan James padanya. Ada perasaan berbeda setiap kali dia mengingatnya. Pasalnya dia tidak pernah mempercayai pria itu sama sekali. Qiana bahkan selalu bertingkah buruk dengan James, tetapi pria itu masih begitu percaya dengannya.Apakah menjauh dan memusuhi James bukanlah hal yang benar? Qiana mulai memikirkan hal tersebut. Dia mulai merasa kalau semua perlakuannya dengan sang suami adalah salah. Pikirannya benar-benar semakin kacau sejak beberapa menit yang lalu. Qiana merasa kalau dia tidak bisa berpikir dengan benar. Hingga pintu kamar mandi terbuka, membuat Qiana mengalihkan pandangan.Deg.Qiana yang melihat James sudah keluar kamar mandi pun hanya diam. Mulutnya setengah terbuka saat melihat sang suami yang tidak mengenakan pakaian. Kali ini James hanya menggunakan celana panjang dan membiarkan bagian dadanya terbuka. Otot yang terbentuk sempurna membuat Qiana menelan s
Alvan turun dari mobil dan melangkah ke arah perusahaan. Hari ini dia cukup puas. Langkah pertamanya untuk memisahkan Qiana dan James pasti akan berhasil. Dia benar-benar begitu percaya diri dan yakin bisa mendapatkan Qiana lagi. Bagaimanapun dia pernah bersama dengan Qiana dan dia cukup tahu apa yang akan dilakukan untuk mendapatkan hati wanita itu.Alvan terus melangkah dan berhenti saat berada di depan lift. Dia menunggu, tetapi tidak terlalu lama, pintu terbuka. Dia pun segera masuk. Kedua tangannya dimasukkan ke saku celana dan memasang raut wajah sinis. Hingga pintu lift kembali terbuka, membuat Alvan segera keluar. Tujuannya kali ini ada ruang kerja yang terletak di ujung.Alvan yang sudah sampai di ruangan pun membuka dengan tenang sembari berkata, “Lihat saja. Aku pasti bisa mengalahkan egonya.”“Ego siapa?”Alvan menghentikan langkah dan langsung mengalihkan pandangan. Dia menatap ke asal suara, dimana Jessica sudah duduk di sofa. Wanita itu menyilangkan kaki. Kepalanya dimi
“Aww,” desis Alvan dengan wajah menahan sakit.Qiana yang mendengar hal itu pun menatap ke arah Alvan dengan wajah memelas. Dia merasa kasihan dengan pria yang baru saja mendapatkan tamparan dari sang mama. Padahal saat di dalam tadi dia pikir mamanya tidak akan melakukan hal semacam ini. Ya, Qiana tahu Alvan datang, tetapi tidak pernah terpikir kalau sang mama akan mengamuk dengannya. Bagaimanapun mamanya pernah sesayang itu dengan Alvan.“Maafin Mama ya, Alvan. Aku yakin, Mama gak sengaja tadi,” ucap Qiana. Dia benar-benar tidak enak hati atas semua yang dilakukan mamanya. Dia dan Alvan memang berpisah dengan cara yang buruk, tetapi dia sudah memaafkan semuanya. Dia sudah ikhlas dengan semua yang terjadi.Alvan yang mendengar pun tersenyum kecil dan menganggukkan kepala. Dia menyahut, “Gak masalah, Qiana. Aku juga tahu alasan Tante Siska marah. Dia pasti kesal karena anaknya dulu aku permainkan. Maaf untuk semua, Qiana.”Qiana hanya tersenyum tipis saat mendengar apa yang Alvan kata
Hening. James yang mendengar hal itu pun diam. Permintaan sang mama benar-benar sulit. Dia sendiri tidak yakin bisa melakukannya. Pasalnya dia begitu membenci Deolinda. Sedangkan Qiana juga membutuhkan dirinya. Dia tidak mungkin meninggalkan istrinya yang tengah mengandung. Kali ini, sang mama benar-benar memberikan keputusan yang menurutnya sulit.“Bagaimana, James? Kamu sepakat?” tanya Ishana dengan tatapan mengamati.Sejenak, James hanya diam dan tidak mengatakan apa pun. Dia memperhatikan sang mama lekat. Terlihat jelas sekali senyum sinis di bibir sang mama yang menandakan kemenangan. Hingga James yang sudah membuat keputusan membuang napas lirih dan berkata, “Aku bisa tinggal dengan Deolinda, memperlakukannya dengan baik. Tapi kalau aku tidak datang ke rumah Qiana, aku tidak bisa.”Seketika, kedua mata Ishana melebar. Rahangnya mengeras dengan kedua tangan mengepal. Tanpa sadar, dia bangkit dan berkata, “James, mama hanya meminta kamu tidak ke rumahnya lagi. Apa sesulit itu? Ter