Hening. Alvan dan James hanya diam. Keduanya duduk saling berhadapan, tetapi tidak ada yang membuka suara sama sekali. Keduanya seperti tengah asyik menikmati pikiran masing-masing. Hingga Alvan yang tidak sabar menunggu pun membuang napas lirih. Dia mendongakkan kepala, menatap ke arah James dan bertanya, “Kenapa kamu kesini, James?”James yang awalnya dia pun langsung mendongak. Sebenarnya dia tidak bermaksud untuk diam. Dia juga tidak takut dengan Alvan. Hanya saja, sejak tadi dia diam tengah memikirkan kalimat yang pas untuk melarang Alvan selain karena Qiana adalah istrinya. Dia ingin membuat Alvan takut dan menurut dengannya.“Tidak biasanya kamu datang ke rumahku,” imbuh Alvan karena tidak juga mendapat jawaban.James membuang napas lirih dan berkata, “Aku kesini karena aku melihat kamu bersama dengan Qiana beberapa hari yang lalu, Alvan.”Mendengar itu, Alvan terdiam sejenak. Dia merasa bahagia karena James yang ternyata terpancing dengan rencananya. Dia yakin, James pasti ten
Qiana membuang napas lirih. Pagi ini dia memilih berjalan-jalan di taman yang jauh dari rumahnya. Tidak lupa Qiana mengenakan masker, takut kalau ada yang mengenali dirinya. Dia takut kalau kejadian beberapa hari yang lalu membuat banyak orang mengenal dirinya. Ditambah dengan perutnya sudah sedikit lebih membesar, membuat Qiana mau tidak mau harus lebih giat dalam melakukan aktivitas. Padahal kalau dulu dia hanya akan berbaring cantik dan tidak melakukan apa pun.Qiana yang sudah berjalan beberapa putaran pun membuang napas lirih. Dia memilih untuk duduk di tanah dan menyelonjorkan kedua kaki. Manik matanya menatap sekitar. Ada beberapa ibu hamil juga yang tengah berjalan-jalan seperti dirinya. Bedanya, mereka ditemani suami. Sedangkan Qiana harus berjalan-jalan sendiri. Ada rasa iri setiap kali melihat pasangan yang begitu bahagia. Qiana juga menginginkan hal yang sama.Namun, Qiana harus cukup sadar diri. Dia tidak mungkin mendapatkan hal semacam itu. Kalau sampai dia mendapatkanny
"Bajingan!" maki Qiana selagi membanting gelas berisi whisky ke atas meja bar. Wajahnya yang cantik tampak merah merona, efek alkohol yang tercampur dengan rasa marah dan kekecewaan mendalam.Qiana tahu tindakannya itu menarik perhatian banyak orang. Akan tetapi, dia tidak peduli. Hatinya terlalu sakit untuk bisa memikirkan tanggapan orang lain terhadap dirinya.Beberapa saat lalu, Qiana tengah mengunjungi apartemen sang kekasih guna memberikan kejutan di hari ulang tahun pria tersebut. Namun, saat wanita itu masuk ke dalam, tidak dia sangka dia malah akan diberikan kejutan yang luar biasa."Jangan seperti ini, kamu terlalu nakal.” Seorang wanita bertubuh seksi dan berdada besar tampak sedang berada di pangkuan seorang pria dan mendorong wajah pria tersebut, menolak ciuman dengan manja dan menggoda. "Bagaimana kalau sampai Qiana datang ke sini? Kamu tidak takut Qiana datang dan memergoki kita?”Pria itu tersenyum meremehkan dan mengeratkan pelukannya pada pinggang sang wanita. “Aku sud
Qiana menggeliat pelan ketika cahaya matahari mulia mengusik tidur nyenyaknya.Dia pun mendesis pelan saat merasakan semua otot dalam tubuhnya sakit. Tidak hanya itu,kepalanya juga berdenyut nyeri, membuatnya terpaksa harus memijat pelipisnya sebelummatanya terbuka. Hingga dia membuka mata dan menatap ke arah langit kamar yang terasa asing. “Aku dimana?” gumam Qiana panik. Perlahan, dia bangkit dan sehingga selimut yang sejak tadi menutupi tubuhnya turun. Sontak, kedua matanya melebar saat mendapati tidak ada selembar pakaian pun di tubuhnya. Dengan cepat, dia menarik selimut dan kembali menutupi tubuhnya.Qiana pun akhirnya tersadar bahwa ada seorang punggung pria tertidur nyenyak di sebelahnya. Qiana membuka mulut dan siap berteriak, tetapi sebuah ingatan melintas dalambenaknya. “Kamu mau tidur denganku?” Qiana yang masih setengah sadar pun menatap kearah pria kekar di depannya. “Namaku Qiana dan aku masih perawan,” lanjutnya sembarimengulurkan tangan.
“Ke ruanganku sekarang juga, Qiana.” Qiana yang mendengar panggilan itu pun membuang napas kasar. Dengan malas, diabangkit dan mengayunkan kaki, menuju ke arah tangga yang akan membawanya ke ruanganJames. Ya, sudah satu bulan sejak pertemuannya dengan pria itu, Qiana resmi menjadi asistenpribadi pria tersebut. Dia harus mengerjakan banyak sekali tugas. Tidak jarang dia haruspulang malam karena kelakuan pria yang sudah menidurinya.Qiana menggelengkan kepala saat bayangan satu bulan lalu teringat, dimana dia kehilangan keperawanannya. Dia pikir James hanyalah seorang pria bayaran yang tidak akan pernah hadir kembali dalam hidupnya, tetapi siapa sangka jika James ternyata adalah atasannya sendiri! Sebuah takdir yang cukup membuatnya tertekan. Kalau saja bukan karena Qiana membutuhkan pekerjaan, mungkin dirinya sudah memutuskan untuk berhenti saat itu karena rasa malunya pada James. Qiana menghentikan langkah dan mengetuk pintu ruangan James. Setelahnya dia membuka
“Aku akan bertanggung jawab, Qiana.” Qiana yang sejak tadi hanya diam di mobil James pun tidak menunjukkan ekspresi sama sekali. Wajahnya masih tetap datar dengan pandangan tertuju lurus ke arah jalanan di depannya. Sudah tiga puluh menit mereka berada di sana, tetapi tidak juga membuka suara. Selain karena Qiana yang shock mendengar kabar yang baru saja dia terima, membuatnya tidak bisa bereaksi apa pun. Qiana malah membuang napas kasar dan membuka pintu mobil. Saat ini pikirannya sedang kalut dan tidak bisa berpikir dengan benar. James yang melihat pun melakukan hal yang sama. Dia keluar dan mengejar Qiana yang akan memasuki sebuah rumah dengan dua lantai. Tangannya dengan cepat meraih pergelangan tangan Qiana, membuat langkah wanita itu terhenti. “Lepaskan, Pak James,” ucap Qiana sembari mencoba melepaskan diri. “Aku akan bertanggung jawab untuk anak dalam kandungan kamu,” sahut James. Bagaimanapun itu adalah anaknya dan dia berhak untuk memberika
“Kita sudah sampai, Qiana.” Hening. Qiana hanya diam dengan kepala tertunduk. Manik matanya menatap ke arahcincin yang melingkar di jari manisnya. Wajahnya tampak datar, tetapi jelas dari sorot mata terdapat kesedihan. Bagaimana tidak, secara mendadak Qiana kini sudah berstatus sebagai istri James. Dua jam yang lalu dirinya diminta menikah sirih hanya untuk menutupi kehamilannya. Mengenai cinta, papanya bahkan tidak peduli sama sekali. Apalagi pesta, tidak ada pesta apa pun untuk itu, membuat air matanya tanpa sadar mengalir. “Mulai sekarang kita akan tinggal di sini,” ucap James kembali. Qiana yang mendengar pun menarik napas dalam dan membuang perlahan. Jemarinya mengusap pelan air mata yang sempat melewati pelupuk. Kepalanya mulai mendongak, menatap ke arah rumah mewah di depannya. Qiana membuka pintu dan keluar, mengabaikan James yang masih menunggunya. Kakinya terus melangkah dan masuk, mengamati sekitar. Semua yang ada di sana adalah barang me
“Kamu mau kemana, James?” James yang baru saja menapakkan kaki di anak tangga terakhir pun berhenti. Sorot matanya menatap tajam ke arah Deolinda yang sudah berhenti di depannya. Tidak ada senyum ramah di bibir pria itu.“Aku sudah membuat sarapan. Ayo makan bersama,” ucap Deolinda, masih mengulas senyum manis. Tangannya pun terulur ke arah James. Namun, belum sampai Deolinda menyentuh jemari James, pria itu sudah lebih dulu menyingkirkannya. Kedua tangannya dimasukkan ke saku celana dan berkata, “Aku sudah bilang jangan berikan perhatian apa pun untukku, Deolinda. Itu tidak akan mengubah keadaan kita.” Deolinda yang awalnya mengulas senyum pun terdiam. Raut wajahnya berubah datar, menatap sang suami tanpa ekspresi sama sekali. Kedua tangannya mengepal, menahan amarah yang ingin sekali keluar. Hingga dia membuang napas secara perlahan, mencoba menormalkan kembali perasaannya. “Aku hanya ingin sarapan bersama suamiku, James,” ucap Deolinda, menekankan setiap kata yang dia ucapkan.
Qiana membuang napas lirih. Pagi ini dia memilih berjalan-jalan di taman yang jauh dari rumahnya. Tidak lupa Qiana mengenakan masker, takut kalau ada yang mengenali dirinya. Dia takut kalau kejadian beberapa hari yang lalu membuat banyak orang mengenal dirinya. Ditambah dengan perutnya sudah sedikit lebih membesar, membuat Qiana mau tidak mau harus lebih giat dalam melakukan aktivitas. Padahal kalau dulu dia hanya akan berbaring cantik dan tidak melakukan apa pun.Qiana yang sudah berjalan beberapa putaran pun membuang napas lirih. Dia memilih untuk duduk di tanah dan menyelonjorkan kedua kaki. Manik matanya menatap sekitar. Ada beberapa ibu hamil juga yang tengah berjalan-jalan seperti dirinya. Bedanya, mereka ditemani suami. Sedangkan Qiana harus berjalan-jalan sendiri. Ada rasa iri setiap kali melihat pasangan yang begitu bahagia. Qiana juga menginginkan hal yang sama.Namun, Qiana harus cukup sadar diri. Dia tidak mungkin mendapatkan hal semacam itu. Kalau sampai dia mendapatkanny
Hening. Alvan dan James hanya diam. Keduanya duduk saling berhadapan, tetapi tidak ada yang membuka suara sama sekali. Keduanya seperti tengah asyik menikmati pikiran masing-masing. Hingga Alvan yang tidak sabar menunggu pun membuang napas lirih. Dia mendongakkan kepala, menatap ke arah James dan bertanya, “Kenapa kamu kesini, James?”James yang awalnya dia pun langsung mendongak. Sebenarnya dia tidak bermaksud untuk diam. Dia juga tidak takut dengan Alvan. Hanya saja, sejak tadi dia diam tengah memikirkan kalimat yang pas untuk melarang Alvan selain karena Qiana adalah istrinya. Dia ingin membuat Alvan takut dan menurut dengannya.“Tidak biasanya kamu datang ke rumahku,” imbuh Alvan karena tidak juga mendapat jawaban.James membuang napas lirih dan berkata, “Aku kesini karena aku melihat kamu bersama dengan Qiana beberapa hari yang lalu, Alvan.”Mendengar itu, Alvan terdiam sejenak. Dia merasa bahagia karena James yang ternyata terpancing dengan rencananya. Dia yakin, James pasti ten
Alvan melangkah pelan, keluar dari mobil dan memasang wajah datar. Sorot matanya menunjukkan keseriusan. Tidak ada senyum yang terlintas di bibirnya. Bahkan beberapa sapaan dari karyawan tidak dibalasnya sama sekali. Hari ini mood-nya tidaklah baik, membuat Alvan tidak mau bersikap ramah dengan siapa pun.Alvan terus melangkahkan kaki, menuju ke arah lift yang akan membawa ke ruangannya. Mulutnya masih bungkam. Padahal biasanya dia masih mau menyapa para karyawan yang bersikap baik dengannya. Hingga pintu lift terbuka, membuat Alvan kembali melanjutkan langkah.Alvan segera memasuki ruangan, sesekali menatap ke arah sang sekretaris yang belum datang. Padahal sudah siang, tetapi sekretarisnya malah tidak berniat untuk bekerja sama sekali. Bahkan dia yang merupakan atasan malah jauh lebih dulu sampai di kantor. Hingga Alvan memasuki ruangan dan siap melangkah ke arah meja kerja.Namun, niatnya terhenti karena manik matanya melihat seseorang yang cukup dikenalnya. Menyadari kesabarannya
“Kamu masih bekerja dengan James kan, Deolinda?” tanya Ishana.Deolinda yang hendak menyendok makanan pun menghentikannya. Dia menatap ke arah sang mertua dan menjawab, “Iya, Ma.”“Kamu harus memanfaatkan momen ini, Deolinda. Kalau dulu Qiana bisa mendekati James saat menjadi sekretarisnya, seharusnya kamu juga bisa. Kamu harus bisa menaklukan James dan membuat dia bertekuk lutut denganmu. Jangan biarkan wanita murahan itu mengalahkanmu,” ucap Ishana serius.Deolinda terdiam. Manik matanya menatap lekat ke arah sang mertua yang menurutnya tampak aneh. Biasanya Ishana tidak memaksanya seperti ini. Wanita itu lebih sering melakukan dengan cara yang santai. Kali ini, Deolinda menjadi heran. Dia pun meraih jemari sang mertua dna bertanya, “Mama sedang ada masalah?” Ishana yang ditanya pun membuang napas lirih. Dia menatap lekat ke arah sang menantu dan menggelengkan kepala. “Tidak sama sekali, Deolinda. Mama baik-baik saja,” jawab Ishana dengan santai.“Terus, kenapa tiba-tiba Mama mem
Qiana menyembunyikan dalam wajahnya di dalam bantal. Dia merasakan kenyamanan saat mendekap benda yang selalu menemaninya tidur, tetapi entah kenapa kalau kali ini dia merasa jauh lebih nyaman. Dia seakan enggan meninggalkan tersebut dan malah mendekap semakin erat. Bau maskulin yang melekat membuat Qiana enggan meninggalkannya. Belum lagi elusan lembut di bagian punggung yang semakin menambah rasa nyamannya.Sejenak, Qiana menikmati semua hal tersebut. Dia bahkan terus mengusel masuk, berusaha mencari titik ternyaman yang enggan untuk ditinggalkan. Sampai dia yang mulai kembali meraih kesadarannya pun terdiam. Wanita itu mencoba mengingat semuanya. Dia yang tengah mendekap guling, tetapi kenapa merasakan elusan? Dengan cepat, Qiana membuka mata dan mendongakkan kepala. Tepat saat itu, Qiana melebarkan kedua mata.‘Astaga,’ batin Qiana.“Pagi,” sapa James.Qiana yang menyadari kalau sejak tadi bukan bantal guling yang didekap pun semakin diam. Mulutnya tertutup dengan raut wajah kaku.
Hening. Qiana hanya diam, menatap ke arah langit kamar dengan raut wajah berpikir. Dia masih mengingat semua ucapan James padanya. Ada perasaan berbeda setiap kali dia mengingatnya. Pasalnya dia tidak pernah mempercayai pria itu sama sekali. Qiana bahkan selalu bertingkah buruk dengan James, tetapi pria itu masih begitu percaya dengannya.Apakah menjauh dan memusuhi James bukanlah hal yang benar? Qiana mulai memikirkan hal tersebut. Dia mulai merasa kalau semua perlakuannya dengan sang suami adalah salah. Pikirannya benar-benar semakin kacau sejak beberapa menit yang lalu. Qiana merasa kalau dia tidak bisa berpikir dengan benar. Hingga pintu kamar mandi terbuka, membuat Qiana mengalihkan pandangan.Deg.Qiana yang melihat James sudah keluar kamar mandi pun hanya diam. Mulutnya setengah terbuka saat melihat sang suami yang tidak mengenakan pakaian. Kali ini James hanya menggunakan celana panjang dan membiarkan bagian dadanya terbuka. Otot yang terbentuk sempurna membuat Qiana menelan s
Alvan turun dari mobil dan melangkah ke arah perusahaan. Hari ini dia cukup puas. Langkah pertamanya untuk memisahkan Qiana dan James pasti akan berhasil. Dia benar-benar begitu percaya diri dan yakin bisa mendapatkan Qiana lagi. Bagaimanapun dia pernah bersama dengan Qiana dan dia cukup tahu apa yang akan dilakukan untuk mendapatkan hati wanita itu.Alvan terus melangkah dan berhenti saat berada di depan lift. Dia menunggu, tetapi tidak terlalu lama, pintu terbuka. Dia pun segera masuk. Kedua tangannya dimasukkan ke saku celana dan memasang raut wajah sinis. Hingga pintu lift kembali terbuka, membuat Alvan segera keluar. Tujuannya kali ini ada ruang kerja yang terletak di ujung.Alvan yang sudah sampai di ruangan pun membuka dengan tenang sembari berkata, “Lihat saja. Aku pasti bisa mengalahkan egonya.”“Ego siapa?”Alvan menghentikan langkah dan langsung mengalihkan pandangan. Dia menatap ke asal suara, dimana Jessica sudah duduk di sofa. Wanita itu menyilangkan kaki. Kepalanya dimi
“Aww,” desis Alvan dengan wajah menahan sakit.Qiana yang mendengar hal itu pun menatap ke arah Alvan dengan wajah memelas. Dia merasa kasihan dengan pria yang baru saja mendapatkan tamparan dari sang mama. Padahal saat di dalam tadi dia pikir mamanya tidak akan melakukan hal semacam ini. Ya, Qiana tahu Alvan datang, tetapi tidak pernah terpikir kalau sang mama akan mengamuk dengannya. Bagaimanapun mamanya pernah sesayang itu dengan Alvan.“Maafin Mama ya, Alvan. Aku yakin, Mama gak sengaja tadi,” ucap Qiana. Dia benar-benar tidak enak hati atas semua yang dilakukan mamanya. Dia dan Alvan memang berpisah dengan cara yang buruk, tetapi dia sudah memaafkan semuanya. Dia sudah ikhlas dengan semua yang terjadi.Alvan yang mendengar pun tersenyum kecil dan menganggukkan kepala. Dia menyahut, “Gak masalah, Qiana. Aku juga tahu alasan Tante Siska marah. Dia pasti kesal karena anaknya dulu aku permainkan. Maaf untuk semua, Qiana.”Qiana hanya tersenyum tipis saat mendengar apa yang Alvan kata
Hening. James yang mendengar hal itu pun diam. Permintaan sang mama benar-benar sulit. Dia sendiri tidak yakin bisa melakukannya. Pasalnya dia begitu membenci Deolinda. Sedangkan Qiana juga membutuhkan dirinya. Dia tidak mungkin meninggalkan istrinya yang tengah mengandung. Kali ini, sang mama benar-benar memberikan keputusan yang menurutnya sulit.“Bagaimana, James? Kamu sepakat?” tanya Ishana dengan tatapan mengamati.Sejenak, James hanya diam dan tidak mengatakan apa pun. Dia memperhatikan sang mama lekat. Terlihat jelas sekali senyum sinis di bibir sang mama yang menandakan kemenangan. Hingga James yang sudah membuat keputusan membuang napas lirih dan berkata, “Aku bisa tinggal dengan Deolinda, memperlakukannya dengan baik. Tapi kalau aku tidak datang ke rumah Qiana, aku tidak bisa.”Seketika, kedua mata Ishana melebar. Rahangnya mengeras dengan kedua tangan mengepal. Tanpa sadar, dia bangkit dan berkata, “James, mama hanya meminta kamu tidak ke rumahnya lagi. Apa sesulit itu? Ter