“Ke ruanganku sekarang juga, Qiana.”
Qiana yang mendengar panggilan itu pun membuang napas kasar. Dengan malas, dia
bangkit dan mengayunkan kaki, menuju ke arah tangga yang akan membawanya ke ruangan
James. Ya, sudah satu bulan sejak pertemuannya dengan pria itu, Qiana resmi menjadi asisten
pribadi pria tersebut. Dia harus mengerjakan banyak sekali tugas. Tidak jarang dia harus
pulang malam karena kelakuan pria yang sudah menidurinya.
Qiana menggelengkan kepala saat bayangan satu bulan lalu teringat, dimana dia kehilangan keperawanannya. Dia pikir James hanyalah seorang pria bayaran yang tidak akan pernah hadir kembali dalam hidupnya, tetapi siapa sangka jika James ternyata adalah atasannya sendiri!
Sebuah takdir yang cukup membuatnya tertekan. Kalau saja bukan karena Qiana membutuhkan pekerjaan, mungkin dirinya sudah memutuskan untuk berhenti saat itu karena rasa malunya pada James.Qiana menghentikan langkah dan mengetuk pintu ruangan James. Setelahnya dia membuka dan melangkah ke arah meja yang terletak paling ujung, dekat dengan jendela. Di sana, tampak James yang menyiapkan beberapa berkas dan memasang raut wajah serius.
“Ada yang bisa saya bantu, Pak?” tanya Qiana dengan tatapan lekat.
“Ikut aku ke Hotel Berlian, Qiana,” ucap James sembari mendongakkan kepala. “Kita
ada rapat di sana.”
Qiana sempat berpikir kalau James akan macam-macam dengannya pun mulai
merasakan kelegaan. Dia membuang napas lirih dan menganggukkan kepala. Dengan
cekatan, Qiana mengambil berkas di meja kerja James dan melangkah bersama sang atasan.
Hening. Qiana hanya bungkam. Meski James dan dia sudah pernah tidur bersama,
tetapi James cukup profesional. Pria tersebut tetap bersikap biasa, hanya sesekali bersikap
lembut dihadapannya. Itu pun kalau tidak ada karyawan lain di sekitar mereka, tetapi Qiana
juga cukup sadar diri. Pertemuannya dengan James adalah sebuah kebetulan. Dia juga yang
memulai perbuatan panas waktu itu, membuat Qiana memilih mengabaikan dan memberikan
batas untuk hubungan mereka.
Qiana dan James menaiki mobil. Butuh tiga puluh menit hingga mereka sampai di
hotel yang dituju. Keduanya segera menuju ke restoran yang terletak di lantai satu.
“Kamu tunggu di kursi lain saja, Qiana,” ucap James.
Qiana lagi-lagi hanya menganggukkan kepala. Dia pun mencari kursi lain dan
memesan makanan, sesuai dengan perintah sang atasan. Manik matanya masih terus
mengawasi James yang tampak serius. Hal yang membuat Qiana tidak bosan sama sekali.
Pasalnya saat James tengah serius, pria tersebut tampak jauh lebih menggoda. Hingga Qiana
yang merasa tidak nyaman pun bangkit.
Namun, saat akan mengayunkan kaki, Qiana berhenti. Tangannya memegang kepalanya yang mulai terasa berat. Pandangannya pun mulai mengabur, membuat tubuh lemahnya menjadi oleng dan …
Bruuk.
James yang saat itu tengah berbincang pun berhenti dan mengalihkan pandangan.
Kedua matanya langsung melebar saat melihat Qiana yang sudah tergeletak di lantai. Dengan
cepat, dia bangkit dan melangkah ke arah asistennya berada.
“Qiana, bangun,” panggil James sembari menepuk pelan pipi Qiana.
***
“Bagaimana kondisinya, Dok?” tanya James saat sang dokter selesai memeriksa
Qiana. Dia memang memutuskan untuk membawa Qiana dan menghentikan rapat yang sudah
berjalan setengah. Wajahnya benar-benar cemas saat melihat Qiana yang pingsan. Saat ini
pun, dia masih memasang raut wajah penuh kekhawatiran.
Sang dokter yang baru saja selesai memeriksa pun duduk dan menatap ke arah James.
“Tidak perlu cemas, Tuan. Istri anda baik-baik saja. Dia hanya sedang hamil muda dan hal itu
biasa terjadi,” jelas sang dokter.
“Hamil?” James langsung melebarkan kedua mata saat mendengar kabar tersebut.
Jantungnya seakan berhenti berdetak. Mulutnya pun setengah terbuka. Benar-benar seperti
orang bodoh.
“Iya, usia kandungannya sekitar empat minggu,” kata sang dokter.
Empat minggu? Aku dan Qiana berhubungan juga satu bulan yang lalu. Apa ini
artinya anak yang ada dalam kandungannya adalah anakku, batin James. Pikirannya masih
terus berputar, mencoba mencerna setiap rangkaian kejadian.
“Aku dimana?”
James yang melihat Qiana sudah sadar pun mengalihkan pandangan. Dengan cepat,
dia bangkit dan menuju ke arah Qiana berada. Wajahnya masih tampak tegang dengan kabar
yang diterimanya kali ini. Pasalnya dia tidak pernah menyangka kalau pada akhirnya Qiana
akan hamil anaknya.
“Pak, saya dimana?” tanya Qiana saat James berdiri di sebelahnya.
“Kamu di rumah sakit, Qiana. Tadi kamu pingsan,” jawab James.
“Ah iya, aku tadi pagi lupa sarapan. Jadi, kepalaku sedikit pusing. Sepertinya asam
lambungku juga naik,” kata Qiana, “Kalau begitu maaf sudah merepotkan Bapak,” imbuh
Qiana dan bangkit.
Namun, James menghentikan gerakan Qiana, membuat Qiana menatap James heran.
“Bapak kenapa?” tanya Qiana.
“Mulai sekarang kamu harus hati-hati, Qiana,” ucap James, membuat Qiana
mengerutkan kening.
“Ada anak kita di dalam kandunganmu. Usia kandungannya juga sudah empat minggu,” lanjut James.
“Aku akan bertanggung jawab, Qiana.” Qiana yang sejak tadi hanya diam di mobil James pun tidak menunjukkan ekspresi sama sekali. Wajahnya masih tetap datar dengan pandangan tertuju lurus ke arah jalanan di depannya. Sudah tiga puluh menit mereka berada di sana, tetapi tidak juga membuka suara. Selain karena Qiana yang shock mendengar kabar yang baru saja dia terima, membuatnya tidak bisa bereaksi apa pun. Qiana malah membuang napas kasar dan membuka pintu mobil. Saat ini pikirannya sedang kalut dan tidak bisa berpikir dengan benar. James yang melihat pun melakukan hal yang sama. Dia keluar dan mengejar Qiana yang akan memasuki sebuah rumah dengan dua lantai. Tangannya dengan cepat meraih pergelangan tangan Qiana, membuat langkah wanita itu terhenti. “Lepaskan, Pak James,” ucap Qiana sembari mencoba melepaskan diri. “Aku akan bertanggung jawab untuk anak dalam kandungan kamu,” sahut James. Bagaimanapun itu adalah anaknya dan dia berhak untuk memberika
“Kita sudah sampai, Qiana.” Hening. Qiana hanya diam dengan kepala tertunduk. Manik matanya menatap ke arahcincin yang melingkar di jari manisnya. Wajahnya tampak datar, tetapi jelas dari sorot mata terdapat kesedihan. Bagaimana tidak, secara mendadak Qiana kini sudah berstatus sebagai istri James. Dua jam yang lalu dirinya diminta menikah sirih hanya untuk menutupi kehamilannya. Mengenai cinta, papanya bahkan tidak peduli sama sekali. Apalagi pesta, tidak ada pesta apa pun untuk itu, membuat air matanya tanpa sadar mengalir. “Mulai sekarang kita akan tinggal di sini,” ucap James kembali. Qiana yang mendengar pun menarik napas dalam dan membuang perlahan. Jemarinya mengusap pelan air mata yang sempat melewati pelupuk. Kepalanya mulai mendongak, menatap ke arah rumah mewah di depannya. Qiana membuka pintu dan keluar, mengabaikan James yang masih menunggunya. Kakinya terus melangkah dan masuk, mengamati sekitar. Semua yang ada di sana adalah barang me
“Kamu mau kemana, James?” James yang baru saja menapakkan kaki di anak tangga terakhir pun berhenti. Sorot matanya menatap tajam ke arah Deolinda yang sudah berhenti di depannya. Tidak ada senyum ramah di bibir pria itu.“Aku sudah membuat sarapan. Ayo makan bersama,” ucap Deolinda, masih mengulas senyum manis. Tangannya pun terulur ke arah James. Namun, belum sampai Deolinda menyentuh jemari James, pria itu sudah lebih dulu menyingkirkannya. Kedua tangannya dimasukkan ke saku celana dan berkata, “Aku sudah bilang jangan berikan perhatian apa pun untukku, Deolinda. Itu tidak akan mengubah keadaan kita.” Deolinda yang awalnya mengulas senyum pun terdiam. Raut wajahnya berubah datar, menatap sang suami tanpa ekspresi sama sekali. Kedua tangannya mengepal, menahan amarah yang ingin sekali keluar. Hingga dia membuang napas secara perlahan, mencoba menormalkan kembali perasaannya. “Aku hanya ingin sarapan bersama suamiku, James,” ucap Deolinda, menekankan setiap kata yang dia ucapkan.
Qiana terkejut ketika mendapati James sedang menatapnya tajam. Sejak kapan pria itu pulang? Qiana sama sekali tidak mendengar suara pintu maupun langkah kakinya. “Apa kau mual?” suara James menyadarkan Qiana dari lamunan. Dirinya hanya mengangguk pelan. Namun, James langsung segera meminta pelayan untuk menyiapkan sup hangat untuknya. “Makan sup ini,” Qiana yang baru saja berbaring di sofa menatap ke arah James yang sudah duduk di hadapannya. Qiana membenarkan posisi duduknya dan mengambil mangkuk dari tangan James. Qiana mulai menyeruput sup untuk meredakan mual di perut. Terbukti, perutnya juga sedikit lebih baik dari sebelumnya. Mualnya juga tidak begitu mengganggu, membuat Qiana merasa jauh lebih nyaman. Sedangkan James, mulai fokus dengan layar komputer, tidak memperhatikan sang istri sama sekali. ‘Sebenarnya pernikahan macam apa yang aku jalani ini, Tuhan,’ batin Qiana. Pasalnya dia sendiri takut untuk memulai dengan James. Bagaimana kalau nantinya James seperti Alvan?
“Nona, anda pulang terlalu malam. Saya takut kalau Tuan James akan marah.” Qiana yang duduk di bangku penumpang pun mengalihkan pandangan, menatap ke arah sang sopir dan berkata, “Tidak apa. Aku sudah bilang.” Qiana berbohong. Padahal dirinya tidak mengatakan apa pun dengan sang suami dan sebelum berangkat James sudah mengatakan supaya dirinya tidak pulang larut malam dan meminta supir untuk mengantar dirinya. Tomy hanya diam dan kembali fokus dengan kemudi. Tidak ada percakapan sama sekali selama mereka menuju ke rumah. Sesampainya di rumah, Qiana langsung masuk. Jam di dinding menunjukan pukul sepuluh malam. Qiana lupa diri begitu bertemu dengan sahabatnya, karena begitu menikmati waktu bersama. Dirinya juga merahasiakan kandungan dan masalah pernikahan dari sang sahabat. “Darimana saja kamu, Qiana?” Qiana yang melihat James sudah berdiri di hadapannya pun berhenti. Aura mengintimidasi dari pria itu membuat Qiana cukup merasa takut, namun berusaha tetap tampak tenang. “Aku
BAB 9 “Hari ini, apa saja jadwalku, Qiana?” Qiana yang baru selesai memoles wajahnya pun berhenti. Dia menatap ke arah sang suami yang tengah duduk di sofa dan fokus dengan laptop. Sejak pagi pria itu hanya sibuk dengan pekerjaannya. Qiana sendiri sampai lupa kalau di ruangannya ada orang selain dirinya. Pasalnya sejak tadi James tidak membuka suara sama sekali. Hingga dia mengmabil buku catatan. “Hari ini ada rapat dengan pemegang saham pukul sepuluh. Anda juga ada pertemuan dengan klien setelah makan siang,” jawab Qiana. “Hanya itu?” tanya James kembali, tanpa menatap ke arah Qiana. Qiana terdiam sejenak dan menganggukkan kepala. “Iya, Pak,” jawabnya singkat. James pun menutup laptop dan memasukkan ke dalam tas. Dia bangkit dan melangkah pelan, tetapi baru beberapa langkah dia berhenti. Manik matanya menatap ke arah Qiana yang berdiri tegak di depannya. Padahal dia hanya bertanya mengenai jadwal, tetapi istrinya sudah bersikap formal. “Kalau kamu sudah selesai, turun. Kita
“Minggir.” Qiana yang baru sampai di kantor pun dibuat kesal dengan kehadiran Jessica. Pasalnya mantan sahabatnya itu menghentikan langkah dan menghalangi jalannya. Padahal sudah lama Qiana tidak melihat wanita itu, tepatnya setelah perselingkuhan Jessica dan Alvan terbongkar. Qiana melangkah ke arah lain karena Jessica yang tidak juga menuruti perintahnya. Dia enggan bersama dengan wanita tersebut meski hanya satu menit. Luka di hatinya masih ada meski sudah berbulan-bulan kejadian itu berlalu. Meski Qiana sudah merelakan Alvan dengan Jessica, tetapi tidak ada maaf untuk keduanya. Namun, Jessica yang melihat pun kembali menghentikan langkah Qiana. Manik matanya menatap tajam dengan kedua tangan disedekapkan. “Sebenarnya apa maumu, Jessica?” tanya Qiana dengan nada kesal. Dia harus segera masuk kerja, enggan membuang waktunya secara percuma. “Aku mau kamu jauhi Alvan,” jawab Jessica dengan tegas. “Hah?” Qiana yang mendengar terdiam sejenak hingga akhirnya tertawa kecil. Beber
“Huek!” Qiana langsung memuntahkan isi perutnya begitu sampai di toilet. Sejak tadi dia menahan mual karena tidak ingin menyinggung klien besar yang sedang James temui. Itu sebabnya dia hanya minum teh hangat yang dihidangkan. Setelah merasa lebih lega, Qiana membersihkan mulut dan melangkah keluar. Namun, dirinya mendapati James yang berdiri di depan pintu sembari menyerahkan sapu tangan. Manik matanya memperhatikan James yang masih memasang wajah datar. Apakah James tidak memiliki ekspresi yang lain? “Besok kita ke rumah sakit.” Qiana sempat melamun dan langsung tersadar saat mendengar usulan James. “Untuk apa?” “Kamu harus memeriksakan kandungan kamu,” jawab James. “Aku rasa tak perlu,” tolak Qiana cepat. “Aku baik-baik saja.” “Kalau kamu baik-baik saja, gak mungkin kamu terus muntah selama beberapa hari ini. Jadi, aku sudah membuat keputusan,” tegas James. Qiana membisu. Dia menatap ke arah James yang sudah melangkah di depannya. Ada perasaan tidak nyaman saat James me