Cukup lama Lara membiarkan Aksa bergelung dalam tangis, melepas sebanyak-banyaknya yang ia ingin. Tangan Lara bergerak mengambil tangan Aksa untuk digenggam, mengusap lembut menenangkan. Kali ini, tangan itu tak lagi mencengkeram kuat, justru Lara melingkarkan tangan Aksa memeluk tubuhnya, membagi kehangatan. "Aku seorang pesakitan, Lara. Rumah yang kujaga berantakan," ucap Aksa ditengah usahanya merapatkan tubuh. Tak lagi kuasa menahan kesedihan yang sama, Lara memutar tubuh, menemukan mata laki-laki itu yang menyimpan ribuan luka. Tanpa perlu diminta, Lara mengeratkan pelukan keduanya, membiarkan Aksa kembali melepaskan tangis dalam dekapannya. *** Tidak hanya staf bagian legal dan Lara, tetapi masalah besar tengah mengancam saat Savira masuk ke ruangannya, menatapnya tajam dengan kedua tangan menyilang di dada. "Tante Halimah sedang sakit, dia mikirin kamu dan kamu justru menolak datang hanya karena urusan pekerjaan?!" cecar Savira, sesaat setelah berdiri di depan meja
Seperti terdengar suara petir menyambar, menggelegar di tengah usahanya untuk tetap tenang. Aksa mencengkeram kuat potret laki-laki itu di tangannya, menatap kosong ke sisi arah lain. "Demi menjaga nama baik keluarga, menjaga Mama, papamu tetap melanjutkan rencana pernikahan kami, memberi nama Al-Fayaadh di belakang namamu," tambah Bu Halimah. Wanita itu menarik tubuh Aksa yang kaku, memeluk erat anaknya, satu-satunya yang tersisa dari laki-laki yang ia cintai. "Maafkan Mama, maafkan Papa." Pelukan di tubuh Aksa menguat. "Kesalahan papamu hanya satu, dia jatuh cinta di saat yang tidak tepat, dia menyakitimu dengan kenangan buruk perselingkuhan yang salah." "Mama tahu dengan perselingkuhan Papa?" Bu Halimah mengangguk mengiyakan. "Tetapi Mama memilih menutup mata, laki-laki itu sudah memberikan kasih sayang yang luar biasa untuk kita, papamu berhak bahagia dengan pilihannya." "Lalu bagaimana dengan Mama?" Bu Halimah mengurai pelukan, ia merangkum wajah anaknya yang suda
Aksa berjalan mondar-mandir, di depan ruang praktik Savira di lantai dua. Memakai kemeja berwarna navy dan celana bahan sepulang kerja, Aksa menunggu jam praktik Savira berakhir. Rumah sakit Al-Fayaadh termasuk ke dalam salah satu rumah sakit swasta terbesar di Jakarta, berdiri di atas tanah seluas lebih dari dua hektar, di tengah kota Jakarta. Tidak terlalu aneh jika rumah sakit masih ramai di hampir jam tujuh malam. Banyak dokter spesialis praktek yang memilih membuka jam di malam hari, selain karena lebih fleksibel, juga karena keterbatasan waktu pasien di pagi hari saat bekerja. "Selamat malam, dr. Aksa." "Selamat malam, dok." Sapaan karyawan rumah sakit beberapa kali dijawab hangat, Aksa pun tersenyum ramah, menolak tawaran suster poli untuk pindah di doctor lounge. Sebagai seorang direktur utama, Aksa juga ingin sesekali butuh melihat jalannya pelayanan. Sudah lebih dari tiga puluh menit Aksa menunggu, tetapi pasien yang mengantre tak kunjung surut. Beberapa kali ia me
Warna putih asap rokok mengepul,terlepas dari bibir laki-laki yang duduk di ujung ranjang. Tangan laki-laki itu bertumpu di paha, dengan satu kaki bersila. Di belakangnya, seorang wanita terjaga, bersandar di ujung ranjang sambil mengamati dalam diam gambaran siluet tubuh besar itu di tengah lampu temaram kamar.Isi otaknya berisik, menuntut perhatian.Keheningan malam menemani dua manusia berbeda kasta itu, saling mendiamkan padahal ratusan menit sebelumnya saling menyebut nama dalam geraman penuh dosa. Tidak ada yang berbicara, seakan keduanya memberi waktu agar sepi mendominasi. Hanya ada suara lirih kipas angin yang terpasang di plafon kamar, dan lalu lalang kendaraan yang tak cukup ramai di luar sana."Mau … menginap?" tanya si wanita ragu. Terlihat dari manik matanya, ia menyesali kalimat itu setelah mengucapkannya. Tak sampai satu hela nafas, wanita itu menekuk wajah merutuki kebodohannya sendiri.Pertanyaannya terlalu berani.Laki-laki yang memiliki warna rambut tembaga itu ta
"Lara! Berkas penilaian MUTU yang kemarin lo taroh mana, sih?!" Kak Siska, seketaris senior yang pagi ini sudah disibukan dengan beberapa laporan permintaan direksi ketika Lara baru saja datang.Hari ini, dia dijadwalkan masuk tanggung, jam sepuluh pagi, karena nanti ia dipersiapkan untuk menemani direksi yang hendak lembur. Persiapan akreditasi rumah sakit yang cukup menguras tenaga dan pikiran, disamping kehidupannya sendiri yang compang-camping tak karuan.Lara baru saja meletakan tas-nya di kursi ketika Kak Siska kembali mengeluarkan kalimat perintah. "Lo cari deh, di email rumah sakit, kalau nggak salah kemarin dikirim jam tujuh pagi, cetak ulang ya, terus taruh di meja dr. Aksa."Direksi rumah sakit Al Fayaadh terdiri dari lima orang, yang semuanya menjabat sebagai direktur. Untuk posisi kunci dipegang dr. Aksa sebagai direktur utama, dan dr. Alina, adik dr. Aksa sebagai direktur keuangan. Dari lima direksi, ada tiga seketaris yang ditempatkan di depan ruangan direksi untuk memb
Lara suka menari, menggerakan tubuh senada dengan irama musik jawa yang indah. Bermain dengan selendang panjang berwarna merah, menggerakan kepala dan tangan dengan senyum di bibir merah merona. Sejak kecil, Lara menyukai tari. Ketika tangan dan kakinya bergerak lembut seiring dengan suara gamelan jawa yang ditabuh ayahnya.Lara suka menari, tapi tidak suka ketika orang lain melihatnya menari. Dia suka menikmati alunan lagu dan tarinya seorang diri, atau hanya sekedar disaksikan keluarga dekat seperti ayah dan ibunya.Selain bekerja, Lara juga menjadi seorang pengajar tari suka-rela di salah satu sanggar dekat kos-kosan. Aktivitas yang sering ia habiskan di hari Minggu. Dia tidak suka pergi ke mall seperti teman-temannya, nongkrong atau belanja kebutuhan dasar wanita. Lara lebih suka menghabiskan hari Minggu-nya bersama adik-adik perempuan dan teman yang memiliki hobi yang sama. Seperti hari ini, sejak pukul dua belas siang, Lara sudah ada di sanggar."Kak Lara, coba ajarkan lagi gera
Adalah kesalahan, ketika kita menyimpan perasaan yang memang tidak seharusnya ada. Mengabaikan rasa, berharap hilang dengan sendirinya. Bukankah hal termudah untuk mematikan rasa adalah dengan tidak memupuknya? Lara melakukan itu. Membiasakan diri dengan rasa sakit hanya agar rasanya mati.Tapi terkadang, hati manusia berjalan tanpa kendali pemiliknya. Meskipun rasa sakit itu sudah terbiasa, Lara tetap merasakan getar hangat ketika tangan Aksa menyentuh kulitnya. Warna merah di tubuhnya masih tersisa, dan malam ini, laki-laki itu kembali memberi bekas yang sama.Satu tamparan keras Lara dapatkan di tubuhnya bagian belakang, tubuh bagian atasnya telungkup di atas ranjang, sedang kakinya menjuntai ke lantai marmer hotel yang dingin. Lara mengeratkan genggaman tangannya di selimut, saat dorongan dari belakang seakan ingin menghancurkan tubuhnya, mendesak masuk menuntut lebih.Udara dingin malam, tak mengurangi hawa panas di sekitarnya. Lara nyaris sesak, dalam geraman kuat yang coba dita
Malam mulai sepi, suara motor lalu lalang mulai berkurang. Jarum jam dinding di kamar Lara menunjuk ke arah sepuluh, artinya, sudah hampir tiga jam Lara duduk di depan layar. Ada beberapa berkas yang perlu ia siapkan untuk rapat besok pagi, bukan karena tidak cinta tubuh sendiri, tapi memang karena tuntutan demi gajian setiap akhir bulan.Beberapa kali, notifikasi ponselnya berbunyi. Dari grup kantor, yang hanya berisi tiga seketaris direksi. Mereka menamai grup dengan 'trio kece', alasannya ... karena mereka bertiga merasa 'kece badai'. Lara cukup terhibur, setidaknya, bukan hanya dia yang lembur.Kak Dewi :Ada gosip, yang digosok semakin siip.Kak Siska :Waah, mantap nih. Informasi terpercaya, diukir dengan kredibilitas tinggi.Kak Dewi :Jelas, dooong.Kak Siska :Apaan tuh?Meskipun ketiganya lembur untuk hal berbeda. Kedua seniornya justru terlihat asik menggosip. Ketika bosan atau jenuh, Lara ikut membaca pesan mereka. Dia juga sedang berkirim pesan dengan Koko, laki-laki itu