Lara masih tak bergeming, tersenyum hambar yang sama sekali tidak berarti. "Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, tidak tentang pertemuan kita di tempat ini, tidak tentang alasan saya di sini." Rasanya baru kemarin Lara merasa lega, tidak lagi berhadapan dengan manusia pemaksa seperti Aksa ataupun Bagas. Tetapi hari ini, dia kembali dipertemukan dengan laki-laki itu tanpa sengaja. Dan si pemaksa kembali menunjukan diri, Lara diharuskan menemani Bagas, melalui perjalanan jauh ke Bandung hanya untuk sekedar menikmati semangkok soto khas kota kembang. Bagas tahu Lara sedang izin sakit, dan laki-laki itu mendatangi kamar kos-nya tanpa pemberitahuan setelah jam praktik selesai. "Kenapa dr. Bagas selalu memaksa?" "Karena aku bisa," jawab laki-laki itu santai. Ia bahkan mengakhiri kalimatnya dengan senyuman polos yang menyebalkan. Keduanya sudah berada di mobil, perjalanan menuju Bandung. Lara memutar bola matanya jengah, memilih mengalihkan perhatian ke arah lain. Jalanan aspal
"Ibu saya sakit, leukemia kronis. Beberapa kali membutukan perawatan yang tak murah, saya juga harus membiayai kuliah adik perempuan saya," jelas Lara, kalimat terpanjang yang keluar dari bibirnya di hari ini. "Puas?” Bagas menggeleng. "Belum." "Saya takut kehilangan Ibu, meskipun ada jaminan kesehatan, saya tetap meminta yang terbaik, saya akan melakukan apapun untuk menyalamatkan Ibu. Setidaknya itu adalah salah satu bakti seorang anak untuk orangtuanya." Anggukan kecil menunjukan rasa puas, tetapi bukannya berhenti, Bagas masih melanjutkan rasa ingin tahunya. "Aksa tahu?" "Tidak." "Poor, Lara." Benar! Lara memang menyedihkan. Sesak nafas terasa menyiksa, meskipun ia sedang berada di tengah hamparan alam yang penuh limpahan oksigen. Lalu lalang manusia di sekitarnya tak cukup mengalihkan perhatian Lara, wanita itu tetap tertarik dengan warna langit yang mulai memunculkan semburat jingga. "Kamu tahu siapa wanita yang paling Aksa benci?" Lara sempat memikirkan jawaba
Ditengah gelapnya malam dan pekatnya perasaan. Seorang laki-laki bermanik mata hazel sedang mengamati dalam hening, menimbang di balik kemudi mobil lexus berwarna hitam. Matanya awas menatap bangunan rumah satu lantai dengan halaman luas yang ditumbuhi berbagai macam tanaman. Rumah tak berpagar, berwarna putih coklat seperti rumah sederhana pada umumnya. Sebuah rumah yang cukup dibilang paling sederhana diantara rumah lainnya. Terlalu sederhana untuk seorang laki-laki dengan nama Al-Fayaadh di belakang namanya. Pencahayaan terang di dalam rumah menandakan manusia di dalamnya masih terjaga. Berkali-kali Aksa hendak memutar haluan, pulang ke rumah lalu beristirahat seperti biasa. Tetapi gerak mobilnya justru melangkah ke rumah ini, rumah yang paling ia benci, rumah yang sama sekali tidak ada di dalam angannya untuk ia datangi. Tetapi bukankah benar, takdir bisa memutar balikan semuanya? Termasuk perasaan manusia. Pada akhirnya, Aksa berdiri di depan rumah ini, tangannya mengetu
Senyuman di wajah Aksa terlihat dipaksa, laki-laki itu kembali menyesap rokoknya. Ingatannya ditarik ke dua hari yang lalu, ketika Savira menghubunginya melalui panggilan telepon, mengutarakan keinginanya yang tiba-tiba. "Aku ingin pertunangan ini tidak dilanjutkan,” kata Savira. "Yaa." Dan hanya satu jawaban itu yang Aksa berikan. Setelah itu, Aksa sama sekali belum bertemu Savira. "Terima kasih karena mau datang ke rumah Papa," ucap Asad, saat menemukan sorot mata frustasi di wajah anak laki-lakinya. Asad ikut membakar satu batang rokok, menyesapnya cepat lalu membuang asap-nya ke atas. Aksa tak menjawab, matanya menatap Asad ragu. "Papa tidak merokok," ejek Aksa. Laki-laki itu terkekeh ringan. "Nggak apa-apa, Papa pernah merokok dulu waktu muda, nggak candu, tapi yaa ... cuma untuk nemenin teman-teman yang suka nongkrong sambil rokok-an." Mendung sejak tadi bertahan, hingga akhirnya pelan-pelan gerimis turun membasahi tanah, menciptakan aroma khas menenangkan yang Aks
Getar di dadanya terasa jelas, Aksa menahan letupan yang semakin lama justru semakin bertambah hebat. "Apa—, apa Papa akan meninggalkan Mama?" "Tidak, jika bukan mamamu sendiri yang meminta." Rentetan perjalanan panjang bisa merubah sudut mana yang ingin dilihat. Kotak, tak lagi sebuah persegi yang sama sisi. Lingkaran, bukan lagi garis melingkar yang saling bertemu. Salah dan benar bukan lagi hal yang pasti. Aksa melapangkan dada, menerima hal-hal yang memang tidak tertulis atas namanya. "Terima kasih, lain kali kamu bisa mampir ke sini lagi." Tawaran papanya tak mungkin semudah itu untuk disetujui, meskipun entah bagaimana perasaan mamanya saat ini, bagaimanapun Aksa tetap harus menjaga hati itu. "Terima kasih. Aksa pulang dulu." Berpamitan secukupnya, Aksa membawa mobilnya membelah jalanan kota Jakarta. Setelah memberanikan diri menginjakan kakinya ke rumah itu, menciptakan sesuatu yang baru pada diri Aksa. Dia masih sakit, iya. Aksa bahkan sesekali masih harus mengusir n
Seringai tipis justru terlihat menyayat. "Apa kamu pikir mudah untukku datang ke tempat ini? Hah?!" "Aku berusaha mengeluarkanmu dari isi kepalaku. Tapi aku tidak bisa! Aku terus memikirkanmu sampai aku nyaris mati karena pikiranku sendiri. Aku marah karena aku sadar ..." Aksa memenggal kalimatnya, menarik nafas dalam sebelum akhirnya kembali melanjutkan. "Aku sadar sudah menelan ludahku sendiri karena menginginkanmu selalu ada di dalam hidupku." Kali ini, Aksa tak lagi kuasa menahan, wajahnya kembali mengikis jarak, menyatukan bibir yang sejak tadi menjadi pusat perhatian. Meskipun Lara menolak, Aksa tetap berusaha mengejar kemanapun wajah Lara berpaling. Dia harus mendapatkan Lara malam ini. "Lepas—kan, saya!" tolak Lara. Tangannya mendorong dada Aksa. Suara tamparan di pipi terdengar nyaring, wajah Aksa berpaling dan terlihat merah di satu sisi. Suasana menjadi hening, keduanya membeku. Hanya ada suara nafas yang saling memacu. Cukup lama Aksa membiarkan rasa perih dan
Aksa mengingat pesan dari kakeknya, perintis bisnis keluarga Al-Fayaadh, laki-laki pertama yang membawa nama Al-Fayaadh dikenal di dunia kesehatan. Isi pesannya; jadilah laki-laki yang bertanggung jawab, yang berani mengakui kesalahan. Salah itu pembelajaran, tetapi pulang dengan tetap menjadi ksatria itu pilihan. Satu persatu, Aksa mengurai masalah. Sore nanti Aksa ada janji temu dengan Savira, sebuah janji yang akhirnya dibuat demi memberi kejelasan diantara mereka berdua. Tetapi sebelum menemui Savira, Aksa menyempatkan mampir ke rumah Halimah, menemani wanita itu sarapan. Mama masak soto daging kesukaanmu. Pesan yang dikirim mamanya pagi tadi. Tidak perlu berfikir dua kali, Aksa mengiyakan di detik pertama pesan itu diterima. "Aroma soto sampai depan rumah, pasti enak," puji Aksa saat masuk ke dalam rumah. Ia menemukan Halimah yang sedang menyiapkan makanan di meja makan. Satu panci berisi kuah yang masih mengepulkan asap panas. "Alina jadi ke sini, Ma?" tanyanya, mencomot te
Dan sore ini, Aksa kembali menegaskan kehidupannya sendiri. Memberanikan diri datang langsung ke rumah Savira, bertemu Om Gibran dan Tante Lena yang menyambut kehadirannya dengan dua tangan terbuka. "Savi masih di kamar, Tante panggilkan dulu." Wanita berlesung pipi itu menghilang di balik pembatas ruang tengah dan ruang tamu. Meninggalkan Aksa dan Gibran berdua. "Bagaimana kabarnya, Mas Aksa?" tanya Papa Savi. Sejak kedatangan Aksa ke rumah ini, tidak ada raut wajah tegang dan kemarahan. Justru Gibran memeluk bahu Aksa, menepuk tubuh bagian belakang laki-laki itu memberi kekuatan. "Baik, Om." "Kabar Halimah?" "Semuanya baik, Papa dan Mama—, semua baik-baik saja." "Syukurlah, mendengar hal itu, Om ikut merasa lega." Gibran duduk cukup berjarak dari Aksa, dengan kedua tangan yang saling menggenggam di atas paha. "Maafkan keluarga kami, Aksa. Maafkan Savi yang memutuskan hubungan ini secara sepihak," jelas Gibran tiba-tiba. Kerutan di dahi Aksa menunjukan kebingungan