Aksa mengingat pesan dari kakeknya, perintis bisnis keluarga Al-Fayaadh, laki-laki pertama yang membawa nama Al-Fayaadh dikenal di dunia kesehatan. Isi pesannya; jadilah laki-laki yang bertanggung jawab, yang berani mengakui kesalahan. Salah itu pembelajaran, tetapi pulang dengan tetap menjadi ksatria itu pilihan. Satu persatu, Aksa mengurai masalah. Sore nanti Aksa ada janji temu dengan Savira, sebuah janji yang akhirnya dibuat demi memberi kejelasan diantara mereka berdua. Tetapi sebelum menemui Savira, Aksa menyempatkan mampir ke rumah Halimah, menemani wanita itu sarapan. Mama masak soto daging kesukaanmu. Pesan yang dikirim mamanya pagi tadi. Tidak perlu berfikir dua kali, Aksa mengiyakan di detik pertama pesan itu diterima. "Aroma soto sampai depan rumah, pasti enak," puji Aksa saat masuk ke dalam rumah. Ia menemukan Halimah yang sedang menyiapkan makanan di meja makan. Satu panci berisi kuah yang masih mengepulkan asap panas. "Alina jadi ke sini, Ma?" tanyanya, mencomot te
Dan sore ini, Aksa kembali menegaskan kehidupannya sendiri. Memberanikan diri datang langsung ke rumah Savira, bertemu Om Gibran dan Tante Lena yang menyambut kehadirannya dengan dua tangan terbuka. "Savi masih di kamar, Tante panggilkan dulu." Wanita berlesung pipi itu menghilang di balik pembatas ruang tengah dan ruang tamu. Meninggalkan Aksa dan Gibran berdua. "Bagaimana kabarnya, Mas Aksa?" tanya Papa Savi. Sejak kedatangan Aksa ke rumah ini, tidak ada raut wajah tegang dan kemarahan. Justru Gibran memeluk bahu Aksa, menepuk tubuh bagian belakang laki-laki itu memberi kekuatan. "Baik, Om." "Kabar Halimah?" "Semuanya baik, Papa dan Mama—, semua baik-baik saja." "Syukurlah, mendengar hal itu, Om ikut merasa lega." Gibran duduk cukup berjarak dari Aksa, dengan kedua tangan yang saling menggenggam di atas paha. "Maafkan keluarga kami, Aksa. Maafkan Savi yang memutuskan hubungan ini secara sepihak," jelas Gibran tiba-tiba. Kerutan di dahi Aksa menunjukan kebingungan
Suara klakson nyaring terdengar, saling berlomba menjadi pemenang. Berjalan melewati jalanan aspal dengan sepatu kets berwarna hitam, Lara melewati beberapa angkot yang berjejer rapi di pinggir jalan. Matanya mulai mencari nomor jurusan angkot yang ia tuju, lalu sedikit menambah kecepatan saat matanya menemukan angkot itu sudah hampir meninggalkan pangkalan. "Bang, tunggu," teriaknya kencang. Lara bersyukur sopir angkot mendengar teriakannya, laki-laki itu menghentikan mobil dan mempersilahkan Lara masuk. Pagi ini luar biasa kacau. Seharusnya Lara masuk jam sembilan, mengerjakan beberapa tugas bagian komite medis yang tidak terlalu banyak. Bahkan dia sudah berencana makan siang di salah satu tempat makan yang cukup jauh dari kantor karena senggangnya waktu kerja. Tetapi rencana tinggal angan semata, karena di jam enam pagi tiba-tiba Lara mendapat telepon dari Dewi untuk menggantikan tugas Siska hari ini, menemani Dewi bertugas di meja seketaris direksi. Siska izin sakit, badannya
Laki-laki yang terbiasa bermulut pedas itu tiba-tiba berubah menjadi jenaka. Lara sempat tertegun, memastikan kondisi Aksa yang terlihat baik-baik saja. Wajahnya bersih, pakaiannya rapi. Tidak ada yang salah dari Aksa pagi ini, bahkan jambang di sekitar dagu-nya pun sudah dicukur bersih. "Dokter sehat?" Lara masih berdiri di samping meja Aksa, tak cukup jauh dari tempat laki-laki itu duduk. Lara bisa menemukan Aksa yang mulai tertarik, laki-laki itu meletakan kembali berkas-berkasnya, memutar kursi lalu fokus menatap Lara. Tatapan tajam yang membuat jantung Lara berdebar-debar. Laki-laki itu menarik satu alisnya ke atas, memikirkan jawaban dari sebuah pertanyaan mudah yang baru saja Lara lontarkan. "Apa-nya dulu? Fisik atau mental?" Bibir Lara tetap rapat, enggan menjawab pertanyaan Aksa yang tak jelas arah. "Fisikku sehat, tapi tidak dengan mental ini." Aksa menunjuk dahi dengan jari. "Aku sakit." "Dokter sakit jiwa?" "Iya, jiwaku sakit karena merindukan seorang wani
Bekerja, dan rutinitas harian yang banyak menghabiskan waktu. Hampir sepertiga lama bumi berputar dalam sehari dihabiskan bersama layar komputer. Demi mendapatkan uang dengan nominal yang jelas di setiap akhir bulan, demi bisa memastikan bisa makan dalam satu bulan ke depan. Budak corporate, itu-lah gelar yang Lara dapatkan. Jari-jemari Lara masih setia menari di atas keyboard, menyelesaikan pekerjaan sebagai seketaris direksi Al-Fayaadh. Siska masuk rawat inap karena sakit demam berdarah, penyakit yang sering menjadi wabah ketika musim hujan. Absennya Siska menegaskan keberadaan Lara di meja ini mungkin akan sedikit lebih panjang dari permintaan Dewi sebelumnya. "Mau makan siang di mana, Ra?" Pertanyaan ketiga Dewi hari ini. Load pekerjaan direksi tidak setinggi biasa, yang akan berbanding lurus dengan pekerjaan seketaris direksi. Beberapa meeting sudah digelar tadi pagi, berkas yang membutuhkan tanda tangan sudah disiapkan sejak kemarin. Keduanya memiliki sedikit waktu lebih p
Aksa menyapu bibirnya di kulit leher Lara yang terbuka, tanpa benar-benar melekat, hanya bergerak seringan kapas menyusuri tempat favorit yang sudah lama tak terjamah. Kedua matanya terpejam, menikmati aroma tubuh Lara yang melewati indra penciuman. Sapuan lembut itu berefek di sekujur tubuh Lara, meremangkan syaraf dan nadi primitif wanita itu. “Dok—." Lara mendorong tubuh Aksa, tetapi dengan mudah laki-laki itu kembali menahan wanita yang sudah terlanjur tersudut di ujung meja pantry. "Aku terbiasa memaksa, Laraa. Jangan memancing diriku yang sebenarnya." "Tapi ..." "Tapi apa?" tanya Aksa dalam geraman. "Saya—, lapar." Manik mata hazel itu terbuka, mendesah frustasi lalu kembali memperlebar jarak meskipun tidak benar-benar melepaskan wanita dalam kungkungannya. "Kamu mau makan apa?" "Nasi padang," jawab Lara. Makanan asal yang ada di dalam kepala. "Mau makan di luar?" Lara bergegas memberi gelengan. "Saya mau makan bareng Kak Dewi, sudah janjian. Kopi dokter juga s
Sepanjang siang sampai jam akhir shift tiba, Lara mengunci bibir, bicara hanya perlu dan banyak bekerja dengan tangan dan otak. Rasa di hati Lara sedang bergemuruh hebat, mengingat kejadian siang tadi yang memalukan. Di saat Aksa sedang merecoki makan siang dengan tingkah absurd yang—, sangat bukan Aksa. Dua wanita mengamati dalam diam, seakan menikmati pertunjukan dengan Aksa dan Lara sebagai peran utama. "Mama, Alina. Sejak kapan di sini?" Yaa, benar. Ada Bu Halimah dan dr. Alina yang tanpa sengaja sedang menikmati waktu bersama, di rumah makan padang yang Lara sebut secara abstrak. "Sejak tadi," jawab Bu Halimah, sedang dr. Alina berjalan mendekat sambil memegangi perut yang mulai buncit. Kedua mata wanita itu tentu tidak bisa terlihat biasa saja, mengamati Lara dari ujung kepala sampai ke atas meja. Bahkan mungkin jarak yang cukup dekat diantara Aksa dan Lara di sofa yang sama sudah bisa menimbulkan sebuah pertanyaan besar di kepala dua wanita itu. "Kalian—, habis ada
Lara tak menjawab, memutuskan untuk melanjutkan pekerjaan. Menarik dari hari-hari yang Lara lalui, dengan kepastian tinggi Lara akan memasukan hari ini ke dalam salah satu list hari terburuk yang pernah ia lalui. Dan salah satu dari alasan kesialannya sore ini berdiri di halaman kos Lara, di bawah langit jingga yang mulai beranjak gelap, di atas tanah basah bekas hujan yang baru saja turun deras. "Maaf, saya dapat alamatmu dari kantor, apa saya ganggu jam istirahat kamu, Lara?" Wanita berusia tak lagi muda yang datang bersama sopir, berdiri dalam balutan dress mahal panjang sampai lutut. Satu tas bermerk terkenal menggantung di tangan wanita itu, tas yang tidak akan pernah terbeli meskipun Lara menabung uang gaji tanpa makan dan minum setiap bulan. "Tidak, Bu. Apa ada yang bisa saya bantu?" tawar Lara. Senyum wanita itu mengembang, menjanjikan malam yang panjang. Lara dibawa ke sebuah restaurant pusat kota Jakarta. Restaurant yang menyajikan makanan jepang sebagai menu utama