Lara tak menjawab, memutuskan untuk melanjutkan pekerjaan. Menarik dari hari-hari yang Lara lalui, dengan kepastian tinggi Lara akan memasukan hari ini ke dalam salah satu list hari terburuk yang pernah ia lalui. Dan salah satu dari alasan kesialannya sore ini berdiri di halaman kos Lara, di bawah langit jingga yang mulai beranjak gelap, di atas tanah basah bekas hujan yang baru saja turun deras. "Maaf, saya dapat alamatmu dari kantor, apa saya ganggu jam istirahat kamu, Lara?" Wanita berusia tak lagi muda yang datang bersama sopir, berdiri dalam balutan dress mahal panjang sampai lutut. Satu tas bermerk terkenal menggantung di tangan wanita itu, tas yang tidak akan pernah terbeli meskipun Lara menabung uang gaji tanpa makan dan minum setiap bulan. "Tidak, Bu. Apa ada yang bisa saya bantu?" tawar Lara. Senyum wanita itu mengembang, menjanjikan malam yang panjang. Lara dibawa ke sebuah restaurant pusat kota Jakarta. Restaurant yang menyajikan makanan jepang sebagai menu utama
Makanan yang mereka pesan datang, bersamaan dengan kalimat yang baru saja Bu Halimah sampaikan selesai. Baik Lara dan Bu Halimah tidak sedikitpun menyentuh sendok dan garpu, mereka berdua hanya membiarkan makanan dan minuman itu tersaji rapi di meja. Keduanya lebih tertarik dengan pembahasan tentang Aksa dibanding mie ramen dan segelas teh ocha. "Apa yang Ibu lihat tidak sepenuhnya benar, kami—, hanya dekat karena sering bekerja bersama," kilah Lara. Senyum Halimah mengembang, satu ujung bibirnya naik, menyangsikan kalimat yang baru saja Lara sampaikan. "Saya—, tidak akan marah, kalau itu yang kamu khawatirkan,” jelas wanita itu tanpa menekan. Ini bukan tentang respon wanita di hadapan Lara, tetapi tentang fakta bahwa memang tidak ada hubungan apa-apa antara dia dan Aksa. "Saya justru senang, jika Aksa sudah bisa merasakan jatuh cinta." Kalimat yang sempat menahan kalimat Lara di ujung lidah. Wanita itu kembali menelan sanggahan yang sudah ia rangkai di kepala, membiarkan
Lara mengekor di belakang Aksa, dengan kedua tangan saling menggenggam erat. Melewati beberapa pengunjung lain di restaurant ini yang menatap penuh selidik. Wajah Aksa sama sekali tidak bersahabat, sedang Lara yang sudah lelah dengan pekerjaan dan drama berwajah datar mengikuti kemana langkah Aksa membawa dirinya. Mereka berhenti ketika sampai di mobil, Aksa membuka pintu penumpang lalu memaksa Lara masuk tanpa penolakan dari wanita itu. Aksa duduk di kursi pengemudi, menelisik ke tubuh Lara yang kurus dan baju yang sedikit basah setelah melewati hujan. Laki-laki itu melepas coat tebal miliknya, lalu menyelimuti tubuh Lara dengan pakaian hangat itu. Sama sekali tak ada percakapan, Aksa langsung menginjak gas dan mobil berjalan ke luar area restaurant. Sepanjang perjalanan yang hening, karena baik Lara dan Aksa sama sekali tidak bersuara. Hujan turun deras di luar sana, semakin menambah hawa dingin di sekitar. Mobil Aksa berhenti di sebuah taman, taman yang sepi pengunjung karen
Aksa tersenyum miris, laki-laki itu menutupi denyut bibir menahan sesak. Aksa kembali menjatuhkan punggungnya ke kursi mobil, mengambil jarak selebar mungkin untuk menghindari rasa sakit yang lebih kuat. Wanita di samping Aksa, adalah satu-satunya sumber kesakitan laki-laki itu saat ini. "Ini menyakitkan, Lara," ucap Aksa, kalimat yang terlalu sulit diutarakan. "Kamu berhasil membuatku hancur berantakan." "Dulu saya menerima rasa sakit yang sama, sekarang—, giliran dr. Aksa melakukan hal yang sama." Lara mengucapkan kalimat itu dengan pasti, mengabaikan rasa sakit Aksa yang sedang laki-laki itu nikmati seorang diri. "Sekarang, antar saya pulang ke kos, dok. Saya butuh istirahat." Mengusir perih yang datang begitu cepat, Aksa menarik nafas panjang berkali-kali sebelum akhirnya bisa menetralkan rasa. Ia kembali menjalankan mobil, mengantar Lara tanpa kembali berniat menahan. "Terima kasih," ucap Lara, wanita itu melepas coat milik Aksa, meletakannya di kursi belakang. Mobil
"Selamat pagi," sapa Lara. Ada dr. Alina yang mengekor di belakang Aksa. Tatapan wanita itu tentu tidak bisa biasa, dr. Alina menyipitkan ujung mata menelisik ke arah Lara. Seperti ditelanjangi, Lara menundukkan pandangan. "Kaku banget, yak," celetuk Dewi di samping Lara. Kedua direksi sudah masuk ke ruangan masing-masing. "Mau gue apa lo yang ke ruang dr. Aksa?" "Kakak aja," jawab Lara. Meskipun akan kembali menimbulkan prasangka, tetapi keputusan terbaiknya pagi ini adalah menghindari Aksa. Meskipun pilihan itu sama saja tak mengenakan, karena lepas dari Aksa, Lara akan dihadapkan dengan dr. Alina. "Oke, gue masuk dulu." Lara mempersilahkan, lalu mulai mempersiapkan schedule dr. Alina hari ini. Sebelum benar-benar melangkah, Lara sempat berdoa dan menghembuskan nafas beberapa kali. Bagaimanapun, hari ini tetap harus dilewati. Baik atau buruk, itu sudah menjadi takdir Tuhan. Lara masuk tanpa mengetuk pintu, langsung berjalan menuju mini pantry. Sudah ada jus jambu yang
"Sudah siap?" "Siap tidak siap, harus siap." Lara datang kembali, mengunjungi Bagas. Bukan untuk menghabiskan waktu bersenang-senang, tetapi siang ini, Lara dijadwalkan mendapatkan pemeriksaan BMP. Bone marrow puncture, yaitu tindakan aspirasi sumsum tulang belakang untuk mencari tahu penyebab Lara sering demam, kelelahan dan juga angka leukosit di tubuhnya yang selalu tinggi. Pemeriksaan yang sempat ditawarkan Bagas beberapa minggu lalu, dan Lara baru menyanggupi dua hari ini. Cukup lama Lara menunggu, hingga penjadwalan tindakan akhirnya ia dapatkan kemarin sore, jadwal yang cukup dibilang cepat karena Bagas sendiri yang meminta langsung ke rumah sakit. Langkah Lara sempat melemah, saat kakinya menapak di ruang pemeriksaan yang didominasi warna putih. Ada banyak poster menempel di dinding, berisi seputar informasi tentang beberapa penyakit yang tak ia pahami. "Takut?" tanya Bagas, menemukan bibir pucat wanita di sampingnya. "Sedikit." "Wajar." "Berapa lama prosedurny
Lara mengambil nafas panjang, lalu melepaskan pelan-pelan. Cara itu pernah diajarkan ibunya, waktu kita cemas ataupun sedang menghadapi masalah berat. "Sudah, saya siap," ucap Lara setelah mengambil cukup waktu untuk dirinya sendiri. Bagas meminta Lara untuk tidur miring, membelakangi Bagas dan satu asistennya, sedang asisten lain sedang memantau tanda-tanda vital dan mempersiapkan beberapa alat yang diminta. Rasanya dingin, saat Bagas membuka penutup tubuh Lara bagian belakang, dan lebih dingin lagi sewaktu laki-laki itu mengoleskan cairan antiseptik di sekitar lokasi yang akan dimasukan jarum. "Bagaimana kabarmu?" tanya Bagas, mencoba mengalihkan perhatian Lara yang tegang. "Tidak cukup baik." "Aksa, apa laki-laki itu tau apa yang sedang kamu lakukan di sini?" "Tidak." Lara menunggu dengan detak jantung berdebar cemas. Jari Bagas yang sudah mengenakan sarung tangan steril sedang mencari letak lokasi yang dituju, menekan pelan punggung Lara di beberapa sisi. "Kenapa k
"Ayo, sepertinya kamu sudah pulih. Kita pulang, kamu mau makan apa?" putus Bagas, tidak ingin membuat Lara semakin bersedih. "Eh by the way, kamu belum menepati janji." "Janji apa?" tanya Lara bingung. "Nonton bioskop. Sekarang, aku mau kita nonton sekarang juga." Senyum di wajah Lara kembali terbit, wanita itu dipersilahkan berganti pakaian dan pulang bersama Bagas. Sudah tahu, kan? Bagas adalah laki-laki pemaksa, laki-laki itu pintar sekali menekan Lara hingga wanita itu akhirnya mengiyakan permintaan Bagas untuk mentraktir nonton bioskop. Keduanya seakan menjelma menjadi dua remaja yang sedang menghabiskan weekend bersama. Lara dan Bagas makan di mall, nonton lalu menyempatkan berbelok ke tempat bermain. Tenang, Lara hanya duduk di kursi buaya sambil melihat atraksi Bagas, karena masih ada kemungkinan nyeri di bekas tindakan. Bagas yang lebih banyak bermain, dan Lara menonton sambil sesekali bertepuk tangan ketika Bagas berhasil menaklukkan permainan. Hingga malam menjela