"Selamat pagi," sapa Lara. Ada dr. Alina yang mengekor di belakang Aksa. Tatapan wanita itu tentu tidak bisa biasa, dr. Alina menyipitkan ujung mata menelisik ke arah Lara. Seperti ditelanjangi, Lara menundukkan pandangan. "Kaku banget, yak," celetuk Dewi di samping Lara. Kedua direksi sudah masuk ke ruangan masing-masing. "Mau gue apa lo yang ke ruang dr. Aksa?" "Kakak aja," jawab Lara. Meskipun akan kembali menimbulkan prasangka, tetapi keputusan terbaiknya pagi ini adalah menghindari Aksa. Meskipun pilihan itu sama saja tak mengenakan, karena lepas dari Aksa, Lara akan dihadapkan dengan dr. Alina. "Oke, gue masuk dulu." Lara mempersilahkan, lalu mulai mempersiapkan schedule dr. Alina hari ini. Sebelum benar-benar melangkah, Lara sempat berdoa dan menghembuskan nafas beberapa kali. Bagaimanapun, hari ini tetap harus dilewati. Baik atau buruk, itu sudah menjadi takdir Tuhan. Lara masuk tanpa mengetuk pintu, langsung berjalan menuju mini pantry. Sudah ada jus jambu yang
"Sudah siap?" "Siap tidak siap, harus siap." Lara datang kembali, mengunjungi Bagas. Bukan untuk menghabiskan waktu bersenang-senang, tetapi siang ini, Lara dijadwalkan mendapatkan pemeriksaan BMP. Bone marrow puncture, yaitu tindakan aspirasi sumsum tulang belakang untuk mencari tahu penyebab Lara sering demam, kelelahan dan juga angka leukosit di tubuhnya yang selalu tinggi. Pemeriksaan yang sempat ditawarkan Bagas beberapa minggu lalu, dan Lara baru menyanggupi dua hari ini. Cukup lama Lara menunggu, hingga penjadwalan tindakan akhirnya ia dapatkan kemarin sore, jadwal yang cukup dibilang cepat karena Bagas sendiri yang meminta langsung ke rumah sakit. Langkah Lara sempat melemah, saat kakinya menapak di ruang pemeriksaan yang didominasi warna putih. Ada banyak poster menempel di dinding, berisi seputar informasi tentang beberapa penyakit yang tak ia pahami. "Takut?" tanya Bagas, menemukan bibir pucat wanita di sampingnya. "Sedikit." "Wajar." "Berapa lama prosedurny
Lara mengambil nafas panjang, lalu melepaskan pelan-pelan. Cara itu pernah diajarkan ibunya, waktu kita cemas ataupun sedang menghadapi masalah berat. "Sudah, saya siap," ucap Lara setelah mengambil cukup waktu untuk dirinya sendiri. Bagas meminta Lara untuk tidur miring, membelakangi Bagas dan satu asistennya, sedang asisten lain sedang memantau tanda-tanda vital dan mempersiapkan beberapa alat yang diminta. Rasanya dingin, saat Bagas membuka penutup tubuh Lara bagian belakang, dan lebih dingin lagi sewaktu laki-laki itu mengoleskan cairan antiseptik di sekitar lokasi yang akan dimasukan jarum. "Bagaimana kabarmu?" tanya Bagas, mencoba mengalihkan perhatian Lara yang tegang. "Tidak cukup baik." "Aksa, apa laki-laki itu tau apa yang sedang kamu lakukan di sini?" "Tidak." Lara menunggu dengan detak jantung berdebar cemas. Jari Bagas yang sudah mengenakan sarung tangan steril sedang mencari letak lokasi yang dituju, menekan pelan punggung Lara di beberapa sisi. "Kenapa k
"Ayo, sepertinya kamu sudah pulih. Kita pulang, kamu mau makan apa?" putus Bagas, tidak ingin membuat Lara semakin bersedih. "Eh by the way, kamu belum menepati janji." "Janji apa?" tanya Lara bingung. "Nonton bioskop. Sekarang, aku mau kita nonton sekarang juga." Senyum di wajah Lara kembali terbit, wanita itu dipersilahkan berganti pakaian dan pulang bersama Bagas. Sudah tahu, kan? Bagas adalah laki-laki pemaksa, laki-laki itu pintar sekali menekan Lara hingga wanita itu akhirnya mengiyakan permintaan Bagas untuk mentraktir nonton bioskop. Keduanya seakan menjelma menjadi dua remaja yang sedang menghabiskan weekend bersama. Lara dan Bagas makan di mall, nonton lalu menyempatkan berbelok ke tempat bermain. Tenang, Lara hanya duduk di kursi buaya sambil melihat atraksi Bagas, karena masih ada kemungkinan nyeri di bekas tindakan. Bagas yang lebih banyak bermain, dan Lara menonton sambil sesekali bertepuk tangan ketika Bagas berhasil menaklukkan permainan. Hingga malam menjela
Aksa mengeram pelan, menekan ujung mata lebih kuat ketika rasa pusing di kepalanya tak kunjung mereda. Hari ini, dia sudah menghabiskan tiga cangkir kopi, seharusnya kafein dengan mudah mengurangi rasa sakit seperti biasa, tetapi sore ini, cairan pekat hitam itu sama sekali tidak berdampak. Aksa masih merasakan denyutan di ujung kepala. Bunyi pintu terbuka, Aksa menyiapkan diri untuk rasa sakit selanjutnya. "Mas dicari Mama." Alina masuk ke ruangan Aksa, suara wanita itu dingin, tidak manja seperti biasanya sikap Alina pada Aksa. Aksa yang sedang membelakangi pintu, memutar tubuh lalu matanya menemukan sosok adik beda ayah yang kini sedang mengunci tatapan ke arahnya. Aksa kembali menarik nafas dalam, belum sempat melepas ketegangan ketika suara Alina kembali terdengar menampar. "Mas mau melarikan diri lagi? Kemarin masalah Papa, Mas lari, masalah Lara, Mas juga mau lari juga?!" "Lin ..." "Apa?!" tanya Alina bernada lebih tinggi dari sebelumnya. "Kamu sedang hamil," ucap
Seperti yang diprediksi, Aksa terlambat saat acara makan malam. Pertemuannya dengan teman lama itu cukup menyita waktu, tetapi Aksa bersyukur dia masih bisa sampai sebelum jam menunjuk pukul delapan malam. "Maaf telat," ucap Aksa mengakui kesalahan. Hal pertama yang ia temukan adalah pemandangan menyesakan. Asad datang bersama dengan keluarga kedua laki-laki itu, ada Bu Lastri dan anak perempuan Asad bernama Prita. Senyum yang terpasang palsu tak cukup membuat hati Aksa membaik, laki-laki itu hanya bisa menutupi kesedihannya dengan melihat ke arah Alina yang berwajah kesal. "Habis darimana, Mas?" tanya Asad. Laki-laki itu duduk di meja utama dengan Halimah dan Lastri duduk di samping kanan dan kiri. Aksa duduk di ujung lain berseberangan dengan tempat duduk Asad, di meja oval yang cukup besar ruang makan keluarga Al-Fayaadh. "Habis ketemu sama Bramantya, Pa." "Oh, bahas kerjasama yang kemarin itu?” "Iya." Saat mata Aksa menemukan Halimah, wanita itu tak cukup bisa menutu
Tetapi, ia kembali dipatahkan oleh keadaan. Setelah menunggu cukup lama di pelataran kos Lara, laki-laki itu justru menemukan Lara yang kembali diantar pulang oleh seorang laki-laki yang Aksa kenali. Mobil yang sama, dan orang yang sama. "Darimana?" tanya Aksa, nada bicaranya dingin melebihi udara malam ini. Tidak mendengar jawaban, Aksa kembali bertanya, "Dengan siapa?" Pertanyaan retoris, karena sejujurnya Aksa tidak butuh jawaban. Pertanyaan yang terdengar sialan, karena Lara tidak berkewajiban menjelaskan kemana dan bersama siapa wanita itu pergi. Menyadari hal itu, Aksa justru kesal sendiri. Bibirnya terangkat naik sambil berkedut, sedang manik matanya tetap mengunci ke arah wanita yang mengenakan cardigan tebal malam ini. "Jadi ini, alasanmu mengambil cuti mendadak hari ini?" tanya Aksa lagi, meskipun pertanyaan sebelum-sebelumnya sama sekali belum terjawab. Lara hanya menunduk, entah sengaja mengabaikan, atau hanya ingin menghindari sorot tajam mata Aksa. Seandainya d
Malam semakin larut, sebagai pekerja yang tetap harus menyodorkan keberadaan di kantor tepat waktu, Lara bukannya istirahat, justru kembali menemani Aksa mencari tempat makan terdekat. Salahnya memang, mencari alasan absurd untuk menahan Aksa agar tidak pulang dalam keadaan marah. Dan yang ada di kepalanya hanyalah makan, padahal dia sendiri perutnya sudah kenyang. "Mau makan di mana?" tanya Aksa di tengah perjalanan. Mereka baru ke luar lima puluh meter dari kos Lara. "Raa ..." "Kita ke tempat makan cepat saji saja, dok. Dekat lampu merah yang mau arah ke kos." "Oke." Tempat makan cepat saji penuh dengan anak muda. Ada yang sedang makan, atau hanya menghabiskan waktu malam bersama teman atau pun pacar. Aksa memilih meja yang ada di luar ruangan, duduk menunggu Lara yang ingin memesan makanan sendiri. Satu alis Aksa diangkat naik, menemukan Lara yang membawa dua kentang goreng dan dua air mineral. "Bukannya mau makan?" "Saya sedang diet." "Apa yang kamu dietkan? Sedang