Aksa mengeram pelan, menekan ujung mata lebih kuat ketika rasa pusing di kepalanya tak kunjung mereda. Hari ini, dia sudah menghabiskan tiga cangkir kopi, seharusnya kafein dengan mudah mengurangi rasa sakit seperti biasa, tetapi sore ini, cairan pekat hitam itu sama sekali tidak berdampak. Aksa masih merasakan denyutan di ujung kepala. Bunyi pintu terbuka, Aksa menyiapkan diri untuk rasa sakit selanjutnya. "Mas dicari Mama." Alina masuk ke ruangan Aksa, suara wanita itu dingin, tidak manja seperti biasanya sikap Alina pada Aksa. Aksa yang sedang membelakangi pintu, memutar tubuh lalu matanya menemukan sosok adik beda ayah yang kini sedang mengunci tatapan ke arahnya. Aksa kembali menarik nafas dalam, belum sempat melepas ketegangan ketika suara Alina kembali terdengar menampar. "Mas mau melarikan diri lagi? Kemarin masalah Papa, Mas lari, masalah Lara, Mas juga mau lari juga?!" "Lin ..." "Apa?!" tanya Alina bernada lebih tinggi dari sebelumnya. "Kamu sedang hamil," ucap
Seperti yang diprediksi, Aksa terlambat saat acara makan malam. Pertemuannya dengan teman lama itu cukup menyita waktu, tetapi Aksa bersyukur dia masih bisa sampai sebelum jam menunjuk pukul delapan malam. "Maaf telat," ucap Aksa mengakui kesalahan. Hal pertama yang ia temukan adalah pemandangan menyesakan. Asad datang bersama dengan keluarga kedua laki-laki itu, ada Bu Lastri dan anak perempuan Asad bernama Prita. Senyum yang terpasang palsu tak cukup membuat hati Aksa membaik, laki-laki itu hanya bisa menutupi kesedihannya dengan melihat ke arah Alina yang berwajah kesal. "Habis darimana, Mas?" tanya Asad. Laki-laki itu duduk di meja utama dengan Halimah dan Lastri duduk di samping kanan dan kiri. Aksa duduk di ujung lain berseberangan dengan tempat duduk Asad, di meja oval yang cukup besar ruang makan keluarga Al-Fayaadh. "Habis ketemu sama Bramantya, Pa." "Oh, bahas kerjasama yang kemarin itu?” "Iya." Saat mata Aksa menemukan Halimah, wanita itu tak cukup bisa menutu
Tetapi, ia kembali dipatahkan oleh keadaan. Setelah menunggu cukup lama di pelataran kos Lara, laki-laki itu justru menemukan Lara yang kembali diantar pulang oleh seorang laki-laki yang Aksa kenali. Mobil yang sama, dan orang yang sama. "Darimana?" tanya Aksa, nada bicaranya dingin melebihi udara malam ini. Tidak mendengar jawaban, Aksa kembali bertanya, "Dengan siapa?" Pertanyaan retoris, karena sejujurnya Aksa tidak butuh jawaban. Pertanyaan yang terdengar sialan, karena Lara tidak berkewajiban menjelaskan kemana dan bersama siapa wanita itu pergi. Menyadari hal itu, Aksa justru kesal sendiri. Bibirnya terangkat naik sambil berkedut, sedang manik matanya tetap mengunci ke arah wanita yang mengenakan cardigan tebal malam ini. "Jadi ini, alasanmu mengambil cuti mendadak hari ini?" tanya Aksa lagi, meskipun pertanyaan sebelum-sebelumnya sama sekali belum terjawab. Lara hanya menunduk, entah sengaja mengabaikan, atau hanya ingin menghindari sorot tajam mata Aksa. Seandainya d
Malam semakin larut, sebagai pekerja yang tetap harus menyodorkan keberadaan di kantor tepat waktu, Lara bukannya istirahat, justru kembali menemani Aksa mencari tempat makan terdekat. Salahnya memang, mencari alasan absurd untuk menahan Aksa agar tidak pulang dalam keadaan marah. Dan yang ada di kepalanya hanyalah makan, padahal dia sendiri perutnya sudah kenyang. "Mau makan di mana?" tanya Aksa di tengah perjalanan. Mereka baru ke luar lima puluh meter dari kos Lara. "Raa ..." "Kita ke tempat makan cepat saji saja, dok. Dekat lampu merah yang mau arah ke kos." "Oke." Tempat makan cepat saji penuh dengan anak muda. Ada yang sedang makan, atau hanya menghabiskan waktu malam bersama teman atau pun pacar. Aksa memilih meja yang ada di luar ruangan, duduk menunggu Lara yang ingin memesan makanan sendiri. Satu alis Aksa diangkat naik, menemukan Lara yang membawa dua kentang goreng dan dua air mineral. "Bukannya mau makan?" "Saya sedang diet." "Apa yang kamu dietkan? Sedang
"Lara kangen sama Bapak." Dalam hening pagi, suara lirih lamat-lamat terdengar. Matahari masih bersembunyi dalam gelap, enggan memunculkan diri dan memulai hari. Lara berbaring di ranjang, di balik selimut tebal bermotif hello kitty. Satu tangannya menggenggam ponsel yang diarahkan ke telinga. "Bapak juga kangen toh. Lira sebentar lagi ulang tahun, Mbak Lara nggak mau pulang?" Rindu dengan keluarga menuntut temu, Lara sempat ingin kembali pulang, tetapi ia sadar, jatah cuti dari kantor sudah berkurang saat ibu meninggal, dan satu hari sudah terpakai ketika ia melakukan pemeriksaan sumsum tulang belakang. "Mbak sudah ambil cuti banyak, Pak. Harus dihemat, biar bisa pulang lagi nanti, atau kalau misal ada keperluan mendadak." Lara dan ayahnya masih saling mendiamkan, merangkai cara untuk bisa kembali bersua. Tatapan mata kosong ke arah atap, dalam temaramnya pagi, Lara menaikan selimut sampai leher saat dingin semakin menyusup. "Atau ... kalau Bapak mau, Bapak sama Lira ke Jakar
Pertama kali masuk, Lara menemukan Aksa yang sudah duduk di sofa tengah ruang kerjanya. Laki-laki itu terlihat sibuk dengan ponsel dalam genggaman. "Berkas yang saya minta sudah ada, Ra?" tanya Aksa, tanpa melihat ke arah pintu masuk. "Sudah, dok. Ini." Lara meletakan dua bendel kertas yang tadi baru saja dicetak. "Ini yang laporan bulan ini, yang satu untuk rekap satu tahun." "Oke, siapin data excel di laptop, nanti waktu rapat kita paparkan." "Baik, dok." Tidak ada yang salah dengan rapat siang ini, Aksa memimpin pertemuan seperti biasa, memberikan arahan dan alternatif solusi yang bisa diambil. Rapat pun berjalan lancar, hingga suara dering ponsel Lara menarik perhatian laki-laki yang sedang mendengarkan penjelasan salah satu staff legal. Ponsel yang terletak di meja dalam posisi layar menghadap ke atas itu menampilkan nama 'Bagas' yang sedang memanggil. Lara buru-buru mengambil ponsel dan memasukan ke saku, tetapi tatapan mata tajam Aksa menandakan jika laki-laki itu sud
"Siang, Raa. Ada baby bear?" Sosok wanita yang sudah jarang terlihat mendatangi Aksa, berdiri dalam balutan pakaian casual yang cantik. Savira mengenakan dress floral santai, jika dilihat dari penampilannya, wanita itu tentu tidak sedang dalam urusan pekerjaan. Lara berdiri menyambut tamu. "Dr. Aksa ada di ruangan, dok." "Sudah makan belum ya? Si gila kerja," tanya wanita itu lagi. Ia memperlihatkan tangan kanannya yang sedang membawa tas berisi makanan. "Aku belikan Aksa makan siang." "Mmm, sepertinya ... dr. Aksa belum terlihat memesan makan siang, dok." "Ooh, pas berarti. Yaa sudah, aku masuk dulu ya, Raa." "Silahkan, dr. Savi." Mata Lara tak lepas, mengikuti sosok Savira sampai menghilang di balik pintu ruang kerja Aksa. Setelah kabar kandasnya pertunangan keduanya, ini pertama kali Lara menemukan Savira menemui Aksa di kantor. Kira-kira, apa yang mereka berdua lakukan di dalam sana? Ada rasa ingin tahu besar yang muncul, kepala Lara merangkai segala kemungkinan ya
Savi : Aku membelikanmu makan siang, di mall depan rumah sakit, ini sudah hampir siap. Wanita itu mengirim pesan, membubuhkan potret dirinya yang sedang menunggu makanan. Jam makan siang kantor terasa lebih cepat datang, Aksa sama sekali tak sadar dia sudah setengah perjalanan menjalani hari yang panjang di penghujung pekan. Me : Mau bawa ke ruanganku? Savi : Yakin? Takut ada yang marah. Aksa melepas tawanya sendirian, membaca baitan pesan Savira di dalam ruangan yang sepi. Amarahnya sudah mereda, laki-laki itu kembali berkutat dengan pekerjaan sebelum jam istirahat makan siang. Me : Sekalian aja bikin gaduh, biar semakin panas. Aksa meletakan ponsel di meja, setelah menerima balasan Savira yang hanya mengirim emoticon tawa. Ia kembali melanjutkan pekerjaan, sampai sosok wanita itu muncul. "Kamu harus berterima kasih sama aku," ucap wanita itu pertama kali. Savira mendekat, meletakan makanan yang ia bawa di meja. "Yakin nih, nggak apa-apa dibikin panas?" "Terka