Savi : Aku membelikanmu makan siang, di mall depan rumah sakit, ini sudah hampir siap. Wanita itu mengirim pesan, membubuhkan potret dirinya yang sedang menunggu makanan. Jam makan siang kantor terasa lebih cepat datang, Aksa sama sekali tak sadar dia sudah setengah perjalanan menjalani hari yang panjang di penghujung pekan. Me : Mau bawa ke ruanganku? Savi : Yakin? Takut ada yang marah. Aksa melepas tawanya sendirian, membaca baitan pesan Savira di dalam ruangan yang sepi. Amarahnya sudah mereda, laki-laki itu kembali berkutat dengan pekerjaan sebelum jam istirahat makan siang. Me : Sekalian aja bikin gaduh, biar semakin panas. Aksa meletakan ponsel di meja, setelah menerima balasan Savira yang hanya mengirim emoticon tawa. Ia kembali melanjutkan pekerjaan, sampai sosok wanita itu muncul. "Kamu harus berterima kasih sama aku," ucap wanita itu pertama kali. Savira mendekat, meletakan makanan yang ia bawa di meja. "Yakin nih, nggak apa-apa dibikin panas?" "Terka
Keesokan harinya, Aksa memutuskan kembali mengganggu Lara di hari Sabtu yang tenang. Persetan dengan kemarahan wanita itu, karena setiap hari, Aksa berjanji akan selalu merecoki kehidupan Lara. "Apa yang dokter lakukan di sini?" See? Bahkan hanya mendengar suara kesal wanita itu Aksa sudah merasa cukup. Aksa mengamati penampilan Lara, tanpa kemeja formal dan make up di wajah, wanita itu berdiri hanya dalam balutan daster rumahan yang berlubang di bahu sebelah kanan. Kesederhanaan Lara yang selama ini justru mampu membuat Aksa tertarik lebih dalam, lalu tanpa sadar, wanita itu sudah menjadi poros dunia. "Main, ini hari Sabtu, hari libur." "Saya tidak bisa, saya sudah ada rencana." "Aku memaksa." "Dok—." "Aku tunggu di mobil, aku nggak akan pergi sebelum kamu ikut pergi menemaniku." Aksa mengancam, menyunggingkan senyum tipis saat menemukan raut wajah Lara yang kesal. Tanpa mengucap satu patah kata lagi, Aksa berjalan meninggalkan kamar Lara, kembali ke dalam mobil,
Satu lembar kertas yang merubah takdir manusia begitu cepat. Bola mata Lara menatap kosong ke tengah meja, tempat di mana Bagas menyerahkan hasil pemeriksaan yang beberapa hari lalu sempat ia jalani. Nyalinya menciut, keberanian yang sudah ia pupuk sedemikian besar sebelum datang ke tempat ini tiba-tiba menguap hilang. "Silahkan dibaca," perintah Bagas, kembali mendorong kertas itu semakin dekat ke ujung. "Apa hasilnya baik?" Mata Lara menatap penuh harap, ke manik mata hitam dengan iris yang tajam. Saat menemukan bola mata itu melarikan diri, Lara sadar, ada sesuatu yang tidak baik terjadi di dalam tubuhnya. Satu air mata mengalir pelan, disela isakan yang coba Lara tahan sedemikian kuat. "Masih ada harapan, Laraa." Bagas mendekat, mencari bola mata Lara yang kini terpejam. "Aku pasti memberikan terbaik dari apa yang aku miliki." Lara masih terisak, tangannya menghapus bekas air mata di sekitar wajah. Senyum tipis tak bisa menutupi kesedihan yang ia rasakan, justru bibir be
Bagas menangkap sesuatu yang tidak baik, dan laki-laki itu hanya bisa mendesah pelan ketika menemukan bola mata Lara yang menatapnya penuh harap. Dia tidak bisa menolak keinginan wanita itu. "Apapun rencana di otakmu, aku tekankan, suatu saat Aksa pasti tau dengan kondisimu. Hal yang justru semakin menyakiti laki-laki itu." Tidak ada yang mudah dari setiap pilihan hidup yang diambil. Lara sadar, hidupnya terlalu rumit untuk menarik orang lain masuk ke dalam derita. "Saya akan bertanggung jawab penuh dalam keputusan yang saya ambil." Lara menguatkan hati. Perjalanan panjang kehidupan Lara menghadapkan begitu banyak cerita dan rasa. Lara sadar, dirinya terlalu kerdil disandingkan dengan takdir. Ia hanya bisa menjalani jalan cerita yang sudah tertulis sebaik yang ia mampu. Karena terkadang, manusia bisa menemukan makna hidup dari cerita orang lain. Hari yang berat terpaksa dilewati, Lara baru saja menghadap bagian SDM untuk memperjelas status pengunduran dirinya. Seperti yang i
Ada satu hal yang tak bisa ditolak saat kamu meminta bantuan, yaitu; kamu harus siap dituntut untuk membalas bantuan yang diberikan. Ini kedua kalinya Lara menolak, tetapi Bagas kembali mengungkit bantuan yang ia berikan, dan kembali memaksa Lara mengikuti kemauan laki-laki itu. "Hanya datang menemaniku ke pesta, Lara. Aku rasa itu tidak terlalu sulit, di sana banyak makanan enak, anggap saja healing," tuntut Bagas melalui panggilan telepon. Lara tidak pernah datang ke pesta, apalagi bersama laki-laki. Satu-satunya laki-laki di luar keluarga dalam hidupnya selain Aksa hanyalah Joko, itupun keduanya sama-sama cupu, ke luar kos hanya sekedar untuk makan di pinggir jalan, atau warung makan sederhana. "Foto yang kamu minta itu sangat berarti. Kamu bisa pakai foto itu untuk mengelabui orang-orang yang mengenalku, lalu memanfaatkan demi keuntungan pribadi." Bagas terlalu berlebihan, semua yang ia tuduhkan sama sekali tidak pernah terbersit di otak Lara. Wanita itu hanya menggunakan
Tidak ada kata damai saat bersama Bagas, sepanjang jalan yang tak pernah sepi, karena laki-laki itu masih saja terus menggoda Lara, sampai mobil mereka berhenti di basement hotel. Tempat luas yang sepi, hanya berisi sederet mobil mewah berjejer rapi. Tentu saja sepi, karena tidak semua manusia penghuni Jakarta bisa makan di tempat ini. "Pasti semua yang datang orang kaya ya, dok?" tanya Lara, berjalan di samping Bagas dengan rasa ingin tahu yang besar. Matanya menikmati ornamen-ornamen antik di sepanjang lorong masuk lobi, ada motor-motor antik dan kursi-kursi kayu aestetik. Beberapa lukisan di dinding juga cukup menarik perhatian. "Iya, tapi jangan berfikir untuk jual diri, karena kalau kamu butuh uang, aku saja yang beli kamu pakai mahar." Lara memukul bahu Bagas, laki-laki itu mengaduh padahal pukulan Lara sama sekali tidak terasa sakit. Keduanya masuk ke dalam lift, menekan tombol angka sepuluh, tempat di mana acara pesta digelar. "By the way, ini acara pesta apa?" Lar
Savira pun tak berani mengganggu, sepanjang acara yang seharusnya menyenangkan justru berubah menjadi menegangkan. Aksa diam, hanya sesekali membalas sapaan beberapa orang yang mengenalnya. "Kita pulang aja yuk," pinta Aksa. Wanita di sampingnya menolak mentah-mentah ajakan Aksa. "Aku masih mau nunggu sampai DJ-nya perform, Sa. Udah terlanjur keluar malam, sekalian aja, belum tentu besok bisa lagi." Jadwal padat keduanya cukup sulit untuk mencari waktu seperti sekarang. Aksa dengan pekerjaannya yang padat, dan Savira dengan rutinitas sebagai dokter dan juga dosen. Mendengar permintaan Savira, Aksa tak bisa menolak. Ia masih ingat alasan wanita itu memaksa Aksa menemaninya datang ke tempat ini, yaitu; karena hiburan salah satunya adalah DJ yang wanita itu suka. Aksa menahan keinginan untuk pulang, meskipun sepanjang pesta laki-laki itu menekan derita. Aksa sama sekali tidak beranjak dari sofa, ia menghindari sudut belakang di mana Lara berada. Malam semakin larut, acara pun
Dinginnya malam, mencekat jiwa-jiwa perindu. Hujan baru saja mengguyur kota Jakarta, membekas tanah basah di mana-mana. Langit gelap masih tetap menjanjikan hujan deras, meskipun air belum juga surut diserap tanah. Dua manusia bertahan saling mendiamkan, di dalam mobil yang berhenti di pinggir taman. Tempat yang biasanya ramai, malam ini terlihat sepi, menyisakan pemandangan air mancur yang tak beroperasi. Tidak ada yang bersuara, membiarkan suara rintik air hujan mendominasi. Setelah pengakuan Lara, Aksa membawa wanita itu melarikan diri dari acara, memaksa masuk ke dalam mobil yang entah ia tujukan ke mana. Dan di sini-lah keduanya berakhir, di sebuah tempat yang tak ada dalam rencana. "Kamu berbohong tentang hubunganmu dan Bagas," tuduh Aksa. Kalimat itu menyudut langsung, tanpa berniat membiarkan keraguan datang. Sepi sudah terurai, menegaskan dingin yang semakin mencekam. "Benar atau salah-nya, itu bukan urusan dr. Aksa." "Kamu masih mau mengelak dengan perasaanmu?"