Tidak ada kata damai saat bersama Bagas, sepanjang jalan yang tak pernah sepi, karena laki-laki itu masih saja terus menggoda Lara, sampai mobil mereka berhenti di basement hotel. Tempat luas yang sepi, hanya berisi sederet mobil mewah berjejer rapi. Tentu saja sepi, karena tidak semua manusia penghuni Jakarta bisa makan di tempat ini. "Pasti semua yang datang orang kaya ya, dok?" tanya Lara, berjalan di samping Bagas dengan rasa ingin tahu yang besar. Matanya menikmati ornamen-ornamen antik di sepanjang lorong masuk lobi, ada motor-motor antik dan kursi-kursi kayu aestetik. Beberapa lukisan di dinding juga cukup menarik perhatian. "Iya, tapi jangan berfikir untuk jual diri, karena kalau kamu butuh uang, aku saja yang beli kamu pakai mahar." Lara memukul bahu Bagas, laki-laki itu mengaduh padahal pukulan Lara sama sekali tidak terasa sakit. Keduanya masuk ke dalam lift, menekan tombol angka sepuluh, tempat di mana acara pesta digelar. "By the way, ini acara pesta apa?" Lar
Savira pun tak berani mengganggu, sepanjang acara yang seharusnya menyenangkan justru berubah menjadi menegangkan. Aksa diam, hanya sesekali membalas sapaan beberapa orang yang mengenalnya. "Kita pulang aja yuk," pinta Aksa. Wanita di sampingnya menolak mentah-mentah ajakan Aksa. "Aku masih mau nunggu sampai DJ-nya perform, Sa. Udah terlanjur keluar malam, sekalian aja, belum tentu besok bisa lagi." Jadwal padat keduanya cukup sulit untuk mencari waktu seperti sekarang. Aksa dengan pekerjaannya yang padat, dan Savira dengan rutinitas sebagai dokter dan juga dosen. Mendengar permintaan Savira, Aksa tak bisa menolak. Ia masih ingat alasan wanita itu memaksa Aksa menemaninya datang ke tempat ini, yaitu; karena hiburan salah satunya adalah DJ yang wanita itu suka. Aksa menahan keinginan untuk pulang, meskipun sepanjang pesta laki-laki itu menekan derita. Aksa sama sekali tidak beranjak dari sofa, ia menghindari sudut belakang di mana Lara berada. Malam semakin larut, acara pun
Dinginnya malam, mencekat jiwa-jiwa perindu. Hujan baru saja mengguyur kota Jakarta, membekas tanah basah di mana-mana. Langit gelap masih tetap menjanjikan hujan deras, meskipun air belum juga surut diserap tanah. Dua manusia bertahan saling mendiamkan, di dalam mobil yang berhenti di pinggir taman. Tempat yang biasanya ramai, malam ini terlihat sepi, menyisakan pemandangan air mancur yang tak beroperasi. Tidak ada yang bersuara, membiarkan suara rintik air hujan mendominasi. Setelah pengakuan Lara, Aksa membawa wanita itu melarikan diri dari acara, memaksa masuk ke dalam mobil yang entah ia tujukan ke mana. Dan di sini-lah keduanya berakhir, di sebuah tempat yang tak ada dalam rencana. "Kamu berbohong tentang hubunganmu dan Bagas," tuduh Aksa. Kalimat itu menyudut langsung, tanpa berniat membiarkan keraguan datang. Sepi sudah terurai, menegaskan dingin yang semakin mencekam. "Benar atau salah-nya, itu bukan urusan dr. Aksa." "Kamu masih mau mengelak dengan perasaanmu?"
Aksa menyatukan bibir keduanya, mengabaikan keterkejutan Lara. Ia menyesap langsung hingga ke dalam, seperti manusia kehausan, meneguk dahaga dari satu-satunya sumber mata air yang ia inginkan. Bibir tebalnya mengulum penuh tekanan, menunjukan pada Lara bahwa dia menginginkan wanita itu sebegitu besarnya. Kepasrahan Lara semakin memacu sisi dominan Aksa, laki-laki itu membawa tubuhnya bertumpu lutut, menjulang besar menghimpit tubuh Lara yang kurus. Tangannya menahan wajah Lara, sementara bibirnya tak berhenti bergerilya. Aksa semakin masuk mencari kehangatan, ketika sambutan amatir wanitanya terasa lembut membelai. "Dok—." Lara kewalahan, wanita itu mencoba melepaskan bibir tebal Aksa, tetapi tangan besar itu justru turun menyusur dan berhenti di leher, melingkar di sana membatasi pergerakan. Aksa menekan tanpa menyakiti. Ia belum selesai, tak ingin mengurai secepat itu. Tubuh Lara menikmati rasa hangat yang tiba-tiba membuai lembut. "D—dok." Lara tak mampu membendung gejol
"Dokter—, sepertinya harus periksa, deh," usul Lara. Tangan Aksa justru semakin erat memeluk pinggang wanita itu. "Mmm, sakit yang kemarin sudah sembuh, tapi sekarang muncul sakit yang baru." Lara kembali mencoba mendorong tubuh Aksa menjauh, tetapi laki-laki itu seperti berniat tak memudahkan niat Lara. "Dok, kopinya sudah jadi, boleh lepaskan dulu tangannya?" "Mintanya yang baik dan benar," rajuk Aksa. Nafas kasar terlepas dari bibir Lara, mata wanita itu melotot kesal menatap Aksa yang ada di belakangnya. "Aku mau mendengar kata itu sebelum mulai kerja, ada banyak meeting hari ini yang butuh fokus. Aku tidak ingin semuanya berantakan hanya karena belum mendengar panggilan 'sayang' dari kamu," tambah Aksa. "Dokter aneh, sumpah!" "Say it," titah Aksa, wajah laki-laki itu tak lagi menggoda, berubah serius menunggu jawaban Lara. Satu menit, dua menit, Lara akhirnya menyerah. "Sayang, kopinya sudah jadi." Entah bagaimana mendeskripsikan wajah Aksa setelah mendengar
Tiga hal yang paling berarti dalam hidup adalah; waktu, tubuh yang sehat dan orang tersayang. Selama hidup, Lara sering bertemu dengan banyak orang baru. Mereka datang, ikut mengisi lembaran cerita yang sama, lalu menghilang atau bertahan. Itulah kehidupan, tidak ada yang kekal, karena cerita akan tetap berjalan, baik ada atau tidaknya dirimu di dalamnya. Hari Sabtu dini hari, Lara mengeratkan jaket tebal menunggu di pinggir jalan. Informasi yang ia dapatkan dari Lira, seharusnya dia dan ayahnya sudah tiba sekitar sepuluh menit yang lalu. Tetapi sampai detik ini, Lara belum melihat sosok kedua manusia paling berarti di dalam hidupnya itu. Lara kembali mengirim pesan, bertanya tentang keberadaan adiknya, namun pesan itu tak kunjung berbalas sampai Lara khawatir. "Mbak Lara!" Pekikan memanggil nama Lara menarik perhatian, wanita itu memutar tubuh lalu menemukan Lira dan ayahnya sedang berjalan mendekat. "Dek, Mbak tungguin dari tadi lho." "Macet, Mbak. Lamaaa banget tadi di da
Ayah dan Lara sudah bersiap karena mereka bangun terlebih dahulu, tinggal menunggu Lira yang baru saja selesai mandi. "Kita sarapan dulu saja, ya. Sudah lapar," celetuk Lara, sambil memegangi perutnya sendiri. Terbiasa bekerja, Lara selalu rajin sarapan setiap pagi. Sedang sekarang, jam sudah menunjukan pukul sepuluh tetapi belum ada jenis makanan satupun yang masuk ke perutnya. "Iya, sama. Lira juga lapar." Gadis muda itu sedang bahagia bermain dengan make up Lara yang tidak seberapa. "Mbak make up-nya banyak banget ya," celetuk Lira senang. "Kan Mbak Lara kerjanya sebagai seketaris, jadi ya harus bisa tampil rapi karena banyak ketemu orang." Lara ingat, awal-awal ia bekerja sebagai seketaris, dirinya yang terbiasa tampil polos terpaksa belajar dandan. Meskipun kesulitan, Lara pun akhirnya bisa sedikit-sedikit memoles wajah, berkat bantuan rekan kerjanya Dewi dan Siska. Lara membiarkan pintu kamar terbuka, agar angin dari luar masuk ke dalam. Kamarnya tidak terlalu luas u
"Dok—." Lara kembali ditahan ayahnya. Laki-laki itu tersenyum ramah, seakan sudah menebak apa yang terjadi. Terlihat dari interaksi dan tatapan mata, Lara yang melotot kesal ke arah Aksa, tidak mungkin keduanya hanya sebatas rekan kerja. Ayah Lara tidak sebodoh itu untuk menebak situasi. "Saya dr. Aksa Al-Fayaadh, saya sudah menjalin hubungan sebagai kekasih dengan Lara cukup lama. Maaf, jika kita bertemu dengan cara yang—, sedikit canggung. Tetapi saya senang, akhirnya bisa dipertemukan dengan Bapak." Ayah Lara merasakan kecanggungan yang sama, raut wajah laki-laki itu pun tak setenang sebelumnya. Di hadapannya, berdiri kekasih anak perempuan pertama, seorang laki-laki yang mungkin berniat mengambil wanita itu. "Saya juga senang bisa bertemu dengan dr. Aksa." "Panggil saya dengan nama saja, Pak. Nama saya Aksa, dan cukup panggil saya dengan nama itu." "Yaa, Mas Aksa." Lara duduk lemas di karpet, merutuki kesialan yang bertubi-tubi. Sepertinya, hidup semakin membawa al
Mata Aksa terpejam mendengar kalimat Lara, menyusup ngilu yang pelan-pelan menjalar dari dada ke ujung syaraf nadi di seluruh tubuhnya. Rasa yang berusaha ditekan, justru kembali diungkit di bawah langit jingga sore yang seharusnya romantis. "Dok ..." panggil Lara sekali lagi. "Permintaanmu terlalu sulit, Lara." "Cuma satu." "Tapi itu adalah hal tersulit untuk kukabulkan." Wajah Aksa memias, sudut matanya berkerut menahan sesak. Laki-laki itu memalingkan muka, mengalihkan perhatian dari Lara, ketika saat ini wanita itu berubah menjadi sosok yang menyakiti. "Aku tidak bisa." "Dan dokter baru saja berjanji untuk mengabulkan permintaanku." Aksa mengisi kekosongan dada dengan oksigen sebanyak mungkin, mengurai gelisah, menekan rasa sedih yang datang. Adalah hal yang paling ia takuti, kehilangan istrinya. Seorang wanita yang arti kehadirannya terlalu besar, bahkan hanya sekedar membayangkan kehidupannya tanpa Lara pun Aksa tak bisa. "Aku akan selalu mencintaimu," ucapnya li
Two years later Seorang wanita dan laki-laki duduk memandang hamparan laut berwarna biru, di bawah langit yang indah, di bibir pantai. Kedua tangan mereka saling menggenggam, si wanita duduk di atas kursi roda, sedang si laki-laki duduk beralaskan pasir pantai yang putih. Tubuh si laki-laki basah, bertelanjang dada dengan pasir yang menempel di beberapa bagian tubuh laki-laki itu. Senyum terpatri di kedua wajah yang tidak menatap ke arah sama, pandangan si wanita mengunci ke arah laki-laki di sampingnya, sedang laki-laki itu justru mematri netranya ke arah ombak kecil-kecil yang menggulung di bibir pantai. "Aku menemukan dua pemandangan terindahku sore ini," sela si wanita, menarik perhatian laki-laki di sebelahnya. Tersenyum tipis, Aksa mengalihkan perhatian dari pantai ke istrinya yang sedang menatap ke arahnya. "Apa itu? Aku ingin tau." "Pantai dan kamu." Rayuan amatir yang terdengar basi, tetapi sukses membuat laki-lakinya melengkungkan bibir, tersenyum malu-malu. Laki
Dua hari setelah menikah, Lara diperbolehkan pulang. Bagas yang baru saja mengecek kondisi Lara sudah cukup yakin wanita itu layak dipulangkan, dengan beberapa terapi terjadwal yang nantinya harus dipatuhi wanita itu. "By the way, selamat atas pernikahan kalian berdua," ucap Bagas ditengah kunjungannya. "Thank's." "Kalian berdua—, terlihat serasi bersama," tambah laki-laki itu lagi, kalimat yang justru terdengar janggal diucapkan seorang Bagas Ganendra. "Gue cabut dulu, masih ada beberapa pasien yang butuh divisit." Bagas langsung meninggalkan ruang rawat inap Lara, tetapi Aksa mengejar lalu menahan laki-laki itu di depan pintu luar ruang rawat inap. "Kenapa?" tanya Bagas, menemukan Aksa yang tiba-tiba menghentikan langkahnya. "Ada yang mau gue tanyain." "Lara sudah baik, bisa beraktivitas seperti biasa," jawab Bagas, bahkan saat Aksa belum menyampaikan pertanyaannya. "Aktivitas seperti biasa, kalau—, buat 'itu' boleh kan, Gas?" tanya Aksa ragu, jujur saja dia khawatir
Lara kembali mengeratkan pelukan, menggelengkan kepala berkali-kali menolak kalimat yang terucap dari bibir laki-laki itu. Ayah tidak menjaga Lara, karena fokus dengan penyembuhan ibu, dan Lara sebagai anak perempuan memang harus bisa menggantikan posisi ayahnya menjaga Lira. "Maafkan, Lara ya, Pak. Lara justru jauh, ndak bisa jaga Bapak yang sudah sepuh. Membebankan masa muda Lira untuk ikut menjaga ibu." Tak lagi ada yang bisa menahan, tangis keduanya lepas di tengah malam diantara sepi yang menyengat. Ayah dan anak tengah berjuang melawan kesedihan masing-masing. Keesokan pagi, Lara bangun dengan suasana yang berbeda. Beberapa kursi tambahan sudah disiapkan, ada hiasan bunga asli yang terpajang menghiasi ruang rawat inap Lara. "Hey, kamu tidurnya lelap banget, Yank. Aku nggak tega mau bangunin," sapa Aksa, di sela usaha Lara mendudukan tubuh. Wanita itu masih bingung menatap sekitar, ada beberapa orang yang ia kenal sedang berkumpul di ruang rawat inapnya. "Nggak usah d
"Kenapa Bapak—, melihat Lara seperti itu?" tanya Lara pelan. Matanya yang hendak terpejam kembali terbuka lebar. Lara yang terbangun di sela tidur lelapnya menemukan ayah-nya yang masih terjaga, duduk di kursi penunggu di samping ranjang, menatap Lara tanpa sedikitpun kantuk datang. "Pak ..." "Anak Bapak ayu," puji Pak Darmo. Lara berdecak, tersenyum tipis sambil mengalihkan perhatian. "Anak Bapak ayu, luwes, dan ... apa lagi ya? Bingung Bapak." Laki-laki paruh baya itu tersenyum hambar, bibirnya terangkat naik tetapi berbanding terbalik dengan matanya yang justru meloloskan air mata. "Bapak bangga—, punya anak seperti Lara." "Yaa, namanya anak sendiri, pasti selalu dipuji kan, Pak?" Lara pun sama, matanya membasah, padahal topik utama pembahasan keduanya malam ini sama sekali bukan tentang kesedihan. Sore tadi, ayah Lara sampai di Jakarta dan langsung ke rumah sakit. Laki-laki itu ke datang bersama Lira dan Pakdhe Ratno yang akan menjadi saksi pernikahan. Menemukan Lara
Malam semakin larut, Aksa juga butuh istirahat agar esok tenaganya kembali utuh. Sebelum beranjak pergi, Aksa sempat merasakan gerak tangan Lara yang tiba-tiba. Laki-laki itu menahan langkah, memusatkan perhatiannya ke arah jari Lara yang kali ini masih tak berubah posisi. Cukup lama Aksa diam berdiri kaku, lalu menyerah saat merasa bahwa apa yang baru saja ia lihat hanyalah ilusi. "Aku butuh tidur," gumam Aksa. Laki-laki itu terlampau lelah, dan terlalu berharap banyak Lara segera sadar. Aksa sering bermimpi wanita itu kembali berada di sisinya, mengerucut sebal ke arahnya. Demi Tuhan, menemukan wajah cemberut Lara lebih indah daripada melihat wanita itu yang terbujur lemas tak sadarkan diri. Di ruang suite rawat inap, ada satu ranjang penunggu yang setiap hari Aksa gunakan untuk tidur. Laki-laki itu baru saja menyiapkan selimut sebelum tiba-tiba suara lirih kembali menarik perhatian laki-laki itu ke tengah ruangan. "Bu ..." Suara lirih Lara memanggil ibunya. Aksa berjal
Aku menciptakan objek yang bisa kubenci, kujadikan tempat untuk meluapkan keputusasaan. Aku butuh tempat untuk melepas semua kekecewaanku pada takdir, tetapi tanpa sadar, justru dia-lah tempatku menemukan kehidupan. Seandainya penyesalan bisa mengembalikan waktu, aku pasti banyak-banyak merayu Tuhan untuk kembali membawaku di pertemuan pertama. Tetapi sayang, penyesalan ini sama sekali tidak berarti. Aku menyerah, di penghujung waktu yang sudah berbatas. *** "Bagaimana kabar, Lara?" Seorang wanita paruh baya berdiri di belakang Aksa. "Lara baik, Lara kuat, Ma." Satu tangan wanita itu terulur ke bahu Aksa, menyalurkan kehangatan memberi kekuatan. Wanita itu sadar, apa yang sedang dialami anak laki-lakinya saat ini tidak-lah mudah. Jatuh cinta, lalu kembali diuji setelah bersama. "Mama selalu berdoa yang terbaik untuk Lara." Aksa tersenyum masam, senyum yang digunakan hanya sebatas untuk menjaga kesopanan. Senyum yang tidak benar-benar ada, karena perasaannya sudah dipenuh
"Lo bohong kan, Gas? Katakan kalau apa yang lo ucapin itu cuma omong kosong," mohon Aksa, tapi Bagas hanya diam. "Lebih baik, gue tau lo deket sama Lara sebagai seorang laki-laki dan perempuan, ketimbang tau kalian dekat karena Lara sebagai pasien dan lo sebagai dokter-nya." Kalimat itu diucapkan dengan bibir bergetar, ada ketakutan yang kentara di setiap kalimat yang keluar dari bibir Aksa. "Sorry, Sa. Gue mengatakan apa yang benar-benar terjadi," tambah laki-laki itu pasti. Dada Aksa sesak, tubuhnya yang kuat sama sekali tak bisa menopang dirinya sendiri. Laki-laki itu kembali mendudukan tubuhnya di kursi penunggu, membelakangi Bagas yang masih terpaku. Cukup lama mata laki-laki itu terpejam kuat, disaat kesedihan terlalu sulit ditekan. Selama ini, Aksa merasa dia-lah satu-satunya laki-laki yang paling mengenal Lara, nyatanya tidak. Dia sama sekali tidak mengenal wanita itu, atau mungkin? Dia adalah satu-satunya orang yang tidak dilibatkan dalam masalah yang sedang Lara hada
Tiga hal yang paling ditakuti dalam hidup; rasa sakit, kematian dan kehilangan. Namun, tiga hal itu yang paling banyak ditemui dalam lembaran cerita manusia, tentang rasa sakit dan saling menyakiti, tentang lahir lalu mati, dan— tentang menemukan lalu kehilangan. Tidak ada cara untuk menghindar, kapanpun dan dengan cara bagaimana. Semua berporos pada takdir Tuhan yang terikat di setiap manusia yang lahir dan bernafas di dunia. Di sebuah ruangan putih luas dengan properti mewah yang sama sekali tidak mengurangi ketegangan di dalamnya. Kesedihan teramat mendominasi, dibalut dalam gelapnya malam yang semakin menyengat sepi. Aksa masih bertahan, duduk di kursi penunggu samping bed perawatan Lara, sudah lebih dari dua puluh empat jam wanita itu tidak sadarkan diri, sudah dua kolf transfusi darah yang masuk ke dalam tubuh wanita itu, tetapi Lara tak kunjung membuka mata, masih setia beristirahat dalam tidurnya yang lelap. Selama satu hari yang sama, Aksa tidak meninggalkan kamar rawa