"Dokter—, sepertinya harus periksa, deh," usul Lara. Tangan Aksa justru semakin erat memeluk pinggang wanita itu. "Mmm, sakit yang kemarin sudah sembuh, tapi sekarang muncul sakit yang baru." Lara kembali mencoba mendorong tubuh Aksa menjauh, tetapi laki-laki itu seperti berniat tak memudahkan niat Lara. "Dok, kopinya sudah jadi, boleh lepaskan dulu tangannya?" "Mintanya yang baik dan benar," rajuk Aksa. Nafas kasar terlepas dari bibir Lara, mata wanita itu melotot kesal menatap Aksa yang ada di belakangnya. "Aku mau mendengar kata itu sebelum mulai kerja, ada banyak meeting hari ini yang butuh fokus. Aku tidak ingin semuanya berantakan hanya karena belum mendengar panggilan 'sayang' dari kamu," tambah Aksa. "Dokter aneh, sumpah!" "Say it," titah Aksa, wajah laki-laki itu tak lagi menggoda, berubah serius menunggu jawaban Lara. Satu menit, dua menit, Lara akhirnya menyerah. "Sayang, kopinya sudah jadi." Entah bagaimana mendeskripsikan wajah Aksa setelah mendengar
Tiga hal yang paling berarti dalam hidup adalah; waktu, tubuh yang sehat dan orang tersayang. Selama hidup, Lara sering bertemu dengan banyak orang baru. Mereka datang, ikut mengisi lembaran cerita yang sama, lalu menghilang atau bertahan. Itulah kehidupan, tidak ada yang kekal, karena cerita akan tetap berjalan, baik ada atau tidaknya dirimu di dalamnya. Hari Sabtu dini hari, Lara mengeratkan jaket tebal menunggu di pinggir jalan. Informasi yang ia dapatkan dari Lira, seharusnya dia dan ayahnya sudah tiba sekitar sepuluh menit yang lalu. Tetapi sampai detik ini, Lara belum melihat sosok kedua manusia paling berarti di dalam hidupnya itu. Lara kembali mengirim pesan, bertanya tentang keberadaan adiknya, namun pesan itu tak kunjung berbalas sampai Lara khawatir. "Mbak Lara!" Pekikan memanggil nama Lara menarik perhatian, wanita itu memutar tubuh lalu menemukan Lira dan ayahnya sedang berjalan mendekat. "Dek, Mbak tungguin dari tadi lho." "Macet, Mbak. Lamaaa banget tadi di da
Ayah dan Lara sudah bersiap karena mereka bangun terlebih dahulu, tinggal menunggu Lira yang baru saja selesai mandi. "Kita sarapan dulu saja, ya. Sudah lapar," celetuk Lara, sambil memegangi perutnya sendiri. Terbiasa bekerja, Lara selalu rajin sarapan setiap pagi. Sedang sekarang, jam sudah menunjukan pukul sepuluh tetapi belum ada jenis makanan satupun yang masuk ke perutnya. "Iya, sama. Lira juga lapar." Gadis muda itu sedang bahagia bermain dengan make up Lara yang tidak seberapa. "Mbak make up-nya banyak banget ya," celetuk Lira senang. "Kan Mbak Lara kerjanya sebagai seketaris, jadi ya harus bisa tampil rapi karena banyak ketemu orang." Lara ingat, awal-awal ia bekerja sebagai seketaris, dirinya yang terbiasa tampil polos terpaksa belajar dandan. Meskipun kesulitan, Lara pun akhirnya bisa sedikit-sedikit memoles wajah, berkat bantuan rekan kerjanya Dewi dan Siska. Lara membiarkan pintu kamar terbuka, agar angin dari luar masuk ke dalam. Kamarnya tidak terlalu luas u
"Dok—." Lara kembali ditahan ayahnya. Laki-laki itu tersenyum ramah, seakan sudah menebak apa yang terjadi. Terlihat dari interaksi dan tatapan mata, Lara yang melotot kesal ke arah Aksa, tidak mungkin keduanya hanya sebatas rekan kerja. Ayah Lara tidak sebodoh itu untuk menebak situasi. "Saya dr. Aksa Al-Fayaadh, saya sudah menjalin hubungan sebagai kekasih dengan Lara cukup lama. Maaf, jika kita bertemu dengan cara yang—, sedikit canggung. Tetapi saya senang, akhirnya bisa dipertemukan dengan Bapak." Ayah Lara merasakan kecanggungan yang sama, raut wajah laki-laki itu pun tak setenang sebelumnya. Di hadapannya, berdiri kekasih anak perempuan pertama, seorang laki-laki yang mungkin berniat mengambil wanita itu. "Saya juga senang bisa bertemu dengan dr. Aksa." "Panggil saya dengan nama saja, Pak. Nama saya Aksa, dan cukup panggil saya dengan nama itu." "Yaa, Mas Aksa." Lara duduk lemas di karpet, merutuki kesialan yang bertubi-tubi. Sepertinya, hidup semakin membawa al
Setelah sarapan yang lebih pantas disebut makan siang, Aksa mengantar mereka ke Taman Mini Indonesia Indah. Menghabiskan waktu cukup lama untuk antre, akhirnya mereka mendapat kesempatan naik kereta gantung. Ayah dan Lira naik bersama, sedang Lara dan Aksa naik di kereta lain yang berbeda. "Jangan ngambek dong, Yaank," mohon Aksa. Wanita itu selalu membuang muka ketika keduanya berpapasan. Lara dan Aksa duduk saling berhadapan, karena Lara beralasan supaya beban keretanya berimbang. "Dokter keterlaluan.” "Keterlaluan apa-nya?" "Dokter melibatkan Bapak, saya nggak suka," sentak Lara. "Lah bukannya sudah seharusnya kita melibatkan orangtua?" Aksa bertanya pelan, berusaha menekan nada kalimatnya serendah mungkin untuk tak kembali menyulut kemarahan Lara. "Saya tidak mau, bukankah saya sudah pernah jawab, ya?" "Raaa, sampai kapan kamu begini terus? Nggak capek, kah?" "Capek!" "Sama," sahut Aksa. "Sudahi drama-nya, ya? Kenapa juga harus ditutup-tutupi? Kamu cinta sama
Di sisi lain, Lara menerima pesan Bagas saat berada di toilet kantor. Setelah semalam hidungnya kembali mengeluarkan darah, pagi ini badannya banyak dipenuhi lebam. Lara memang kelelahan, sangat. Menikmati hari Sabtu dan Minggu bersama ayah, Lira dan Aksa. Sepanjang waktu yang menyenangkan membuat wanita itu lupa kondisi tubuhnya. "Kaak, besok aku mau ambil cuti ya." "Mendadak gini?" Lara mengangguk. "Maaf, ada kepentingan keluarga." Minggu malam, Pak Darmo dan Lira sudah kembali ke kampung, karena senin Lara sudah harus kembali bekerja. Beruntungnya Lara, Aksa menemani dan mengantar ayahnya sampai masuk ke dalam bis. Setelah bis yang ayah tumpangi mulai berjalan, Aksa mengantar Lara pulang. Teringat jelas di kepala Lara, saat laki-laki itu dengan tegas mengutarakan niatnya ingin menikahi Lara di depan Pak Darmo. Dan seperti tak mau mempersulit, ayah Lara langsung menerima lamaran Aksa. "Bapak ndak akan mempersulit, jika Lara mau, Bapak pasti setuju," jawab Bapak malam ke
"Dapat tanda tangannya?" tanya Dewi mencari tahu. Lara mengangguk pelan, lalu kembali bekerja meskipun suasana hatinya sedang kacau. Makan siang hari ini, Lara makan bersama Dewi, karena Aksa sedang ada meeting di luar ditemani Siska. Laki-laki itu sempat mengirim pesan agar Lara makan siang terlebih dahulu tanpa menunggunya. "Raa, lo kenapa?" tanya Dewi, menemukan Lara yang tiba-tiba bersender ke dinding setelah mereka pulang makan siang. Lara dan Dewi sudah kembali ke rumah sakit, masih ada di lobi menunggu lift karyawan yang akan membawa mereka ke lantai lima. "Lo makannya nggak habis tadi, jadi lemes kan?" Dewi khawatir, membantu memegangi bahu Lara karena wanita itu terlihat lemas dan kesakitan. Tangan Lara menekan kepala, sambil memejamkan kedua matanya erat-erat. Ada beberapa karyawan lain yang berniat membantu, tapi Lara menolak. Akhirnya, Dewi membawa wanita itu menjauh dari lift, lalu mendudukkan Lara di sofa yang ada di sana. "Kita ke IGD saja, ya? Biar diperi
Warna putih asap rokok mengepul,terlepas dari bibir laki-laki yang duduk di ujung ranjang. Tangan laki-laki itu bertumpu di paha, dengan satu kaki bersila. Di belakangnya, seorang wanita terjaga, bersandar di ujung ranjang sambil mengamati dalam diam gambaran siluet tubuh besar itu di tengah lampu temaram kamar.Isi otaknya berisik, menuntut perhatian.Keheningan malam menemani dua manusia berbeda kasta itu, saling mendiamkan padahal ratusan menit sebelumnya saling menyebut nama dalam geraman penuh dosa. Tidak ada yang berbicara, seakan keduanya memberi waktu agar sepi mendominasi. Hanya ada suara lirih kipas angin yang terpasang di plafon kamar, dan lalu lalang kendaraan yang tak cukup ramai di luar sana."Mau … menginap?" tanya si wanita ragu. Terlihat dari manik matanya, ia menyesali kalimat itu setelah mengucapkannya. Tak sampai satu hela nafas, wanita itu menekuk wajah merutuki kebodohannya sendiri.Pertanyaannya terlalu berani.Laki-laki yang memiliki warna rambut tembaga itu ta