"Dok—." Lara kembali ditahan ayahnya. Laki-laki itu tersenyum ramah, seakan sudah menebak apa yang terjadi. Terlihat dari interaksi dan tatapan mata, Lara yang melotot kesal ke arah Aksa, tidak mungkin keduanya hanya sebatas rekan kerja. Ayah Lara tidak sebodoh itu untuk menebak situasi. "Saya dr. Aksa Al-Fayaadh, saya sudah menjalin hubungan sebagai kekasih dengan Lara cukup lama. Maaf, jika kita bertemu dengan cara yang—, sedikit canggung. Tetapi saya senang, akhirnya bisa dipertemukan dengan Bapak." Ayah Lara merasakan kecanggungan yang sama, raut wajah laki-laki itu pun tak setenang sebelumnya. Di hadapannya, berdiri kekasih anak perempuan pertama, seorang laki-laki yang mungkin berniat mengambil wanita itu. "Saya juga senang bisa bertemu dengan dr. Aksa." "Panggil saya dengan nama saja, Pak. Nama saya Aksa, dan cukup panggil saya dengan nama itu." "Yaa, Mas Aksa." Lara duduk lemas di karpet, merutuki kesialan yang bertubi-tubi. Sepertinya, hidup semakin membawa al
Setelah sarapan yang lebih pantas disebut makan siang, Aksa mengantar mereka ke Taman Mini Indonesia Indah. Menghabiskan waktu cukup lama untuk antre, akhirnya mereka mendapat kesempatan naik kereta gantung. Ayah dan Lira naik bersama, sedang Lara dan Aksa naik di kereta lain yang berbeda. "Jangan ngambek dong, Yaank," mohon Aksa. Wanita itu selalu membuang muka ketika keduanya berpapasan. Lara dan Aksa duduk saling berhadapan, karena Lara beralasan supaya beban keretanya berimbang. "Dokter keterlaluan.” "Keterlaluan apa-nya?" "Dokter melibatkan Bapak, saya nggak suka," sentak Lara. "Lah bukannya sudah seharusnya kita melibatkan orangtua?" Aksa bertanya pelan, berusaha menekan nada kalimatnya serendah mungkin untuk tak kembali menyulut kemarahan Lara. "Saya tidak mau, bukankah saya sudah pernah jawab, ya?" "Raaa, sampai kapan kamu begini terus? Nggak capek, kah?" "Capek!" "Sama," sahut Aksa. "Sudahi drama-nya, ya? Kenapa juga harus ditutup-tutupi? Kamu cinta sama
Di sisi lain, Lara menerima pesan Bagas saat berada di toilet kantor. Setelah semalam hidungnya kembali mengeluarkan darah, pagi ini badannya banyak dipenuhi lebam. Lara memang kelelahan, sangat. Menikmati hari Sabtu dan Minggu bersama ayah, Lira dan Aksa. Sepanjang waktu yang menyenangkan membuat wanita itu lupa kondisi tubuhnya. "Kaak, besok aku mau ambil cuti ya." "Mendadak gini?" Lara mengangguk. "Maaf, ada kepentingan keluarga." Minggu malam, Pak Darmo dan Lira sudah kembali ke kampung, karena senin Lara sudah harus kembali bekerja. Beruntungnya Lara, Aksa menemani dan mengantar ayahnya sampai masuk ke dalam bis. Setelah bis yang ayah tumpangi mulai berjalan, Aksa mengantar Lara pulang. Teringat jelas di kepala Lara, saat laki-laki itu dengan tegas mengutarakan niatnya ingin menikahi Lara di depan Pak Darmo. Dan seperti tak mau mempersulit, ayah Lara langsung menerima lamaran Aksa. "Bapak ndak akan mempersulit, jika Lara mau, Bapak pasti setuju," jawab Bapak malam ke
"Dapat tanda tangannya?" tanya Dewi mencari tahu. Lara mengangguk pelan, lalu kembali bekerja meskipun suasana hatinya sedang kacau. Makan siang hari ini, Lara makan bersama Dewi, karena Aksa sedang ada meeting di luar ditemani Siska. Laki-laki itu sempat mengirim pesan agar Lara makan siang terlebih dahulu tanpa menunggunya. "Raa, lo kenapa?" tanya Dewi, menemukan Lara yang tiba-tiba bersender ke dinding setelah mereka pulang makan siang. Lara dan Dewi sudah kembali ke rumah sakit, masih ada di lobi menunggu lift karyawan yang akan membawa mereka ke lantai lima. "Lo makannya nggak habis tadi, jadi lemes kan?" Dewi khawatir, membantu memegangi bahu Lara karena wanita itu terlihat lemas dan kesakitan. Tangan Lara menekan kepala, sambil memejamkan kedua matanya erat-erat. Ada beberapa karyawan lain yang berniat membantu, tapi Lara menolak. Akhirnya, Dewi membawa wanita itu menjauh dari lift, lalu mendudukkan Lara di sofa yang ada di sana. "Kita ke IGD saja, ya? Biar diperi
Warna putih asap rokok mengepul,terlepas dari bibir laki-laki yang duduk di ujung ranjang. Tangan laki-laki itu bertumpu di paha, dengan satu kaki bersila. Di belakangnya, seorang wanita terjaga, bersandar di ujung ranjang sambil mengamati dalam diam gambaran siluet tubuh besar itu di tengah lampu temaram kamar.Isi otaknya berisik, menuntut perhatian.Keheningan malam menemani dua manusia berbeda kasta itu, saling mendiamkan padahal ratusan menit sebelumnya saling menyebut nama dalam geraman penuh dosa. Tidak ada yang berbicara, seakan keduanya memberi waktu agar sepi mendominasi. Hanya ada suara lirih kipas angin yang terpasang di plafon kamar, dan lalu lalang kendaraan yang tak cukup ramai di luar sana."Mau … menginap?" tanya si wanita ragu. Terlihat dari manik matanya, ia menyesali kalimat itu setelah mengucapkannya. Tak sampai satu hela nafas, wanita itu menekuk wajah merutuki kebodohannya sendiri.Pertanyaannya terlalu berani.Laki-laki yang memiliki warna rambut tembaga itu ta
"Lara! Berkas penilaian MUTU yang kemarin lo taroh mana, sih?!" Kak Siska, seketaris senior yang pagi ini sudah disibukan dengan beberapa laporan permintaan direksi ketika Lara baru saja datang.Hari ini, dia dijadwalkan masuk tanggung, jam sepuluh pagi, karena nanti ia dipersiapkan untuk menemani direksi yang hendak lembur. Persiapan akreditasi rumah sakit yang cukup menguras tenaga dan pikiran, disamping kehidupannya sendiri yang compang-camping tak karuan.Lara baru saja meletakan tas-nya di kursi ketika Kak Siska kembali mengeluarkan kalimat perintah. "Lo cari deh, di email rumah sakit, kalau nggak salah kemarin dikirim jam tujuh pagi, cetak ulang ya, terus taruh di meja dr. Aksa."Direksi rumah sakit Al Fayaadh terdiri dari lima orang, yang semuanya menjabat sebagai direktur. Untuk posisi kunci dipegang dr. Aksa sebagai direktur utama, dan dr. Alina, adik dr. Aksa sebagai direktur keuangan. Dari lima direksi, ada tiga seketaris yang ditempatkan di depan ruangan direksi untuk memb
Lara suka menari, menggerakan tubuh senada dengan irama musik jawa yang indah. Bermain dengan selendang panjang berwarna merah, menggerakan kepala dan tangan dengan senyum di bibir merah merona. Sejak kecil, Lara menyukai tari. Ketika tangan dan kakinya bergerak lembut seiring dengan suara gamelan jawa yang ditabuh ayahnya.Lara suka menari, tapi tidak suka ketika orang lain melihatnya menari. Dia suka menikmati alunan lagu dan tarinya seorang diri, atau hanya sekedar disaksikan keluarga dekat seperti ayah dan ibunya.Selain bekerja, Lara juga menjadi seorang pengajar tari suka-rela di salah satu sanggar dekat kos-kosan. Aktivitas yang sering ia habiskan di hari Minggu. Dia tidak suka pergi ke mall seperti teman-temannya, nongkrong atau belanja kebutuhan dasar wanita. Lara lebih suka menghabiskan hari Minggu-nya bersama adik-adik perempuan dan teman yang memiliki hobi yang sama. Seperti hari ini, sejak pukul dua belas siang, Lara sudah ada di sanggar."Kak Lara, coba ajarkan lagi gera
Adalah kesalahan, ketika kita menyimpan perasaan yang memang tidak seharusnya ada. Mengabaikan rasa, berharap hilang dengan sendirinya. Bukankah hal termudah untuk mematikan rasa adalah dengan tidak memupuknya? Lara melakukan itu. Membiasakan diri dengan rasa sakit hanya agar rasanya mati.Tapi terkadang, hati manusia berjalan tanpa kendali pemiliknya. Meskipun rasa sakit itu sudah terbiasa, Lara tetap merasakan getar hangat ketika tangan Aksa menyentuh kulitnya. Warna merah di tubuhnya masih tersisa, dan malam ini, laki-laki itu kembali memberi bekas yang sama.Satu tamparan keras Lara dapatkan di tubuhnya bagian belakang, tubuh bagian atasnya telungkup di atas ranjang, sedang kakinya menjuntai ke lantai marmer hotel yang dingin. Lara mengeratkan genggaman tangannya di selimut, saat dorongan dari belakang seakan ingin menghancurkan tubuhnya, mendesak masuk menuntut lebih.Udara dingin malam, tak mengurangi hawa panas di sekitarnya. Lara nyaris sesak, dalam geraman kuat yang coba dita