Warna putih asap rokok mengepul,terlepas dari bibir laki-laki yang duduk di ujung ranjang. Tangan laki-laki itu bertumpu di paha, dengan satu kaki bersila. Di belakangnya, seorang wanita terjaga, bersandar di ujung ranjang sambil mengamati dalam diam gambaran siluet tubuh besar itu di tengah lampu temaram kamar.Isi otaknya berisik, menuntut perhatian.Keheningan malam menemani dua manusia berbeda kasta itu, saling mendiamkan padahal ratusan menit sebelumnya saling menyebut nama dalam geraman penuh dosa. Tidak ada yang berbicara, seakan keduanya memberi waktu agar sepi mendominasi. Hanya ada suara lirih kipas angin yang terpasang di plafon kamar, dan lalu lalang kendaraan yang tak cukup ramai di luar sana."Mau … menginap?" tanya si wanita ragu. Terlihat dari manik matanya, ia menyesali kalimat itu setelah mengucapkannya. Tak sampai satu hela nafas, wanita itu menekuk wajah merutuki kebodohannya sendiri.Pertanyaannya terlalu berani.Laki-laki yang memiliki warna rambut tembaga itu ta
"Lara! Berkas penilaian MUTU yang kemarin lo taroh mana, sih?!" Kak Siska, seketaris senior yang pagi ini sudah disibukan dengan beberapa laporan permintaan direksi ketika Lara baru saja datang.Hari ini, dia dijadwalkan masuk tanggung, jam sepuluh pagi, karena nanti ia dipersiapkan untuk menemani direksi yang hendak lembur. Persiapan akreditasi rumah sakit yang cukup menguras tenaga dan pikiran, disamping kehidupannya sendiri yang compang-camping tak karuan.Lara baru saja meletakan tas-nya di kursi ketika Kak Siska kembali mengeluarkan kalimat perintah. "Lo cari deh, di email rumah sakit, kalau nggak salah kemarin dikirim jam tujuh pagi, cetak ulang ya, terus taruh di meja dr. Aksa."Direksi rumah sakit Al Fayaadh terdiri dari lima orang, yang semuanya menjabat sebagai direktur. Untuk posisi kunci dipegang dr. Aksa sebagai direktur utama, dan dr. Alina, adik dr. Aksa sebagai direktur keuangan. Dari lima direksi, ada tiga seketaris yang ditempatkan di depan ruangan direksi untuk memb
Lara suka menari, menggerakan tubuh senada dengan irama musik jawa yang indah. Bermain dengan selendang panjang berwarna merah, menggerakan kepala dan tangan dengan senyum di bibir merah merona. Sejak kecil, Lara menyukai tari. Ketika tangan dan kakinya bergerak lembut seiring dengan suara gamelan jawa yang ditabuh ayahnya.Lara suka menari, tapi tidak suka ketika orang lain melihatnya menari. Dia suka menikmati alunan lagu dan tarinya seorang diri, atau hanya sekedar disaksikan keluarga dekat seperti ayah dan ibunya.Selain bekerja, Lara juga menjadi seorang pengajar tari suka-rela di salah satu sanggar dekat kos-kosan. Aktivitas yang sering ia habiskan di hari Minggu. Dia tidak suka pergi ke mall seperti teman-temannya, nongkrong atau belanja kebutuhan dasar wanita. Lara lebih suka menghabiskan hari Minggu-nya bersama adik-adik perempuan dan teman yang memiliki hobi yang sama. Seperti hari ini, sejak pukul dua belas siang, Lara sudah ada di sanggar."Kak Lara, coba ajarkan lagi gera
Adalah kesalahan, ketika kita menyimpan perasaan yang memang tidak seharusnya ada. Mengabaikan rasa, berharap hilang dengan sendirinya. Bukankah hal termudah untuk mematikan rasa adalah dengan tidak memupuknya? Lara melakukan itu. Membiasakan diri dengan rasa sakit hanya agar rasanya mati.Tapi terkadang, hati manusia berjalan tanpa kendali pemiliknya. Meskipun rasa sakit itu sudah terbiasa, Lara tetap merasakan getar hangat ketika tangan Aksa menyentuh kulitnya. Warna merah di tubuhnya masih tersisa, dan malam ini, laki-laki itu kembali memberi bekas yang sama.Satu tamparan keras Lara dapatkan di tubuhnya bagian belakang, tubuh bagian atasnya telungkup di atas ranjang, sedang kakinya menjuntai ke lantai marmer hotel yang dingin. Lara mengeratkan genggaman tangannya di selimut, saat dorongan dari belakang seakan ingin menghancurkan tubuhnya, mendesak masuk menuntut lebih.Udara dingin malam, tak mengurangi hawa panas di sekitarnya. Lara nyaris sesak, dalam geraman kuat yang coba dita
Malam mulai sepi, suara motor lalu lalang mulai berkurang. Jarum jam dinding di kamar Lara menunjuk ke arah sepuluh, artinya, sudah hampir tiga jam Lara duduk di depan layar. Ada beberapa berkas yang perlu ia siapkan untuk rapat besok pagi, bukan karena tidak cinta tubuh sendiri, tapi memang karena tuntutan demi gajian setiap akhir bulan.Beberapa kali, notifikasi ponselnya berbunyi. Dari grup kantor, yang hanya berisi tiga seketaris direksi. Mereka menamai grup dengan 'trio kece', alasannya ... karena mereka bertiga merasa 'kece badai'. Lara cukup terhibur, setidaknya, bukan hanya dia yang lembur.Kak Dewi :Ada gosip, yang digosok semakin siip.Kak Siska :Waah, mantap nih. Informasi terpercaya, diukir dengan kredibilitas tinggi.Kak Dewi :Jelas, dooong.Kak Siska :Apaan tuh?Meskipun ketiganya lembur untuk hal berbeda. Kedua seniornya justru terlihat asik menggosip. Ketika bosan atau jenuh, Lara ikut membaca pesan mereka. Dia juga sedang berkirim pesan dengan Koko, laki-laki itu
"Akhirnya bertemu juga sama pangeran Al Fayaadh. Mau ketemu kamu, susahnya melebihi ketemu konsultan riset bergelar profesor lho, Sa." "Ngaco, kamu aja pulang ke Indo nggak kabar-kabar. Mungkin lupa, jadi ya ... gimana." "Nggak mungkin lupa sama sahabatku tertampan sejagad raya ini." "Haha, sini kasih aku pelukan." Sialnya, Lara mendengar guyonan keduanya yang hangat. Kenapa salah satu jobdesk seketaris itu harus menyiapkan dan membereskan sisa rapat? Mematikan proyektor, memanggil cleaning service, termasuk sekarang Lara sedang disibukan membersihkan white board. Dia terpaksa masih di sini, menjadi orang ketiga sekaligus kacang diantara pertemuan manis dua manusia yang sudah lama tidak bersua. "Aku kangen banget sama kamu, Sa." Suara lembut manja yang terdengar manis, disambut kekehan renyah dari laki-laki yang terbiasa bersikap sadis. "Kangenku sama banyaknya, kalau ditumpuk mungkin tingginya sudah melebihi gunung everest." Aksa tidak pernah terdengar sereceh ini di hadapan s
Manusia dianugerahi dengan rasa malu, namun terkadang, rasa itu bisa kita singkirkan. Dalam teori hirarki kehidupan manusia, puncak tertinggi kebutuhan yang utama adalah kebutuhan fisiologis termasuk oksigen, kesehatan, dan makan.Lara pernah berada di posisi yang harus dihadapkan dengan memangkas rasa malu, ketika ibu membutuhkan radioterapi mahal dengan segera, tindakan yang terpaksa harus dipilih demi bertahan hidup. Harta benda mereka tidak punya, sawah hanya tinggal sepetak yang digunakan untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Gaji yang sebagian Lara kirimkan setiap bulan pun tak cukup.Memberanikan diri, di masa kontrak pertama setelah tiga bulan masa percobaan, Lara mengajukan pinjaman sebesar lima puluh juta ke perusahaan. Tentu saja, tidak langsung di approve. Pinjaman di atas sepuluh juta harus atas persetujuan atasan sekelas Manajer. Karena Lara berada langsung di bawah direksi, ajuan pinjaman itu harus atas persetujuan direksi, yang waktu itu dengan dr. Aksa."Lima puluh ju
Wajah wanita di hadapannya tak banyak berubah, lebih cantik dari terakhir kali Aksa bertemu. Pipi merah alami, dengan bibir tipis yang dibubuhi lipstik berwarna pucat. Tetapi bukannya aneh, wajah ayu di hadapannya semakin indah dipandang. Malam ini, Aksa membawa Savira makan malam. Di sebuah hotel berbintang pusat kota Jakarta. Sebenarnya, Aksa ingin membawa Savi ke restaurant Jepang, tapi wanita itu menolak dengan alasan bosan. Mereka berakhir di sebuah rooftop hotel yang menampilkan lampu kelap kelip kota Jakarta dari ketinggian. Ditemani angin yang berhembus menerbangkan anakan rambut Savi yang tak masuk ke dalam gelungan kecil di belakang kepalanya. Wanita itu tampil cantik dengan dress off shoulder yang elegan berwarna hitam. "Kamu sama sekali tidak terlihat berubah, Sav," ucap Aksa, sambil menarik kursi dan mempersilahkan Savi duduk. Terakhir kali mereka bertemu, keduanya baru menyelesaikan studi kedokteran umum, setelah proses internship yang cukup memakan waktu dan tenaga.