Lara mengambil nafas panjang, lalu melepaskan pelan-pelan. Cara itu pernah diajarkan ibunya, waktu kita cemas ataupun sedang menghadapi masalah berat. "Sudah, saya siap," ucap Lara setelah mengambil cukup waktu untuk dirinya sendiri. Bagas meminta Lara untuk tidur miring, membelakangi Bagas dan satu asistennya, sedang asisten lain sedang memantau tanda-tanda vital dan mempersiapkan beberapa alat yang diminta. Rasanya dingin, saat Bagas membuka penutup tubuh Lara bagian belakang, dan lebih dingin lagi sewaktu laki-laki itu mengoleskan cairan antiseptik di sekitar lokasi yang akan dimasukan jarum. "Bagaimana kabarmu?" tanya Bagas, mencoba mengalihkan perhatian Lara yang tegang. "Tidak cukup baik." "Aksa, apa laki-laki itu tau apa yang sedang kamu lakukan di sini?" "Tidak." Lara menunggu dengan detak jantung berdebar cemas. Jari Bagas yang sudah mengenakan sarung tangan steril sedang mencari letak lokasi yang dituju, menekan pelan punggung Lara di beberapa sisi. "Kenapa k
"Ayo, sepertinya kamu sudah pulih. Kita pulang, kamu mau makan apa?" putus Bagas, tidak ingin membuat Lara semakin bersedih. "Eh by the way, kamu belum menepati janji." "Janji apa?" tanya Lara bingung. "Nonton bioskop. Sekarang, aku mau kita nonton sekarang juga." Senyum di wajah Lara kembali terbit, wanita itu dipersilahkan berganti pakaian dan pulang bersama Bagas. Sudah tahu, kan? Bagas adalah laki-laki pemaksa, laki-laki itu pintar sekali menekan Lara hingga wanita itu akhirnya mengiyakan permintaan Bagas untuk mentraktir nonton bioskop. Keduanya seakan menjelma menjadi dua remaja yang sedang menghabiskan weekend bersama. Lara dan Bagas makan di mall, nonton lalu menyempatkan berbelok ke tempat bermain. Tenang, Lara hanya duduk di kursi buaya sambil melihat atraksi Bagas, karena masih ada kemungkinan nyeri di bekas tindakan. Bagas yang lebih banyak bermain, dan Lara menonton sambil sesekali bertepuk tangan ketika Bagas berhasil menaklukkan permainan. Hingga malam menjela
Aksa mengeram pelan, menekan ujung mata lebih kuat ketika rasa pusing di kepalanya tak kunjung mereda. Hari ini, dia sudah menghabiskan tiga cangkir kopi, seharusnya kafein dengan mudah mengurangi rasa sakit seperti biasa, tetapi sore ini, cairan pekat hitam itu sama sekali tidak berdampak. Aksa masih merasakan denyutan di ujung kepala. Bunyi pintu terbuka, Aksa menyiapkan diri untuk rasa sakit selanjutnya. "Mas dicari Mama." Alina masuk ke ruangan Aksa, suara wanita itu dingin, tidak manja seperti biasanya sikap Alina pada Aksa. Aksa yang sedang membelakangi pintu, memutar tubuh lalu matanya menemukan sosok adik beda ayah yang kini sedang mengunci tatapan ke arahnya. Aksa kembali menarik nafas dalam, belum sempat melepas ketegangan ketika suara Alina kembali terdengar menampar. "Mas mau melarikan diri lagi? Kemarin masalah Papa, Mas lari, masalah Lara, Mas juga mau lari juga?!" "Lin ..." "Apa?!" tanya Alina bernada lebih tinggi dari sebelumnya. "Kamu sedang hamil," ucap
Seperti yang diprediksi, Aksa terlambat saat acara makan malam. Pertemuannya dengan teman lama itu cukup menyita waktu, tetapi Aksa bersyukur dia masih bisa sampai sebelum jam menunjuk pukul delapan malam. "Maaf telat," ucap Aksa mengakui kesalahan. Hal pertama yang ia temukan adalah pemandangan menyesakan. Asad datang bersama dengan keluarga kedua laki-laki itu, ada Bu Lastri dan anak perempuan Asad bernama Prita. Senyum yang terpasang palsu tak cukup membuat hati Aksa membaik, laki-laki itu hanya bisa menutupi kesedihannya dengan melihat ke arah Alina yang berwajah kesal. "Habis darimana, Mas?" tanya Asad. Laki-laki itu duduk di meja utama dengan Halimah dan Lastri duduk di samping kanan dan kiri. Aksa duduk di ujung lain berseberangan dengan tempat duduk Asad, di meja oval yang cukup besar ruang makan keluarga Al-Fayaadh. "Habis ketemu sama Bramantya, Pa." "Oh, bahas kerjasama yang kemarin itu?” "Iya." Saat mata Aksa menemukan Halimah, wanita itu tak cukup bisa menutu
Tetapi, ia kembali dipatahkan oleh keadaan. Setelah menunggu cukup lama di pelataran kos Lara, laki-laki itu justru menemukan Lara yang kembali diantar pulang oleh seorang laki-laki yang Aksa kenali. Mobil yang sama, dan orang yang sama. "Darimana?" tanya Aksa, nada bicaranya dingin melebihi udara malam ini. Tidak mendengar jawaban, Aksa kembali bertanya, "Dengan siapa?" Pertanyaan retoris, karena sejujurnya Aksa tidak butuh jawaban. Pertanyaan yang terdengar sialan, karena Lara tidak berkewajiban menjelaskan kemana dan bersama siapa wanita itu pergi. Menyadari hal itu, Aksa justru kesal sendiri. Bibirnya terangkat naik sambil berkedut, sedang manik matanya tetap mengunci ke arah wanita yang mengenakan cardigan tebal malam ini. "Jadi ini, alasanmu mengambil cuti mendadak hari ini?" tanya Aksa lagi, meskipun pertanyaan sebelum-sebelumnya sama sekali belum terjawab. Lara hanya menunduk, entah sengaja mengabaikan, atau hanya ingin menghindari sorot tajam mata Aksa. Seandainya d
Malam semakin larut, sebagai pekerja yang tetap harus menyodorkan keberadaan di kantor tepat waktu, Lara bukannya istirahat, justru kembali menemani Aksa mencari tempat makan terdekat. Salahnya memang, mencari alasan absurd untuk menahan Aksa agar tidak pulang dalam keadaan marah. Dan yang ada di kepalanya hanyalah makan, padahal dia sendiri perutnya sudah kenyang. "Mau makan di mana?" tanya Aksa di tengah perjalanan. Mereka baru ke luar lima puluh meter dari kos Lara. "Raa ..." "Kita ke tempat makan cepat saji saja, dok. Dekat lampu merah yang mau arah ke kos." "Oke." Tempat makan cepat saji penuh dengan anak muda. Ada yang sedang makan, atau hanya menghabiskan waktu malam bersama teman atau pun pacar. Aksa memilih meja yang ada di luar ruangan, duduk menunggu Lara yang ingin memesan makanan sendiri. Satu alis Aksa diangkat naik, menemukan Lara yang membawa dua kentang goreng dan dua air mineral. "Bukannya mau makan?" "Saya sedang diet." "Apa yang kamu dietkan? Sedang
"Lara kangen sama Bapak." Dalam hening pagi, suara lirih lamat-lamat terdengar. Matahari masih bersembunyi dalam gelap, enggan memunculkan diri dan memulai hari. Lara berbaring di ranjang, di balik selimut tebal bermotif hello kitty. Satu tangannya menggenggam ponsel yang diarahkan ke telinga. "Bapak juga kangen toh. Lira sebentar lagi ulang tahun, Mbak Lara nggak mau pulang?" Rindu dengan keluarga menuntut temu, Lara sempat ingin kembali pulang, tetapi ia sadar, jatah cuti dari kantor sudah berkurang saat ibu meninggal, dan satu hari sudah terpakai ketika ia melakukan pemeriksaan sumsum tulang belakang. "Mbak sudah ambil cuti banyak, Pak. Harus dihemat, biar bisa pulang lagi nanti, atau kalau misal ada keperluan mendadak." Lara dan ayahnya masih saling mendiamkan, merangkai cara untuk bisa kembali bersua. Tatapan mata kosong ke arah atap, dalam temaramnya pagi, Lara menaikan selimut sampai leher saat dingin semakin menyusup. "Atau ... kalau Bapak mau, Bapak sama Lira ke Jakar
Pertama kali masuk, Lara menemukan Aksa yang sudah duduk di sofa tengah ruang kerjanya. Laki-laki itu terlihat sibuk dengan ponsel dalam genggaman. "Berkas yang saya minta sudah ada, Ra?" tanya Aksa, tanpa melihat ke arah pintu masuk. "Sudah, dok. Ini." Lara meletakan dua bendel kertas yang tadi baru saja dicetak. "Ini yang laporan bulan ini, yang satu untuk rekap satu tahun." "Oke, siapin data excel di laptop, nanti waktu rapat kita paparkan." "Baik, dok." Tidak ada yang salah dengan rapat siang ini, Aksa memimpin pertemuan seperti biasa, memberikan arahan dan alternatif solusi yang bisa diambil. Rapat pun berjalan lancar, hingga suara dering ponsel Lara menarik perhatian laki-laki yang sedang mendengarkan penjelasan salah satu staff legal. Ponsel yang terletak di meja dalam posisi layar menghadap ke atas itu menampilkan nama 'Bagas' yang sedang memanggil. Lara buru-buru mengambil ponsel dan memasukan ke saku, tetapi tatapan mata tajam Aksa menandakan jika laki-laki itu sud
Mata Aksa terpejam mendengar kalimat Lara, menyusup ngilu yang pelan-pelan menjalar dari dada ke ujung syaraf nadi di seluruh tubuhnya. Rasa yang berusaha ditekan, justru kembali diungkit di bawah langit jingga sore yang seharusnya romantis. "Dok ..." panggil Lara sekali lagi. "Permintaanmu terlalu sulit, Lara." "Cuma satu." "Tapi itu adalah hal tersulit untuk kukabulkan." Wajah Aksa memias, sudut matanya berkerut menahan sesak. Laki-laki itu memalingkan muka, mengalihkan perhatian dari Lara, ketika saat ini wanita itu berubah menjadi sosok yang menyakiti. "Aku tidak bisa." "Dan dokter baru saja berjanji untuk mengabulkan permintaanku." Aksa mengisi kekosongan dada dengan oksigen sebanyak mungkin, mengurai gelisah, menekan rasa sedih yang datang. Adalah hal yang paling ia takuti, kehilangan istrinya. Seorang wanita yang arti kehadirannya terlalu besar, bahkan hanya sekedar membayangkan kehidupannya tanpa Lara pun Aksa tak bisa. "Aku akan selalu mencintaimu," ucapnya li
Two years later Seorang wanita dan laki-laki duduk memandang hamparan laut berwarna biru, di bawah langit yang indah, di bibir pantai. Kedua tangan mereka saling menggenggam, si wanita duduk di atas kursi roda, sedang si laki-laki duduk beralaskan pasir pantai yang putih. Tubuh si laki-laki basah, bertelanjang dada dengan pasir yang menempel di beberapa bagian tubuh laki-laki itu. Senyum terpatri di kedua wajah yang tidak menatap ke arah sama, pandangan si wanita mengunci ke arah laki-laki di sampingnya, sedang laki-laki itu justru mematri netranya ke arah ombak kecil-kecil yang menggulung di bibir pantai. "Aku menemukan dua pemandangan terindahku sore ini," sela si wanita, menarik perhatian laki-laki di sebelahnya. Tersenyum tipis, Aksa mengalihkan perhatian dari pantai ke istrinya yang sedang menatap ke arahnya. "Apa itu? Aku ingin tau." "Pantai dan kamu." Rayuan amatir yang terdengar basi, tetapi sukses membuat laki-lakinya melengkungkan bibir, tersenyum malu-malu. Laki
Dua hari setelah menikah, Lara diperbolehkan pulang. Bagas yang baru saja mengecek kondisi Lara sudah cukup yakin wanita itu layak dipulangkan, dengan beberapa terapi terjadwal yang nantinya harus dipatuhi wanita itu. "By the way, selamat atas pernikahan kalian berdua," ucap Bagas ditengah kunjungannya. "Thank's." "Kalian berdua—, terlihat serasi bersama," tambah laki-laki itu lagi, kalimat yang justru terdengar janggal diucapkan seorang Bagas Ganendra. "Gue cabut dulu, masih ada beberapa pasien yang butuh divisit." Bagas langsung meninggalkan ruang rawat inap Lara, tetapi Aksa mengejar lalu menahan laki-laki itu di depan pintu luar ruang rawat inap. "Kenapa?" tanya Bagas, menemukan Aksa yang tiba-tiba menghentikan langkahnya. "Ada yang mau gue tanyain." "Lara sudah baik, bisa beraktivitas seperti biasa," jawab Bagas, bahkan saat Aksa belum menyampaikan pertanyaannya. "Aktivitas seperti biasa, kalau—, buat 'itu' boleh kan, Gas?" tanya Aksa ragu, jujur saja dia khawatir
Lara kembali mengeratkan pelukan, menggelengkan kepala berkali-kali menolak kalimat yang terucap dari bibir laki-laki itu. Ayah tidak menjaga Lara, karena fokus dengan penyembuhan ibu, dan Lara sebagai anak perempuan memang harus bisa menggantikan posisi ayahnya menjaga Lira. "Maafkan, Lara ya, Pak. Lara justru jauh, ndak bisa jaga Bapak yang sudah sepuh. Membebankan masa muda Lira untuk ikut menjaga ibu." Tak lagi ada yang bisa menahan, tangis keduanya lepas di tengah malam diantara sepi yang menyengat. Ayah dan anak tengah berjuang melawan kesedihan masing-masing. Keesokan pagi, Lara bangun dengan suasana yang berbeda. Beberapa kursi tambahan sudah disiapkan, ada hiasan bunga asli yang terpajang menghiasi ruang rawat inap Lara. "Hey, kamu tidurnya lelap banget, Yank. Aku nggak tega mau bangunin," sapa Aksa, di sela usaha Lara mendudukan tubuh. Wanita itu masih bingung menatap sekitar, ada beberapa orang yang ia kenal sedang berkumpul di ruang rawat inapnya. "Nggak usah d
"Kenapa Bapak—, melihat Lara seperti itu?" tanya Lara pelan. Matanya yang hendak terpejam kembali terbuka lebar. Lara yang terbangun di sela tidur lelapnya menemukan ayah-nya yang masih terjaga, duduk di kursi penunggu di samping ranjang, menatap Lara tanpa sedikitpun kantuk datang. "Pak ..." "Anak Bapak ayu," puji Pak Darmo. Lara berdecak, tersenyum tipis sambil mengalihkan perhatian. "Anak Bapak ayu, luwes, dan ... apa lagi ya? Bingung Bapak." Laki-laki paruh baya itu tersenyum hambar, bibirnya terangkat naik tetapi berbanding terbalik dengan matanya yang justru meloloskan air mata. "Bapak bangga—, punya anak seperti Lara." "Yaa, namanya anak sendiri, pasti selalu dipuji kan, Pak?" Lara pun sama, matanya membasah, padahal topik utama pembahasan keduanya malam ini sama sekali bukan tentang kesedihan. Sore tadi, ayah Lara sampai di Jakarta dan langsung ke rumah sakit. Laki-laki itu ke datang bersama Lira dan Pakdhe Ratno yang akan menjadi saksi pernikahan. Menemukan Lara
Malam semakin larut, Aksa juga butuh istirahat agar esok tenaganya kembali utuh. Sebelum beranjak pergi, Aksa sempat merasakan gerak tangan Lara yang tiba-tiba. Laki-laki itu menahan langkah, memusatkan perhatiannya ke arah jari Lara yang kali ini masih tak berubah posisi. Cukup lama Aksa diam berdiri kaku, lalu menyerah saat merasa bahwa apa yang baru saja ia lihat hanyalah ilusi. "Aku butuh tidur," gumam Aksa. Laki-laki itu terlampau lelah, dan terlalu berharap banyak Lara segera sadar. Aksa sering bermimpi wanita itu kembali berada di sisinya, mengerucut sebal ke arahnya. Demi Tuhan, menemukan wajah cemberut Lara lebih indah daripada melihat wanita itu yang terbujur lemas tak sadarkan diri. Di ruang suite rawat inap, ada satu ranjang penunggu yang setiap hari Aksa gunakan untuk tidur. Laki-laki itu baru saja menyiapkan selimut sebelum tiba-tiba suara lirih kembali menarik perhatian laki-laki itu ke tengah ruangan. "Bu ..." Suara lirih Lara memanggil ibunya. Aksa berjal
Aku menciptakan objek yang bisa kubenci, kujadikan tempat untuk meluapkan keputusasaan. Aku butuh tempat untuk melepas semua kekecewaanku pada takdir, tetapi tanpa sadar, justru dia-lah tempatku menemukan kehidupan. Seandainya penyesalan bisa mengembalikan waktu, aku pasti banyak-banyak merayu Tuhan untuk kembali membawaku di pertemuan pertama. Tetapi sayang, penyesalan ini sama sekali tidak berarti. Aku menyerah, di penghujung waktu yang sudah berbatas. *** "Bagaimana kabar, Lara?" Seorang wanita paruh baya berdiri di belakang Aksa. "Lara baik, Lara kuat, Ma." Satu tangan wanita itu terulur ke bahu Aksa, menyalurkan kehangatan memberi kekuatan. Wanita itu sadar, apa yang sedang dialami anak laki-lakinya saat ini tidak-lah mudah. Jatuh cinta, lalu kembali diuji setelah bersama. "Mama selalu berdoa yang terbaik untuk Lara." Aksa tersenyum masam, senyum yang digunakan hanya sebatas untuk menjaga kesopanan. Senyum yang tidak benar-benar ada, karena perasaannya sudah dipenuh
"Lo bohong kan, Gas? Katakan kalau apa yang lo ucapin itu cuma omong kosong," mohon Aksa, tapi Bagas hanya diam. "Lebih baik, gue tau lo deket sama Lara sebagai seorang laki-laki dan perempuan, ketimbang tau kalian dekat karena Lara sebagai pasien dan lo sebagai dokter-nya." Kalimat itu diucapkan dengan bibir bergetar, ada ketakutan yang kentara di setiap kalimat yang keluar dari bibir Aksa. "Sorry, Sa. Gue mengatakan apa yang benar-benar terjadi," tambah laki-laki itu pasti. Dada Aksa sesak, tubuhnya yang kuat sama sekali tak bisa menopang dirinya sendiri. Laki-laki itu kembali mendudukan tubuhnya di kursi penunggu, membelakangi Bagas yang masih terpaku. Cukup lama mata laki-laki itu terpejam kuat, disaat kesedihan terlalu sulit ditekan. Selama ini, Aksa merasa dia-lah satu-satunya laki-laki yang paling mengenal Lara, nyatanya tidak. Dia sama sekali tidak mengenal wanita itu, atau mungkin? Dia adalah satu-satunya orang yang tidak dilibatkan dalam masalah yang sedang Lara hada
Tiga hal yang paling ditakuti dalam hidup; rasa sakit, kematian dan kehilangan. Namun, tiga hal itu yang paling banyak ditemui dalam lembaran cerita manusia, tentang rasa sakit dan saling menyakiti, tentang lahir lalu mati, dan— tentang menemukan lalu kehilangan. Tidak ada cara untuk menghindar, kapanpun dan dengan cara bagaimana. Semua berporos pada takdir Tuhan yang terikat di setiap manusia yang lahir dan bernafas di dunia. Di sebuah ruangan putih luas dengan properti mewah yang sama sekali tidak mengurangi ketegangan di dalamnya. Kesedihan teramat mendominasi, dibalut dalam gelapnya malam yang semakin menyengat sepi. Aksa masih bertahan, duduk di kursi penunggu samping bed perawatan Lara, sudah lebih dari dua puluh empat jam wanita itu tidak sadarkan diri, sudah dua kolf transfusi darah yang masuk ke dalam tubuh wanita itu, tetapi Lara tak kunjung membuka mata, masih setia beristirahat dalam tidurnya yang lelap. Selama satu hari yang sama, Aksa tidak meninggalkan kamar rawa