Bekerja, dan rutinitas harian yang banyak menghabiskan waktu. Hampir sepertiga lama bumi berputar dalam sehari dihabiskan bersama layar komputer. Demi mendapatkan uang dengan nominal yang jelas di setiap akhir bulan, demi bisa memastikan bisa makan dalam satu bulan ke depan. Budak corporate, itu-lah gelar yang Lara dapatkan. Jari-jemari Lara masih setia menari di atas keyboard, menyelesaikan pekerjaan sebagai seketaris direksi Al-Fayaadh. Siska masuk rawat inap karena sakit demam berdarah, penyakit yang sering menjadi wabah ketika musim hujan. Absennya Siska menegaskan keberadaan Lara di meja ini mungkin akan sedikit lebih panjang dari permintaan Dewi sebelumnya. "Mau makan siang di mana, Ra?" Pertanyaan ketiga Dewi hari ini. Load pekerjaan direksi tidak setinggi biasa, yang akan berbanding lurus dengan pekerjaan seketaris direksi. Beberapa meeting sudah digelar tadi pagi, berkas yang membutuhkan tanda tangan sudah disiapkan sejak kemarin. Keduanya memiliki sedikit waktu lebih p
Aksa menyapu bibirnya di kulit leher Lara yang terbuka, tanpa benar-benar melekat, hanya bergerak seringan kapas menyusuri tempat favorit yang sudah lama tak terjamah. Kedua matanya terpejam, menikmati aroma tubuh Lara yang melewati indra penciuman. Sapuan lembut itu berefek di sekujur tubuh Lara, meremangkan syaraf dan nadi primitif wanita itu. “Dok—." Lara mendorong tubuh Aksa, tetapi dengan mudah laki-laki itu kembali menahan wanita yang sudah terlanjur tersudut di ujung meja pantry. "Aku terbiasa memaksa, Laraa. Jangan memancing diriku yang sebenarnya." "Tapi ..." "Tapi apa?" tanya Aksa dalam geraman. "Saya—, lapar." Manik mata hazel itu terbuka, mendesah frustasi lalu kembali memperlebar jarak meskipun tidak benar-benar melepaskan wanita dalam kungkungannya. "Kamu mau makan apa?" "Nasi padang," jawab Lara. Makanan asal yang ada di dalam kepala. "Mau makan di luar?" Lara bergegas memberi gelengan. "Saya mau makan bareng Kak Dewi, sudah janjian. Kopi dokter juga s
Sepanjang siang sampai jam akhir shift tiba, Lara mengunci bibir, bicara hanya perlu dan banyak bekerja dengan tangan dan otak. Rasa di hati Lara sedang bergemuruh hebat, mengingat kejadian siang tadi yang memalukan. Di saat Aksa sedang merecoki makan siang dengan tingkah absurd yang—, sangat bukan Aksa. Dua wanita mengamati dalam diam, seakan menikmati pertunjukan dengan Aksa dan Lara sebagai peran utama. "Mama, Alina. Sejak kapan di sini?" Yaa, benar. Ada Bu Halimah dan dr. Alina yang tanpa sengaja sedang menikmati waktu bersama, di rumah makan padang yang Lara sebut secara abstrak. "Sejak tadi," jawab Bu Halimah, sedang dr. Alina berjalan mendekat sambil memegangi perut yang mulai buncit. Kedua mata wanita itu tentu tidak bisa terlihat biasa saja, mengamati Lara dari ujung kepala sampai ke atas meja. Bahkan mungkin jarak yang cukup dekat diantara Aksa dan Lara di sofa yang sama sudah bisa menimbulkan sebuah pertanyaan besar di kepala dua wanita itu. "Kalian—, habis ada
Lara tak menjawab, memutuskan untuk melanjutkan pekerjaan. Menarik dari hari-hari yang Lara lalui, dengan kepastian tinggi Lara akan memasukan hari ini ke dalam salah satu list hari terburuk yang pernah ia lalui. Dan salah satu dari alasan kesialannya sore ini berdiri di halaman kos Lara, di bawah langit jingga yang mulai beranjak gelap, di atas tanah basah bekas hujan yang baru saja turun deras. "Maaf, saya dapat alamatmu dari kantor, apa saya ganggu jam istirahat kamu, Lara?" Wanita berusia tak lagi muda yang datang bersama sopir, berdiri dalam balutan dress mahal panjang sampai lutut. Satu tas bermerk terkenal menggantung di tangan wanita itu, tas yang tidak akan pernah terbeli meskipun Lara menabung uang gaji tanpa makan dan minum setiap bulan. "Tidak, Bu. Apa ada yang bisa saya bantu?" tawar Lara. Senyum wanita itu mengembang, menjanjikan malam yang panjang. Lara dibawa ke sebuah restaurant pusat kota Jakarta. Restaurant yang menyajikan makanan jepang sebagai menu utama
Makanan yang mereka pesan datang, bersamaan dengan kalimat yang baru saja Bu Halimah sampaikan selesai. Baik Lara dan Bu Halimah tidak sedikitpun menyentuh sendok dan garpu, mereka berdua hanya membiarkan makanan dan minuman itu tersaji rapi di meja. Keduanya lebih tertarik dengan pembahasan tentang Aksa dibanding mie ramen dan segelas teh ocha. "Apa yang Ibu lihat tidak sepenuhnya benar, kami—, hanya dekat karena sering bekerja bersama," kilah Lara. Senyum Halimah mengembang, satu ujung bibirnya naik, menyangsikan kalimat yang baru saja Lara sampaikan. "Saya—, tidak akan marah, kalau itu yang kamu khawatirkan,” jelas wanita itu tanpa menekan. Ini bukan tentang respon wanita di hadapan Lara, tetapi tentang fakta bahwa memang tidak ada hubungan apa-apa antara dia dan Aksa. "Saya justru senang, jika Aksa sudah bisa merasakan jatuh cinta." Kalimat yang sempat menahan kalimat Lara di ujung lidah. Wanita itu kembali menelan sanggahan yang sudah ia rangkai di kepala, membiarkan
Lara mengekor di belakang Aksa, dengan kedua tangan saling menggenggam erat. Melewati beberapa pengunjung lain di restaurant ini yang menatap penuh selidik. Wajah Aksa sama sekali tidak bersahabat, sedang Lara yang sudah lelah dengan pekerjaan dan drama berwajah datar mengikuti kemana langkah Aksa membawa dirinya. Mereka berhenti ketika sampai di mobil, Aksa membuka pintu penumpang lalu memaksa Lara masuk tanpa penolakan dari wanita itu. Aksa duduk di kursi pengemudi, menelisik ke tubuh Lara yang kurus dan baju yang sedikit basah setelah melewati hujan. Laki-laki itu melepas coat tebal miliknya, lalu menyelimuti tubuh Lara dengan pakaian hangat itu. Sama sekali tak ada percakapan, Aksa langsung menginjak gas dan mobil berjalan ke luar area restaurant. Sepanjang perjalanan yang hening, karena baik Lara dan Aksa sama sekali tidak bersuara. Hujan turun deras di luar sana, semakin menambah hawa dingin di sekitar. Mobil Aksa berhenti di sebuah taman, taman yang sepi pengunjung karen
Aksa tersenyum miris, laki-laki itu menutupi denyut bibir menahan sesak. Aksa kembali menjatuhkan punggungnya ke kursi mobil, mengambil jarak selebar mungkin untuk menghindari rasa sakit yang lebih kuat. Wanita di samping Aksa, adalah satu-satunya sumber kesakitan laki-laki itu saat ini. "Ini menyakitkan, Lara," ucap Aksa, kalimat yang terlalu sulit diutarakan. "Kamu berhasil membuatku hancur berantakan." "Dulu saya menerima rasa sakit yang sama, sekarang—, giliran dr. Aksa melakukan hal yang sama." Lara mengucapkan kalimat itu dengan pasti, mengabaikan rasa sakit Aksa yang sedang laki-laki itu nikmati seorang diri. "Sekarang, antar saya pulang ke kos, dok. Saya butuh istirahat." Mengusir perih yang datang begitu cepat, Aksa menarik nafas panjang berkali-kali sebelum akhirnya bisa menetralkan rasa. Ia kembali menjalankan mobil, mengantar Lara tanpa kembali berniat menahan. "Terima kasih," ucap Lara, wanita itu melepas coat milik Aksa, meletakannya di kursi belakang. Mobil
"Selamat pagi," sapa Lara. Ada dr. Alina yang mengekor di belakang Aksa. Tatapan wanita itu tentu tidak bisa biasa, dr. Alina menyipitkan ujung mata menelisik ke arah Lara. Seperti ditelanjangi, Lara menundukkan pandangan. "Kaku banget, yak," celetuk Dewi di samping Lara. Kedua direksi sudah masuk ke ruangan masing-masing. "Mau gue apa lo yang ke ruang dr. Aksa?" "Kakak aja," jawab Lara. Meskipun akan kembali menimbulkan prasangka, tetapi keputusan terbaiknya pagi ini adalah menghindari Aksa. Meskipun pilihan itu sama saja tak mengenakan, karena lepas dari Aksa, Lara akan dihadapkan dengan dr. Alina. "Oke, gue masuk dulu." Lara mempersilahkan, lalu mulai mempersiapkan schedule dr. Alina hari ini. Sebelum benar-benar melangkah, Lara sempat berdoa dan menghembuskan nafas beberapa kali. Bagaimanapun, hari ini tetap harus dilewati. Baik atau buruk, itu sudah menjadi takdir Tuhan. Lara masuk tanpa mengetuk pintu, langsung berjalan menuju mini pantry. Sudah ada jus jambu yang