Senyuman di wajah Aksa terlihat dipaksa, laki-laki itu kembali menyesap rokoknya. Ingatannya ditarik ke dua hari yang lalu, ketika Savira menghubunginya melalui panggilan telepon, mengutarakan keinginanya yang tiba-tiba. "Aku ingin pertunangan ini tidak dilanjutkan,” kata Savira. "Yaa." Dan hanya satu jawaban itu yang Aksa berikan. Setelah itu, Aksa sama sekali belum bertemu Savira. "Terima kasih karena mau datang ke rumah Papa," ucap Asad, saat menemukan sorot mata frustasi di wajah anak laki-lakinya. Asad ikut membakar satu batang rokok, menyesapnya cepat lalu membuang asap-nya ke atas. Aksa tak menjawab, matanya menatap Asad ragu. "Papa tidak merokok," ejek Aksa. Laki-laki itu terkekeh ringan. "Nggak apa-apa, Papa pernah merokok dulu waktu muda, nggak candu, tapi yaa ... cuma untuk nemenin teman-teman yang suka nongkrong sambil rokok-an." Mendung sejak tadi bertahan, hingga akhirnya pelan-pelan gerimis turun membasahi tanah, menciptakan aroma khas menenangkan yang Aks
Getar di dadanya terasa jelas, Aksa menahan letupan yang semakin lama justru semakin bertambah hebat. "Apa—, apa Papa akan meninggalkan Mama?" "Tidak, jika bukan mamamu sendiri yang meminta." Rentetan perjalanan panjang bisa merubah sudut mana yang ingin dilihat. Kotak, tak lagi sebuah persegi yang sama sisi. Lingkaran, bukan lagi garis melingkar yang saling bertemu. Salah dan benar bukan lagi hal yang pasti. Aksa melapangkan dada, menerima hal-hal yang memang tidak tertulis atas namanya. "Terima kasih, lain kali kamu bisa mampir ke sini lagi." Tawaran papanya tak mungkin semudah itu untuk disetujui, meskipun entah bagaimana perasaan mamanya saat ini, bagaimanapun Aksa tetap harus menjaga hati itu. "Terima kasih. Aksa pulang dulu." Berpamitan secukupnya, Aksa membawa mobilnya membelah jalanan kota Jakarta. Setelah memberanikan diri menginjakan kakinya ke rumah itu, menciptakan sesuatu yang baru pada diri Aksa. Dia masih sakit, iya. Aksa bahkan sesekali masih harus mengusir n
Seringai tipis justru terlihat menyayat. "Apa kamu pikir mudah untukku datang ke tempat ini? Hah?!" "Aku berusaha mengeluarkanmu dari isi kepalaku. Tapi aku tidak bisa! Aku terus memikirkanmu sampai aku nyaris mati karena pikiranku sendiri. Aku marah karena aku sadar ..." Aksa memenggal kalimatnya, menarik nafas dalam sebelum akhirnya kembali melanjutkan. "Aku sadar sudah menelan ludahku sendiri karena menginginkanmu selalu ada di dalam hidupku." Kali ini, Aksa tak lagi kuasa menahan, wajahnya kembali mengikis jarak, menyatukan bibir yang sejak tadi menjadi pusat perhatian. Meskipun Lara menolak, Aksa tetap berusaha mengejar kemanapun wajah Lara berpaling. Dia harus mendapatkan Lara malam ini. "Lepas—kan, saya!" tolak Lara. Tangannya mendorong dada Aksa. Suara tamparan di pipi terdengar nyaring, wajah Aksa berpaling dan terlihat merah di satu sisi. Suasana menjadi hening, keduanya membeku. Hanya ada suara nafas yang saling memacu. Cukup lama Aksa membiarkan rasa perih dan
Aksa mengingat pesan dari kakeknya, perintis bisnis keluarga Al-Fayaadh, laki-laki pertama yang membawa nama Al-Fayaadh dikenal di dunia kesehatan. Isi pesannya; jadilah laki-laki yang bertanggung jawab, yang berani mengakui kesalahan. Salah itu pembelajaran, tetapi pulang dengan tetap menjadi ksatria itu pilihan. Satu persatu, Aksa mengurai masalah. Sore nanti Aksa ada janji temu dengan Savira, sebuah janji yang akhirnya dibuat demi memberi kejelasan diantara mereka berdua. Tetapi sebelum menemui Savira, Aksa menyempatkan mampir ke rumah Halimah, menemani wanita itu sarapan. Mama masak soto daging kesukaanmu. Pesan yang dikirim mamanya pagi tadi. Tidak perlu berfikir dua kali, Aksa mengiyakan di detik pertama pesan itu diterima. "Aroma soto sampai depan rumah, pasti enak," puji Aksa saat masuk ke dalam rumah. Ia menemukan Halimah yang sedang menyiapkan makanan di meja makan. Satu panci berisi kuah yang masih mengepulkan asap panas. "Alina jadi ke sini, Ma?" tanyanya, mencomot te
Dan sore ini, Aksa kembali menegaskan kehidupannya sendiri. Memberanikan diri datang langsung ke rumah Savira, bertemu Om Gibran dan Tante Lena yang menyambut kehadirannya dengan dua tangan terbuka. "Savi masih di kamar, Tante panggilkan dulu." Wanita berlesung pipi itu menghilang di balik pembatas ruang tengah dan ruang tamu. Meninggalkan Aksa dan Gibran berdua. "Bagaimana kabarnya, Mas Aksa?" tanya Papa Savi. Sejak kedatangan Aksa ke rumah ini, tidak ada raut wajah tegang dan kemarahan. Justru Gibran memeluk bahu Aksa, menepuk tubuh bagian belakang laki-laki itu memberi kekuatan. "Baik, Om." "Kabar Halimah?" "Semuanya baik, Papa dan Mama—, semua baik-baik saja." "Syukurlah, mendengar hal itu, Om ikut merasa lega." Gibran duduk cukup berjarak dari Aksa, dengan kedua tangan yang saling menggenggam di atas paha. "Maafkan keluarga kami, Aksa. Maafkan Savi yang memutuskan hubungan ini secara sepihak," jelas Gibran tiba-tiba. Kerutan di dahi Aksa menunjukan kebingungan
Suara klakson nyaring terdengar, saling berlomba menjadi pemenang. Berjalan melewati jalanan aspal dengan sepatu kets berwarna hitam, Lara melewati beberapa angkot yang berjejer rapi di pinggir jalan. Matanya mulai mencari nomor jurusan angkot yang ia tuju, lalu sedikit menambah kecepatan saat matanya menemukan angkot itu sudah hampir meninggalkan pangkalan. "Bang, tunggu," teriaknya kencang. Lara bersyukur sopir angkot mendengar teriakannya, laki-laki itu menghentikan mobil dan mempersilahkan Lara masuk. Pagi ini luar biasa kacau. Seharusnya Lara masuk jam sembilan, mengerjakan beberapa tugas bagian komite medis yang tidak terlalu banyak. Bahkan dia sudah berencana makan siang di salah satu tempat makan yang cukup jauh dari kantor karena senggangnya waktu kerja. Tetapi rencana tinggal angan semata, karena di jam enam pagi tiba-tiba Lara mendapat telepon dari Dewi untuk menggantikan tugas Siska hari ini, menemani Dewi bertugas di meja seketaris direksi. Siska izin sakit, badannya
Laki-laki yang terbiasa bermulut pedas itu tiba-tiba berubah menjadi jenaka. Lara sempat tertegun, memastikan kondisi Aksa yang terlihat baik-baik saja. Wajahnya bersih, pakaiannya rapi. Tidak ada yang salah dari Aksa pagi ini, bahkan jambang di sekitar dagu-nya pun sudah dicukur bersih. "Dokter sehat?" Lara masih berdiri di samping meja Aksa, tak cukup jauh dari tempat laki-laki itu duduk. Lara bisa menemukan Aksa yang mulai tertarik, laki-laki itu meletakan kembali berkas-berkasnya, memutar kursi lalu fokus menatap Lara. Tatapan tajam yang membuat jantung Lara berdebar-debar. Laki-laki itu menarik satu alisnya ke atas, memikirkan jawaban dari sebuah pertanyaan mudah yang baru saja Lara lontarkan. "Apa-nya dulu? Fisik atau mental?" Bibir Lara tetap rapat, enggan menjawab pertanyaan Aksa yang tak jelas arah. "Fisikku sehat, tapi tidak dengan mental ini." Aksa menunjuk dahi dengan jari. "Aku sakit." "Dokter sakit jiwa?" "Iya, jiwaku sakit karena merindukan seorang wani
Bekerja, dan rutinitas harian yang banyak menghabiskan waktu. Hampir sepertiga lama bumi berputar dalam sehari dihabiskan bersama layar komputer. Demi mendapatkan uang dengan nominal yang jelas di setiap akhir bulan, demi bisa memastikan bisa makan dalam satu bulan ke depan. Budak corporate, itu-lah gelar yang Lara dapatkan. Jari-jemari Lara masih setia menari di atas keyboard, menyelesaikan pekerjaan sebagai seketaris direksi Al-Fayaadh. Siska masuk rawat inap karena sakit demam berdarah, penyakit yang sering menjadi wabah ketika musim hujan. Absennya Siska menegaskan keberadaan Lara di meja ini mungkin akan sedikit lebih panjang dari permintaan Dewi sebelumnya. "Mau makan siang di mana, Ra?" Pertanyaan ketiga Dewi hari ini. Load pekerjaan direksi tidak setinggi biasa, yang akan berbanding lurus dengan pekerjaan seketaris direksi. Beberapa meeting sudah digelar tadi pagi, berkas yang membutuhkan tanda tangan sudah disiapkan sejak kemarin. Keduanya memiliki sedikit waktu lebih p