Getar di dadanya terasa jelas, Aksa menahan letupan yang semakin lama justru semakin bertambah hebat. "Apa—, apa Papa akan meninggalkan Mama?" "Tidak, jika bukan mamamu sendiri yang meminta." Rentetan perjalanan panjang bisa merubah sudut mana yang ingin dilihat. Kotak, tak lagi sebuah persegi yang sama sisi. Lingkaran, bukan lagi garis melingkar yang saling bertemu. Salah dan benar bukan lagi hal yang pasti. Aksa melapangkan dada, menerima hal-hal yang memang tidak tertulis atas namanya. "Terima kasih, lain kali kamu bisa mampir ke sini lagi." Tawaran papanya tak mungkin semudah itu untuk disetujui, meskipun entah bagaimana perasaan mamanya saat ini, bagaimanapun Aksa tetap harus menjaga hati itu. "Terima kasih. Aksa pulang dulu." Berpamitan secukupnya, Aksa membawa mobilnya membelah jalanan kota Jakarta. Setelah memberanikan diri menginjakan kakinya ke rumah itu, menciptakan sesuatu yang baru pada diri Aksa. Dia masih sakit, iya. Aksa bahkan sesekali masih harus mengusir n
Seringai tipis justru terlihat menyayat. "Apa kamu pikir mudah untukku datang ke tempat ini? Hah?!" "Aku berusaha mengeluarkanmu dari isi kepalaku. Tapi aku tidak bisa! Aku terus memikirkanmu sampai aku nyaris mati karena pikiranku sendiri. Aku marah karena aku sadar ..." Aksa memenggal kalimatnya, menarik nafas dalam sebelum akhirnya kembali melanjutkan. "Aku sadar sudah menelan ludahku sendiri karena menginginkanmu selalu ada di dalam hidupku." Kali ini, Aksa tak lagi kuasa menahan, wajahnya kembali mengikis jarak, menyatukan bibir yang sejak tadi menjadi pusat perhatian. Meskipun Lara menolak, Aksa tetap berusaha mengejar kemanapun wajah Lara berpaling. Dia harus mendapatkan Lara malam ini. "Lepas—kan, saya!" tolak Lara. Tangannya mendorong dada Aksa. Suara tamparan di pipi terdengar nyaring, wajah Aksa berpaling dan terlihat merah di satu sisi. Suasana menjadi hening, keduanya membeku. Hanya ada suara nafas yang saling memacu. Cukup lama Aksa membiarkan rasa perih dan
Aksa mengingat pesan dari kakeknya, perintis bisnis keluarga Al-Fayaadh, laki-laki pertama yang membawa nama Al-Fayaadh dikenal di dunia kesehatan. Isi pesannya; jadilah laki-laki yang bertanggung jawab, yang berani mengakui kesalahan. Salah itu pembelajaran, tetapi pulang dengan tetap menjadi ksatria itu pilihan. Satu persatu, Aksa mengurai masalah. Sore nanti Aksa ada janji temu dengan Savira, sebuah janji yang akhirnya dibuat demi memberi kejelasan diantara mereka berdua. Tetapi sebelum menemui Savira, Aksa menyempatkan mampir ke rumah Halimah, menemani wanita itu sarapan. Mama masak soto daging kesukaanmu. Pesan yang dikirim mamanya pagi tadi. Tidak perlu berfikir dua kali, Aksa mengiyakan di detik pertama pesan itu diterima. "Aroma soto sampai depan rumah, pasti enak," puji Aksa saat masuk ke dalam rumah. Ia menemukan Halimah yang sedang menyiapkan makanan di meja makan. Satu panci berisi kuah yang masih mengepulkan asap panas. "Alina jadi ke sini, Ma?" tanyanya, mencomot te
Dan sore ini, Aksa kembali menegaskan kehidupannya sendiri. Memberanikan diri datang langsung ke rumah Savira, bertemu Om Gibran dan Tante Lena yang menyambut kehadirannya dengan dua tangan terbuka. "Savi masih di kamar, Tante panggilkan dulu." Wanita berlesung pipi itu menghilang di balik pembatas ruang tengah dan ruang tamu. Meninggalkan Aksa dan Gibran berdua. "Bagaimana kabarnya, Mas Aksa?" tanya Papa Savi. Sejak kedatangan Aksa ke rumah ini, tidak ada raut wajah tegang dan kemarahan. Justru Gibran memeluk bahu Aksa, menepuk tubuh bagian belakang laki-laki itu memberi kekuatan. "Baik, Om." "Kabar Halimah?" "Semuanya baik, Papa dan Mama—, semua baik-baik saja." "Syukurlah, mendengar hal itu, Om ikut merasa lega." Gibran duduk cukup berjarak dari Aksa, dengan kedua tangan yang saling menggenggam di atas paha. "Maafkan keluarga kami, Aksa. Maafkan Savi yang memutuskan hubungan ini secara sepihak," jelas Gibran tiba-tiba. Kerutan di dahi Aksa menunjukan kebingungan
Suara klakson nyaring terdengar, saling berlomba menjadi pemenang. Berjalan melewati jalanan aspal dengan sepatu kets berwarna hitam, Lara melewati beberapa angkot yang berjejer rapi di pinggir jalan. Matanya mulai mencari nomor jurusan angkot yang ia tuju, lalu sedikit menambah kecepatan saat matanya menemukan angkot itu sudah hampir meninggalkan pangkalan. "Bang, tunggu," teriaknya kencang. Lara bersyukur sopir angkot mendengar teriakannya, laki-laki itu menghentikan mobil dan mempersilahkan Lara masuk. Pagi ini luar biasa kacau. Seharusnya Lara masuk jam sembilan, mengerjakan beberapa tugas bagian komite medis yang tidak terlalu banyak. Bahkan dia sudah berencana makan siang di salah satu tempat makan yang cukup jauh dari kantor karena senggangnya waktu kerja. Tetapi rencana tinggal angan semata, karena di jam enam pagi tiba-tiba Lara mendapat telepon dari Dewi untuk menggantikan tugas Siska hari ini, menemani Dewi bertugas di meja seketaris direksi. Siska izin sakit, badannya
Laki-laki yang terbiasa bermulut pedas itu tiba-tiba berubah menjadi jenaka. Lara sempat tertegun, memastikan kondisi Aksa yang terlihat baik-baik saja. Wajahnya bersih, pakaiannya rapi. Tidak ada yang salah dari Aksa pagi ini, bahkan jambang di sekitar dagu-nya pun sudah dicukur bersih. "Dokter sehat?" Lara masih berdiri di samping meja Aksa, tak cukup jauh dari tempat laki-laki itu duduk. Lara bisa menemukan Aksa yang mulai tertarik, laki-laki itu meletakan kembali berkas-berkasnya, memutar kursi lalu fokus menatap Lara. Tatapan tajam yang membuat jantung Lara berdebar-debar. Laki-laki itu menarik satu alisnya ke atas, memikirkan jawaban dari sebuah pertanyaan mudah yang baru saja Lara lontarkan. "Apa-nya dulu? Fisik atau mental?" Bibir Lara tetap rapat, enggan menjawab pertanyaan Aksa yang tak jelas arah. "Fisikku sehat, tapi tidak dengan mental ini." Aksa menunjuk dahi dengan jari. "Aku sakit." "Dokter sakit jiwa?" "Iya, jiwaku sakit karena merindukan seorang wani
Bekerja, dan rutinitas harian yang banyak menghabiskan waktu. Hampir sepertiga lama bumi berputar dalam sehari dihabiskan bersama layar komputer. Demi mendapatkan uang dengan nominal yang jelas di setiap akhir bulan, demi bisa memastikan bisa makan dalam satu bulan ke depan. Budak corporate, itu-lah gelar yang Lara dapatkan. Jari-jemari Lara masih setia menari di atas keyboard, menyelesaikan pekerjaan sebagai seketaris direksi Al-Fayaadh. Siska masuk rawat inap karena sakit demam berdarah, penyakit yang sering menjadi wabah ketika musim hujan. Absennya Siska menegaskan keberadaan Lara di meja ini mungkin akan sedikit lebih panjang dari permintaan Dewi sebelumnya. "Mau makan siang di mana, Ra?" Pertanyaan ketiga Dewi hari ini. Load pekerjaan direksi tidak setinggi biasa, yang akan berbanding lurus dengan pekerjaan seketaris direksi. Beberapa meeting sudah digelar tadi pagi, berkas yang membutuhkan tanda tangan sudah disiapkan sejak kemarin. Keduanya memiliki sedikit waktu lebih p
Aksa menyapu bibirnya di kulit leher Lara yang terbuka, tanpa benar-benar melekat, hanya bergerak seringan kapas menyusuri tempat favorit yang sudah lama tak terjamah. Kedua matanya terpejam, menikmati aroma tubuh Lara yang melewati indra penciuman. Sapuan lembut itu berefek di sekujur tubuh Lara, meremangkan syaraf dan nadi primitif wanita itu. “Dok—." Lara mendorong tubuh Aksa, tetapi dengan mudah laki-laki itu kembali menahan wanita yang sudah terlanjur tersudut di ujung meja pantry. "Aku terbiasa memaksa, Laraa. Jangan memancing diriku yang sebenarnya." "Tapi ..." "Tapi apa?" tanya Aksa dalam geraman. "Saya—, lapar." Manik mata hazel itu terbuka, mendesah frustasi lalu kembali memperlebar jarak meskipun tidak benar-benar melepaskan wanita dalam kungkungannya. "Kamu mau makan apa?" "Nasi padang," jawab Lara. Makanan asal yang ada di dalam kepala. "Mau makan di luar?" Lara bergegas memberi gelengan. "Saya mau makan bareng Kak Dewi, sudah janjian. Kopi dokter juga s
Mata Aksa terpejam mendengar kalimat Lara, menyusup ngilu yang pelan-pelan menjalar dari dada ke ujung syaraf nadi di seluruh tubuhnya. Rasa yang berusaha ditekan, justru kembali diungkit di bawah langit jingga sore yang seharusnya romantis. "Dok ..." panggil Lara sekali lagi. "Permintaanmu terlalu sulit, Lara." "Cuma satu." "Tapi itu adalah hal tersulit untuk kukabulkan." Wajah Aksa memias, sudut matanya berkerut menahan sesak. Laki-laki itu memalingkan muka, mengalihkan perhatian dari Lara, ketika saat ini wanita itu berubah menjadi sosok yang menyakiti. "Aku tidak bisa." "Dan dokter baru saja berjanji untuk mengabulkan permintaanku." Aksa mengisi kekosongan dada dengan oksigen sebanyak mungkin, mengurai gelisah, menekan rasa sedih yang datang. Adalah hal yang paling ia takuti, kehilangan istrinya. Seorang wanita yang arti kehadirannya terlalu besar, bahkan hanya sekedar membayangkan kehidupannya tanpa Lara pun Aksa tak bisa. "Aku akan selalu mencintaimu," ucapnya li
Two years later Seorang wanita dan laki-laki duduk memandang hamparan laut berwarna biru, di bawah langit yang indah, di bibir pantai. Kedua tangan mereka saling menggenggam, si wanita duduk di atas kursi roda, sedang si laki-laki duduk beralaskan pasir pantai yang putih. Tubuh si laki-laki basah, bertelanjang dada dengan pasir yang menempel di beberapa bagian tubuh laki-laki itu. Senyum terpatri di kedua wajah yang tidak menatap ke arah sama, pandangan si wanita mengunci ke arah laki-laki di sampingnya, sedang laki-laki itu justru mematri netranya ke arah ombak kecil-kecil yang menggulung di bibir pantai. "Aku menemukan dua pemandangan terindahku sore ini," sela si wanita, menarik perhatian laki-laki di sebelahnya. Tersenyum tipis, Aksa mengalihkan perhatian dari pantai ke istrinya yang sedang menatap ke arahnya. "Apa itu? Aku ingin tau." "Pantai dan kamu." Rayuan amatir yang terdengar basi, tetapi sukses membuat laki-lakinya melengkungkan bibir, tersenyum malu-malu. Laki
Dua hari setelah menikah, Lara diperbolehkan pulang. Bagas yang baru saja mengecek kondisi Lara sudah cukup yakin wanita itu layak dipulangkan, dengan beberapa terapi terjadwal yang nantinya harus dipatuhi wanita itu. "By the way, selamat atas pernikahan kalian berdua," ucap Bagas ditengah kunjungannya. "Thank's." "Kalian berdua—, terlihat serasi bersama," tambah laki-laki itu lagi, kalimat yang justru terdengar janggal diucapkan seorang Bagas Ganendra. "Gue cabut dulu, masih ada beberapa pasien yang butuh divisit." Bagas langsung meninggalkan ruang rawat inap Lara, tetapi Aksa mengejar lalu menahan laki-laki itu di depan pintu luar ruang rawat inap. "Kenapa?" tanya Bagas, menemukan Aksa yang tiba-tiba menghentikan langkahnya. "Ada yang mau gue tanyain." "Lara sudah baik, bisa beraktivitas seperti biasa," jawab Bagas, bahkan saat Aksa belum menyampaikan pertanyaannya. "Aktivitas seperti biasa, kalau—, buat 'itu' boleh kan, Gas?" tanya Aksa ragu, jujur saja dia khawatir
Lara kembali mengeratkan pelukan, menggelengkan kepala berkali-kali menolak kalimat yang terucap dari bibir laki-laki itu. Ayah tidak menjaga Lara, karena fokus dengan penyembuhan ibu, dan Lara sebagai anak perempuan memang harus bisa menggantikan posisi ayahnya menjaga Lira. "Maafkan, Lara ya, Pak. Lara justru jauh, ndak bisa jaga Bapak yang sudah sepuh. Membebankan masa muda Lira untuk ikut menjaga ibu." Tak lagi ada yang bisa menahan, tangis keduanya lepas di tengah malam diantara sepi yang menyengat. Ayah dan anak tengah berjuang melawan kesedihan masing-masing. Keesokan pagi, Lara bangun dengan suasana yang berbeda. Beberapa kursi tambahan sudah disiapkan, ada hiasan bunga asli yang terpajang menghiasi ruang rawat inap Lara. "Hey, kamu tidurnya lelap banget, Yank. Aku nggak tega mau bangunin," sapa Aksa, di sela usaha Lara mendudukan tubuh. Wanita itu masih bingung menatap sekitar, ada beberapa orang yang ia kenal sedang berkumpul di ruang rawat inapnya. "Nggak usah d
"Kenapa Bapak—, melihat Lara seperti itu?" tanya Lara pelan. Matanya yang hendak terpejam kembali terbuka lebar. Lara yang terbangun di sela tidur lelapnya menemukan ayah-nya yang masih terjaga, duduk di kursi penunggu di samping ranjang, menatap Lara tanpa sedikitpun kantuk datang. "Pak ..." "Anak Bapak ayu," puji Pak Darmo. Lara berdecak, tersenyum tipis sambil mengalihkan perhatian. "Anak Bapak ayu, luwes, dan ... apa lagi ya? Bingung Bapak." Laki-laki paruh baya itu tersenyum hambar, bibirnya terangkat naik tetapi berbanding terbalik dengan matanya yang justru meloloskan air mata. "Bapak bangga—, punya anak seperti Lara." "Yaa, namanya anak sendiri, pasti selalu dipuji kan, Pak?" Lara pun sama, matanya membasah, padahal topik utama pembahasan keduanya malam ini sama sekali bukan tentang kesedihan. Sore tadi, ayah Lara sampai di Jakarta dan langsung ke rumah sakit. Laki-laki itu ke datang bersama Lira dan Pakdhe Ratno yang akan menjadi saksi pernikahan. Menemukan Lara
Malam semakin larut, Aksa juga butuh istirahat agar esok tenaganya kembali utuh. Sebelum beranjak pergi, Aksa sempat merasakan gerak tangan Lara yang tiba-tiba. Laki-laki itu menahan langkah, memusatkan perhatiannya ke arah jari Lara yang kali ini masih tak berubah posisi. Cukup lama Aksa diam berdiri kaku, lalu menyerah saat merasa bahwa apa yang baru saja ia lihat hanyalah ilusi. "Aku butuh tidur," gumam Aksa. Laki-laki itu terlampau lelah, dan terlalu berharap banyak Lara segera sadar. Aksa sering bermimpi wanita itu kembali berada di sisinya, mengerucut sebal ke arahnya. Demi Tuhan, menemukan wajah cemberut Lara lebih indah daripada melihat wanita itu yang terbujur lemas tak sadarkan diri. Di ruang suite rawat inap, ada satu ranjang penunggu yang setiap hari Aksa gunakan untuk tidur. Laki-laki itu baru saja menyiapkan selimut sebelum tiba-tiba suara lirih kembali menarik perhatian laki-laki itu ke tengah ruangan. "Bu ..." Suara lirih Lara memanggil ibunya. Aksa berjal
Aku menciptakan objek yang bisa kubenci, kujadikan tempat untuk meluapkan keputusasaan. Aku butuh tempat untuk melepas semua kekecewaanku pada takdir, tetapi tanpa sadar, justru dia-lah tempatku menemukan kehidupan. Seandainya penyesalan bisa mengembalikan waktu, aku pasti banyak-banyak merayu Tuhan untuk kembali membawaku di pertemuan pertama. Tetapi sayang, penyesalan ini sama sekali tidak berarti. Aku menyerah, di penghujung waktu yang sudah berbatas. *** "Bagaimana kabar, Lara?" Seorang wanita paruh baya berdiri di belakang Aksa. "Lara baik, Lara kuat, Ma." Satu tangan wanita itu terulur ke bahu Aksa, menyalurkan kehangatan memberi kekuatan. Wanita itu sadar, apa yang sedang dialami anak laki-lakinya saat ini tidak-lah mudah. Jatuh cinta, lalu kembali diuji setelah bersama. "Mama selalu berdoa yang terbaik untuk Lara." Aksa tersenyum masam, senyum yang digunakan hanya sebatas untuk menjaga kesopanan. Senyum yang tidak benar-benar ada, karena perasaannya sudah dipenuh
"Lo bohong kan, Gas? Katakan kalau apa yang lo ucapin itu cuma omong kosong," mohon Aksa, tapi Bagas hanya diam. "Lebih baik, gue tau lo deket sama Lara sebagai seorang laki-laki dan perempuan, ketimbang tau kalian dekat karena Lara sebagai pasien dan lo sebagai dokter-nya." Kalimat itu diucapkan dengan bibir bergetar, ada ketakutan yang kentara di setiap kalimat yang keluar dari bibir Aksa. "Sorry, Sa. Gue mengatakan apa yang benar-benar terjadi," tambah laki-laki itu pasti. Dada Aksa sesak, tubuhnya yang kuat sama sekali tak bisa menopang dirinya sendiri. Laki-laki itu kembali mendudukan tubuhnya di kursi penunggu, membelakangi Bagas yang masih terpaku. Cukup lama mata laki-laki itu terpejam kuat, disaat kesedihan terlalu sulit ditekan. Selama ini, Aksa merasa dia-lah satu-satunya laki-laki yang paling mengenal Lara, nyatanya tidak. Dia sama sekali tidak mengenal wanita itu, atau mungkin? Dia adalah satu-satunya orang yang tidak dilibatkan dalam masalah yang sedang Lara hada
Tiga hal yang paling ditakuti dalam hidup; rasa sakit, kematian dan kehilangan. Namun, tiga hal itu yang paling banyak ditemui dalam lembaran cerita manusia, tentang rasa sakit dan saling menyakiti, tentang lahir lalu mati, dan— tentang menemukan lalu kehilangan. Tidak ada cara untuk menghindar, kapanpun dan dengan cara bagaimana. Semua berporos pada takdir Tuhan yang terikat di setiap manusia yang lahir dan bernafas di dunia. Di sebuah ruangan putih luas dengan properti mewah yang sama sekali tidak mengurangi ketegangan di dalamnya. Kesedihan teramat mendominasi, dibalut dalam gelapnya malam yang semakin menyengat sepi. Aksa masih bertahan, duduk di kursi penunggu samping bed perawatan Lara, sudah lebih dari dua puluh empat jam wanita itu tidak sadarkan diri, sudah dua kolf transfusi darah yang masuk ke dalam tubuh wanita itu, tetapi Lara tak kunjung membuka mata, masih setia beristirahat dalam tidurnya yang lelap. Selama satu hari yang sama, Aksa tidak meninggalkan kamar rawa