"Maksudnya?" Dahi Aksa mengerut, mencoba mengolah pertanyaan Savira menjadi sebuah informasi yang bisa diserap. "Aku nggak paham," tambah Aksa akhirnya, setelah hitungan menit berusaha menjawab pertanyaan Savira. Malam sudah larut, ditambah lapar, tubuhnya membutuhkan asupan nutrisi untuk melakukan beberapa fungsi, termasuk berfikir dan menjawab pertanyaan Savira. "Abaikan saja, ini sudah malam, tidak usah membahas hal-hal yang berat." Setelah cukup lama menunggu, pesanan keduanya datang. Pelayan restaurant mengucapkan 'selamat makan' menggunakan bahasa Jepang yang tak Aksa pahami. Berbeda dengan Savira yang menjawab lancar. Maklum, lebih dari dua tahun wanita itu tinggal di negara sana. Makan malam yang terlalu singkat, karena baik Savira dan Aksa menghabiskan makan malam dalam waktu yang cepat. Keduanya sedang diburu waktu, karena ingin segera sampai di rumah lalu mengistirahatkan badan yang lelah. "Sepertinya aku benar-benar lapar," aku Aksa. Laki-laki itu mengelap ping
Lara tak menyangka, dia kembali ke tempat ini setelah gejala di tubuhnya tak kunjung membaik. Dia sering kelelahan, badannya juga mulai sering demam. Tak mengindahkan saran dr. Putri, Lara tetap menghabiskan banyak waktunya di sanggar setelah pulang kerja. Ada anak-anak yang membutuhkannya di sana, menjadi hiburan lain ditengah masalah yang ia hadapi. Inilah akibat dari bermain dengan perasaan, Lara justru sakit sendiri, dia patah seorang diri. "Angka leukositnya selalu tinggi ya, Ra." Dokter Putri kembali menjelaskan hasil lab, kemarin Lara periksa darah di rumah sakit Al-Fayaadh, darah rutin seperti biasa. "Masih sering nari?" "Hehe, iyaa, dok," jawab Lara malu-malu. Dia seperti anak kecil yang baru saja mengaku sudah menghabiskan permen di toples. Lara bahkan tanpa sadar menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Jangan kecapekan," saran dr. Putri, kalimat yang sudah sering disampaikan. "Iyaa, dok. Maaf," jawabnya seperti kemarin. Tidak ada aktivitas yang membuatnya gembi
Lara masih tak bergeming, tersenyum hambar yang sama sekali tidak berarti. "Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, tidak tentang pertemuan kita di tempat ini, tidak tentang alasan saya di sini." Rasanya baru kemarin Lara merasa lega, tidak lagi berhadapan dengan manusia pemaksa seperti Aksa ataupun Bagas. Tetapi hari ini, dia kembali dipertemukan dengan laki-laki itu tanpa sengaja. Dan si pemaksa kembali menunjukan diri, Lara diharuskan menemani Bagas, melalui perjalanan jauh ke Bandung hanya untuk sekedar menikmati semangkok soto khas kota kembang. Bagas tahu Lara sedang izin sakit, dan laki-laki itu mendatangi kamar kos-nya tanpa pemberitahuan setelah jam praktik selesai. "Kenapa dr. Bagas selalu memaksa?" "Karena aku bisa," jawab laki-laki itu santai. Ia bahkan mengakhiri kalimatnya dengan senyuman polos yang menyebalkan. Keduanya sudah berada di mobil, perjalanan menuju Bandung. Lara memutar bola matanya jengah, memilih mengalihkan perhatian ke arah lain. Jalanan aspal
"Ibu saya sakit, leukemia kronis. Beberapa kali membutukan perawatan yang tak murah, saya juga harus membiayai kuliah adik perempuan saya," jelas Lara, kalimat terpanjang yang keluar dari bibirnya di hari ini. "Puas?” Bagas menggeleng. "Belum." "Saya takut kehilangan Ibu, meskipun ada jaminan kesehatan, saya tetap meminta yang terbaik, saya akan melakukan apapun untuk menyalamatkan Ibu. Setidaknya itu adalah salah satu bakti seorang anak untuk orangtuanya." Anggukan kecil menunjukan rasa puas, tetapi bukannya berhenti, Bagas masih melanjutkan rasa ingin tahunya. "Aksa tahu?" "Tidak." "Poor, Lara." Benar! Lara memang menyedihkan. Sesak nafas terasa menyiksa, meskipun ia sedang berada di tengah hamparan alam yang penuh limpahan oksigen. Lalu lalang manusia di sekitarnya tak cukup mengalihkan perhatian Lara, wanita itu tetap tertarik dengan warna langit yang mulai memunculkan semburat jingga. "Kamu tahu siapa wanita yang paling Aksa benci?" Lara sempat memikirkan jawaba
Ditengah gelapnya malam dan pekatnya perasaan. Seorang laki-laki bermanik mata hazel sedang mengamati dalam hening, menimbang di balik kemudi mobil lexus berwarna hitam. Matanya awas menatap bangunan rumah satu lantai dengan halaman luas yang ditumbuhi berbagai macam tanaman. Rumah tak berpagar, berwarna putih coklat seperti rumah sederhana pada umumnya. Sebuah rumah yang cukup dibilang paling sederhana diantara rumah lainnya. Terlalu sederhana untuk seorang laki-laki dengan nama Al-Fayaadh di belakang namanya. Pencahayaan terang di dalam rumah menandakan manusia di dalamnya masih terjaga. Berkali-kali Aksa hendak memutar haluan, pulang ke rumah lalu beristirahat seperti biasa. Tetapi gerak mobilnya justru melangkah ke rumah ini, rumah yang paling ia benci, rumah yang sama sekali tidak ada di dalam angannya untuk ia datangi. Tetapi bukankah benar, takdir bisa memutar balikan semuanya? Termasuk perasaan manusia. Pada akhirnya, Aksa berdiri di depan rumah ini, tangannya mengetu
Senyuman di wajah Aksa terlihat dipaksa, laki-laki itu kembali menyesap rokoknya. Ingatannya ditarik ke dua hari yang lalu, ketika Savira menghubunginya melalui panggilan telepon, mengutarakan keinginanya yang tiba-tiba. "Aku ingin pertunangan ini tidak dilanjutkan,” kata Savira. "Yaa." Dan hanya satu jawaban itu yang Aksa berikan. Setelah itu, Aksa sama sekali belum bertemu Savira. "Terima kasih karena mau datang ke rumah Papa," ucap Asad, saat menemukan sorot mata frustasi di wajah anak laki-lakinya. Asad ikut membakar satu batang rokok, menyesapnya cepat lalu membuang asap-nya ke atas. Aksa tak menjawab, matanya menatap Asad ragu. "Papa tidak merokok," ejek Aksa. Laki-laki itu terkekeh ringan. "Nggak apa-apa, Papa pernah merokok dulu waktu muda, nggak candu, tapi yaa ... cuma untuk nemenin teman-teman yang suka nongkrong sambil rokok-an." Mendung sejak tadi bertahan, hingga akhirnya pelan-pelan gerimis turun membasahi tanah, menciptakan aroma khas menenangkan yang Aks
Getar di dadanya terasa jelas, Aksa menahan letupan yang semakin lama justru semakin bertambah hebat. "Apa—, apa Papa akan meninggalkan Mama?" "Tidak, jika bukan mamamu sendiri yang meminta." Rentetan perjalanan panjang bisa merubah sudut mana yang ingin dilihat. Kotak, tak lagi sebuah persegi yang sama sisi. Lingkaran, bukan lagi garis melingkar yang saling bertemu. Salah dan benar bukan lagi hal yang pasti. Aksa melapangkan dada, menerima hal-hal yang memang tidak tertulis atas namanya. "Terima kasih, lain kali kamu bisa mampir ke sini lagi." Tawaran papanya tak mungkin semudah itu untuk disetujui, meskipun entah bagaimana perasaan mamanya saat ini, bagaimanapun Aksa tetap harus menjaga hati itu. "Terima kasih. Aksa pulang dulu." Berpamitan secukupnya, Aksa membawa mobilnya membelah jalanan kota Jakarta. Setelah memberanikan diri menginjakan kakinya ke rumah itu, menciptakan sesuatu yang baru pada diri Aksa. Dia masih sakit, iya. Aksa bahkan sesekali masih harus mengusir n
Seringai tipis justru terlihat menyayat. "Apa kamu pikir mudah untukku datang ke tempat ini? Hah?!" "Aku berusaha mengeluarkanmu dari isi kepalaku. Tapi aku tidak bisa! Aku terus memikirkanmu sampai aku nyaris mati karena pikiranku sendiri. Aku marah karena aku sadar ..." Aksa memenggal kalimatnya, menarik nafas dalam sebelum akhirnya kembali melanjutkan. "Aku sadar sudah menelan ludahku sendiri karena menginginkanmu selalu ada di dalam hidupku." Kali ini, Aksa tak lagi kuasa menahan, wajahnya kembali mengikis jarak, menyatukan bibir yang sejak tadi menjadi pusat perhatian. Meskipun Lara menolak, Aksa tetap berusaha mengejar kemanapun wajah Lara berpaling. Dia harus mendapatkan Lara malam ini. "Lepas—kan, saya!" tolak Lara. Tangannya mendorong dada Aksa. Suara tamparan di pipi terdengar nyaring, wajah Aksa berpaling dan terlihat merah di satu sisi. Suasana menjadi hening, keduanya membeku. Hanya ada suara nafas yang saling memacu. Cukup lama Aksa membiarkan rasa perih dan