Waktu yang Hilang- Cemburu Alita yang hendak ke kamar mandi berdiri terpaku memandang Saga. Kaget karena bertemu laki-laki itu di Jogja sini, apalagi di kafenya Melati. Tadi Melati tidak memberitahu kalau ada Saga di kafenya.Saga mengulurkan tangan. "Apa kabar, Alita?""Kabar baik," jawab gadis itu gugup sambil menyambut uluran tangan Saga. "Kamu ada di sini, Ga.""Ya, aku sudah hampir enam bulan tinggal di Jogja."Perempuan itu tampak heran sekaligus juga bingung, tapi ada binar bahagia pada tatapannya. Kenapa Saga ada di kafe Melati juga? Apa seperti dirinya yang sengaja datang karena tahu kalau kafe itu milik Melati? Mantan kakak ipar Saga sendiri."Aku dan Melati menikah belum ada seminggu."Alita makin terbeliak kaget. Bibirnya sampai membentuk huruf O seraya menatap serius pada Saga.Pada saat yang bersamaan, muncul Melati dari dalam. Wanita itu pun kaget karena tiba-tiba saja Alita sudah ada di dekat suaminya. Dipikir sudah pergi karena kafe mau tutup."Sayang, sini!" Saga m
Melihat Saga melangkah ke arahnya, Melati buru-buru meletakkan bunga di meja kasir lantas mematikan lampu ruang depan dan melangkah menghampiri sang suami."Kok lama banget," tegur Saga."Aku sengaja nungguin dia sampai jalan menjauh, Mas. Kasihan pulang sendirian.""Alita sudah terbiasa seperti itu," jawab Saga sambil menggandeng tangan istrinya untuk naik ke lantai atas."Mas, kok tahu?""Dia anak metropolitan. Lahir besar di Surabaya. Jadi sudah terbiasa dengan aktivitas malam di kota besar."Benar juga. Bukan seperti dirinya yang lahir, besar, di kaki gunung. Habis maghrib masuk rumah, ngunci pintu, dan baru keluar lagi kalau matahari sudah menampakkan diri. Bukan takut ada penjahat atau orang iseng. Tapi karena sudah kebiasaan hidup di desa seperti itu, apalagi yang jauh dari perkotaan. Habis Maghrib atau setidaknya setelah salat isya, suasana sudah sunyi. Biasanya yang suka berkumpul dan ngobrol di luar itu kaum laki-laki. Bagi perempuan, bergerombolnya kalau siang. Itu pun bagi
Waktu yang Hilang- Batas Kesabaran "Perempuan siapa, Ma?" tanya Pak Norman sambil menatap istrinya. Dia paling tidak suka jika diajak ribut untuk membahas persoalan lama.Bu Rista diam. Tentu saja kehadiran Bu Ariana sangat mengusiknya."Kita ini sudah tua. Kenapa harus mengungkit-ungkit permasalahan yang sudah lewat tiga puluh tahun yang lalu. Mama, nggak lelah?"Masih diam."Sefatal itu kesalahanku di matamu?" Pak Norman menarik napas panjang seraya mengalihkan perhatian. "Papa memang pernah breng*ek, tapi tidak cukupkah puluhan tahun mama memberikan hukuman? Mama, nggak capek dengan dendam yang bersemayam nggak ada habisnya.""Bagaimana bisa selesai, setelah dia tiada pun, Papa masih menyimpannya dengan rapi dalam hati."Pak Norman menghela nafas berat. Sebab Bu Rista tidak pernah berusaha memenangkan hatinya. Yang ia tunjukkan hanya dendam dan pembalasan. Tidak terhadapnya saja, tapi pada orang-orang yang dekat dengan Ariani. Pada Saga yang selalu terancam keselamatannya. Demi
Saga telah menyelesaikan sarapan. Melati bangkit untuk mengambil jaket dan ponsel suaminya di kamar. Keduanya beriringan menuruni tangga. "Aku sebenarnya khawatir, setelah Mas cerita mengenai sepupu Mas kemarin."Keduanya berhenti di tengah kafe."Apa yang kamu cemaskan?" "Kepikiran saja setelah peristiwa-peristiwa yang dulu itu. Dikeroyok preman, terluka berkali-kali, nyawa Mas terancam." Gurat kecemasan tampak di wajah Melati. Bayangan Saga yang selalu menemuinya dengan luka memanjang di punggung, seolah tampak lagi di depan mata. Darah segar mengalir dari bekas tusukan atau sabetan, membuat Melati merinding dalam rasa cemasnya. Rasa takut kehilangan memuncak dalam dada. Gama tentunya lebih cerdik dan leluasa bergerak daripada Bu Rista yang hanya bisa menyewa preman."Tak perlu khawatir. Aku tidak memiliki masalah dengan Gama.""Tapi lebih mengkhawatirkan lagi kalau dia menganggap Mas itu masalah baginya."Saga menangkupkan telapak tangannya pada kedua sisi wajah sang istri. Membu
Waktu yang Hilang- Penuh Kenangan 1"Aku berharap hari ini Mama Rista ikut ke sini. Biar beliau tahu keluarga Mas di sini. Biar nggak memandang rendah lagi anak yang ia sia-siakan sejak kecil," kata Melati saat ia dan Saga masih bersiap-siap di kamar. Saga tersenyum. "Tidak mungkin beliau ikut, Sayang. Kebencian sudah mendarah daging dalam jiwanya," jawab Saga sambil menatap istrinya. "Damage dari sebuah pengkhianatan sungguh luar biasa. Lukanya berdarah sepanjang hidup. Bahkan ibuku membawa permasalahan yang tak pernah selesai hingga beliau tiada," lanjut laki-laki itu.Melati berdiri dan memeluk suaminya. "Jangan salahkan ibu. Nggak ada satu pun perempuan yang mau hidup seperti ini, Mas. Lagian Mas sudah tahu awal mula kisah mereka itu seperti apa.""Ya. Berawal dari papa yang nggak mau jujur pada ibu atau pun Mama Rista." Hening. Tangan Melati masih melingkar di pinggang Saga. Pipinya bersandar pada dada bidang suaminya."Ayo, kita turun. Papa sudah menunggu." Melati hendak mena
Tatapan Melati menerawang. "Terkadang aku masih takut jika dikhianati lagi. Aku sudah pernah merasakan bagaimana hancur dan kehilangan rasa percaya diri."Saga memandang istrinya. "Siapa yang kamu takutkan akan mengkhianatimu?""Mas," jawab Melati cepat. Jujur saja, kadang dalam diamnya ada kekhawatiran itu. Bagaimana jika tiba-tiba saja Saga kepincut dengan seorang perawan. Teman kuliahnya, rekan kerja, atau pada rekan lama yang baru bertemu lagi sekarang. Alita tentunya.Senyum menghiasi bibir Saga. "Kamu pikir aku doyan dengan semua perempuan? Memilikimu sudah cukup bagiku."Saat kamu menikah dengan Mas Akbar, aku tidak pernah kehilangan perasaanku terhadapmu. Padahal kala itu belum tentu aku bisa bersamamu. Bahkan aku masih berusaha untuk menyelamatkan pernikahan kalian. Hingga akhirnya kita dipertemukan lagi dengan cara yang luar biasa."Keduanya diam sesaat. Mengingat banyaknya pengkhianatan disekitarnya, pernah mengalaminya sendiri, membuat Melati memiliki kekhawatiran berlebih
Waktu yang Hilang - MaafSaga tersenyum mendengar ucapan Mbah Putrinya. Bahagia pastinya jika kabar itu akan tiba dalam waktu dekat. Namun soal anak ia memang belum pernah membahasnya dengan Melati. Bisa menikahi cinta masa kecilnya saja merupakan kebahagiaan tersendiri bagi Saga. Anak merupakan bonus baginya."Pernikahan itu bukan akhir sebuah hubungan, melainkan awal dari fase kehidupan baru. Ada komitmen penting yang terlibat di dalamnya." Mbah Putri melanjutkan bicara yang merupakan sebuah nasehat."Pikirkan untuk kalian berdua, jika salah satu tergoda untuk selingkuh, bercerai, maka ingatlah kembali komitmen yang kalian ucapkan di hadapan Allah. Menjalani bahtera rumah tangga memang nggak gampang, bisa tangguh jika kalian bisa saling menguatkan." Bu Salindri bicara dengan suara pelan.Baik Bu Salindri maupun Pak Wira, mereka belum tahu status Melati yang janda ketika dinikahi oleh Saga. Bu Ariana hanya bercerita pada mereka, kalau Saga telah menikah. Sedangkan Pak Norman hanya d
Malam itu juga mereka membahas tentang acara resepsinya Saga. Biasa tiap mau mantu atau resepsi mereka memakai perhitungan hari baik atau pun bulan baik menurut kalender Jawa, tapi kali ini mereka mengabaikannya. Yang terpenting waktu itu nanti semua kerabat bisa berkumpul bersama.Pembicaraan tidak bertele-tele. Waktu satu bulan dirasa sudah cukup untuk membuat persiapan. Resepsi juga disepakati akan dilaksanakan di rumah Pak Wira. Atas permintaan lelaki sepuh itu sendiri.Saga dan Melati tidak punya pilihan selain menyetujui. Bagi Saga tidak masalah, tapi bagi Melati sebenarnya terlalu cepat. Sebentar lagi juga ulang tahunnya Moana. Jika dia pulang ke Malang, hanya menyita waktunya saja. Sedangkan ia juga butuh persiapan diri. Kendati segala sesuatu untuk resepsi sudah di tangani oleh keluarga Saga. Budhe dan kerabatnya yang lain bisa diberitahu lewat telepon saja. "Kamu nggak usah cemas, Nduk. Nanti papa yang akan ngasih tahu Budhemu dan keluarganya Ana. Kamu fokus persiapan di si