Saga telah menyelesaikan sarapan. Melati bangkit untuk mengambil jaket dan ponsel suaminya di kamar. Keduanya beriringan menuruni tangga. "Aku sebenarnya khawatir, setelah Mas cerita mengenai sepupu Mas kemarin."Keduanya berhenti di tengah kafe."Apa yang kamu cemaskan?" "Kepikiran saja setelah peristiwa-peristiwa yang dulu itu. Dikeroyok preman, terluka berkali-kali, nyawa Mas terancam." Gurat kecemasan tampak di wajah Melati. Bayangan Saga yang selalu menemuinya dengan luka memanjang di punggung, seolah tampak lagi di depan mata. Darah segar mengalir dari bekas tusukan atau sabetan, membuat Melati merinding dalam rasa cemasnya. Rasa takut kehilangan memuncak dalam dada. Gama tentunya lebih cerdik dan leluasa bergerak daripada Bu Rista yang hanya bisa menyewa preman."Tak perlu khawatir. Aku tidak memiliki masalah dengan Gama.""Tapi lebih mengkhawatirkan lagi kalau dia menganggap Mas itu masalah baginya."Saga menangkupkan telapak tangannya pada kedua sisi wajah sang istri. Membu
Waktu yang Hilang- Penuh Kenangan 1"Aku berharap hari ini Mama Rista ikut ke sini. Biar beliau tahu keluarga Mas di sini. Biar nggak memandang rendah lagi anak yang ia sia-siakan sejak kecil," kata Melati saat ia dan Saga masih bersiap-siap di kamar. Saga tersenyum. "Tidak mungkin beliau ikut, Sayang. Kebencian sudah mendarah daging dalam jiwanya," jawab Saga sambil menatap istrinya. "Damage dari sebuah pengkhianatan sungguh luar biasa. Lukanya berdarah sepanjang hidup. Bahkan ibuku membawa permasalahan yang tak pernah selesai hingga beliau tiada," lanjut laki-laki itu.Melati berdiri dan memeluk suaminya. "Jangan salahkan ibu. Nggak ada satu pun perempuan yang mau hidup seperti ini, Mas. Lagian Mas sudah tahu awal mula kisah mereka itu seperti apa.""Ya. Berawal dari papa yang nggak mau jujur pada ibu atau pun Mama Rista." Hening. Tangan Melati masih melingkar di pinggang Saga. Pipinya bersandar pada dada bidang suaminya."Ayo, kita turun. Papa sudah menunggu." Melati hendak mena
Tatapan Melati menerawang. "Terkadang aku masih takut jika dikhianati lagi. Aku sudah pernah merasakan bagaimana hancur dan kehilangan rasa percaya diri."Saga memandang istrinya. "Siapa yang kamu takutkan akan mengkhianatimu?""Mas," jawab Melati cepat. Jujur saja, kadang dalam diamnya ada kekhawatiran itu. Bagaimana jika tiba-tiba saja Saga kepincut dengan seorang perawan. Teman kuliahnya, rekan kerja, atau pada rekan lama yang baru bertemu lagi sekarang. Alita tentunya.Senyum menghiasi bibir Saga. "Kamu pikir aku doyan dengan semua perempuan? Memilikimu sudah cukup bagiku."Saat kamu menikah dengan Mas Akbar, aku tidak pernah kehilangan perasaanku terhadapmu. Padahal kala itu belum tentu aku bisa bersamamu. Bahkan aku masih berusaha untuk menyelamatkan pernikahan kalian. Hingga akhirnya kita dipertemukan lagi dengan cara yang luar biasa."Keduanya diam sesaat. Mengingat banyaknya pengkhianatan disekitarnya, pernah mengalaminya sendiri, membuat Melati memiliki kekhawatiran berlebih
Waktu yang Hilang - MaafSaga tersenyum mendengar ucapan Mbah Putrinya. Bahagia pastinya jika kabar itu akan tiba dalam waktu dekat. Namun soal anak ia memang belum pernah membahasnya dengan Melati. Bisa menikahi cinta masa kecilnya saja merupakan kebahagiaan tersendiri bagi Saga. Anak merupakan bonus baginya."Pernikahan itu bukan akhir sebuah hubungan, melainkan awal dari fase kehidupan baru. Ada komitmen penting yang terlibat di dalamnya." Mbah Putri melanjutkan bicara yang merupakan sebuah nasehat."Pikirkan untuk kalian berdua, jika salah satu tergoda untuk selingkuh, bercerai, maka ingatlah kembali komitmen yang kalian ucapkan di hadapan Allah. Menjalani bahtera rumah tangga memang nggak gampang, bisa tangguh jika kalian bisa saling menguatkan." Bu Salindri bicara dengan suara pelan.Baik Bu Salindri maupun Pak Wira, mereka belum tahu status Melati yang janda ketika dinikahi oleh Saga. Bu Ariana hanya bercerita pada mereka, kalau Saga telah menikah. Sedangkan Pak Norman hanya d
Malam itu juga mereka membahas tentang acara resepsinya Saga. Biasa tiap mau mantu atau resepsi mereka memakai perhitungan hari baik atau pun bulan baik menurut kalender Jawa, tapi kali ini mereka mengabaikannya. Yang terpenting waktu itu nanti semua kerabat bisa berkumpul bersama.Pembicaraan tidak bertele-tele. Waktu satu bulan dirasa sudah cukup untuk membuat persiapan. Resepsi juga disepakati akan dilaksanakan di rumah Pak Wira. Atas permintaan lelaki sepuh itu sendiri.Saga dan Melati tidak punya pilihan selain menyetujui. Bagi Saga tidak masalah, tapi bagi Melati sebenarnya terlalu cepat. Sebentar lagi juga ulang tahunnya Moana. Jika dia pulang ke Malang, hanya menyita waktunya saja. Sedangkan ia juga butuh persiapan diri. Kendati segala sesuatu untuk resepsi sudah di tangani oleh keluarga Saga. Budhe dan kerabatnya yang lain bisa diberitahu lewat telepon saja. "Kamu nggak usah cemas, Nduk. Nanti papa yang akan ngasih tahu Budhemu dan keluarganya Ana. Kamu fokus persiapan di si
Waktu yang Hilang- Sadar DiriSuasana pagi di kediaman Pak Wira begitu hangat. Mereka berkumpul untuk sarapan bersama. Wajah keriput orang tua yang selama bertahun-tahun diliputi duka, kini tampak berbinar bahagia. Meski Ariani tidak kembali, tapi ada Saga sebagai pengganti."Sering-seringlah kamu dan Melati datang ke mari. Nggak jauh to dari rumah kalian," kata Bu Salindri setelah mereka selesai makan."Insyallah, Mbah Putri.""Katanya kamu juga kuliah, Le?""Ya.""Syukurlah, semoga kamu sukses seperti saudara-saudaramu yang lain.""Aamiin.""Untuk acara resepsi kalian, biar nanti Bulekmu yang ngurusi. Ada WO yang menjadi langganan keluarga kami."Saga hanya mengiyakan saja. Kakek dan sang nenek benar-benar perhatian terhadapnya dan Melati. Gama yang selama ini menjadi cucu kesayangan, hanya diam mendengarkan percakapan mereka. Sesekali menatap sekilas perempuan cantik yang menjadi istri sepupunya.Sudah terbiasa dengan perempuan-perempuan liar yang ia kenal, melihat Melati yang kal
Meski sudah jam delapan pagi, sisa kabut masih melayang-layang di udara perkebunan. Menyapu pucuk-pucuk daun teh, yang akan meninggalkan jejak embun jika kabut memudar. Pagi itu Akbar mengajak mamanya pergi ke perkebunan. Biar Bu Rista mendapatkan hawa Segar untuk menenangkan pikiran. Ibunya hampir tidak pernah datang ke perkebunan mereka. Apalagi ikut mengurusi usaha. Bu Rista lebih suka janjian dan jalan dengan teman-temannya ke kota.Dengan udara yang masih segar dan fresh, melihat warna hijau yang membentang luas, Akbar berharap pikiran sang mama kembali jernih."Tangan dan kaki mama masih terasa kebas?" tanya Akbar pada Bu Rista yang duduk di kursi rotan depan kantor, menghadap ke hamparan tanaman teh."Masih agak berat buat jalan, Bar.""Mama, ingat pesan dokter 'kan? Obat itu hanya berapa persen bisa mengobati keluhan Mama. Selebihnya semangat dan kontrol pikiran yang dapat menunjang Mama kembali pulih." Sebenarnya Akbar sendiri lelah dengan sikap mamanya. Terlalu labil untuk
Waktu yang Hilang- Kaya Mendadak Pak Norman memandang putranya dan sang menantu yang tengah membuka kamar nomer W05. Entah ini kebetulan atau apa, kamar bersejarah itu kini ditempati putra dan menantunya. Sedangkan ia sendiri tidur di kamar sebelah kirinya dan Pak Slamet di sebelahnya lagi."Selamat malam, Pa," ucap Saga pada sang papa yang masih mematung di depan pintu kamarnya. "Malam," jawab Pak Norman sambil tersenyum, kemudian memutar handle pintu dan masuk ke dalam.Saga dan Melati disambut aroma musk ketika memasuki kamar. Ruangan sudah adem dari AC central, jadi mereka tidak menyalakan AC kamar."Aku ganti baju dan kita salat isya dulu, Mas." Melati meletakkan tas di meja yang ada di pojok kamar. Ia mengeluarkan baju tidur miliknya dan untuk sang suami lalu diletakkannya di atas ranjang. Mereka bergantian cuci muka, ganti baju lantas salat isya. Saga ternyata cukup sempurna menjadi imam salat bagi Melati. Mengingat dulu dia jarang sekali sembahyang.Setelah mencium tangan