Meski sudah jam delapan pagi, sisa kabut masih melayang-layang di udara perkebunan. Menyapu pucuk-pucuk daun teh, yang akan meninggalkan jejak embun jika kabut memudar. Pagi itu Akbar mengajak mamanya pergi ke perkebunan. Biar Bu Rista mendapatkan hawa Segar untuk menenangkan pikiran. Ibunya hampir tidak pernah datang ke perkebunan mereka. Apalagi ikut mengurusi usaha. Bu Rista lebih suka janjian dan jalan dengan teman-temannya ke kota.Dengan udara yang masih segar dan fresh, melihat warna hijau yang membentang luas, Akbar berharap pikiran sang mama kembali jernih."Tangan dan kaki mama masih terasa kebas?" tanya Akbar pada Bu Rista yang duduk di kursi rotan depan kantor, menghadap ke hamparan tanaman teh."Masih agak berat buat jalan, Bar.""Mama, ingat pesan dokter 'kan? Obat itu hanya berapa persen bisa mengobati keluhan Mama. Selebihnya semangat dan kontrol pikiran yang dapat menunjang Mama kembali pulih." Sebenarnya Akbar sendiri lelah dengan sikap mamanya. Terlalu labil untuk
Waktu yang Hilang- Kaya Mendadak Pak Norman memandang putranya dan sang menantu yang tengah membuka kamar nomer W05. Entah ini kebetulan atau apa, kamar bersejarah itu kini ditempati putra dan menantunya. Sedangkan ia sendiri tidur di kamar sebelah kirinya dan Pak Slamet di sebelahnya lagi."Selamat malam, Pa," ucap Saga pada sang papa yang masih mematung di depan pintu kamarnya. "Malam," jawab Pak Norman sambil tersenyum, kemudian memutar handle pintu dan masuk ke dalam.Saga dan Melati disambut aroma musk ketika memasuki kamar. Ruangan sudah adem dari AC central, jadi mereka tidak menyalakan AC kamar."Aku ganti baju dan kita salat isya dulu, Mas." Melati meletakkan tas di meja yang ada di pojok kamar. Ia mengeluarkan baju tidur miliknya dan untuk sang suami lalu diletakkannya di atas ranjang. Mereka bergantian cuci muka, ganti baju lantas salat isya. Saga ternyata cukup sempurna menjadi imam salat bagi Melati. Mengingat dulu dia jarang sekali sembahyang.Setelah mencium tangan
Saga mengetuk pintu kamar Giri. Temannya itu muncul dari dalam dengan kondisi yang acak-acakan, baru bangun tidur. "Ga," panggilnya. "Kamu baru bangun?" Saga duduk di kursi depan kamar kos rekannya."Aku lembur tadi malam. Biasalah tiap akhir bulan selalu banyak kerjaan. Aku sempat makan malam di kafe istrimu, tapi kata karyawan di sana kalian sedang keluar." Giri duduk di sebelah Saga."Iya, aku sama Melati memang keluar tadi malam. Papaku datang dari Malang. Terus kuantar beliau ketemuan dengan keluarga ibuku.""Syukurlah, hubungan kalian bisa membaik. Itu mobil papamu?" Giri memandang mobil mewah yang terparkir di luar pagar kos."Iya. Aku mau mengajaknya jalan-jalan hari ini. Tapi aku pengen ketemu ibu kos dulu. Pagi ini beliau ada di rumah tak?""Ada kayaknya. Langsung saja kamu ke sana."Saga menatap rumah induk yang jendelanya sudah terbuka semua. "Rencananya aku juga langsung membawa barang-barangku pergi setelah aku pamitan.""Nanti kubantu berkemas.""Barangku tak banyak, R
Waktu yang Hilang- Semalam di MalangMelati duduk sendirian di salah satu kursi mini bar. Suasana hening dengan cahaya lampu malam kekuningan. Tiga orang karyawan yang tidur di kafe, sudah terlelap berkelana ke alam mimpi semenjak tadi.Dia gelisah karena Saga belum pulang sejak pergi usai salat asar. Khawatir saja terjadi sesuatu di pertemuan keluarga mereka. Apalagi yang dibahas saat ini adalah hal yang sangat sensitif.Diperhatikannya aplikasi pesan. Nomer sang suami tidak aktif sejak jam enam sore tadi. Mungkin setelah mengirim pesan padanya ketika selesai salat Maghrib, Saga tak lagi membuka ponsel.Melati juga ingat Moana. Pasti pakaian dan mainan yang dititipkan pada mertuanya dua hari yang lalu sudah dipakai oleh bidadari kecilnya. Dan besok pagi, mereka akan melakukan perjalanan pulang ke Malang. Tidak sabar bertemu dengan Moana. Tapi apa Saga tidak capek jika mereka besok pagi langsung berangkat ke Malang? Sementara tengah malam juga belum pulang. Pikirkan Melati menjangkau
"Sampai kapanpun, kamu, Saga, Melati, dan Moana akan terus saling berkaitan, Nak. Kamu dan Saga bersaudara. Melati ibunya anakmu. Dan papa tahu ini nggak gampang untuk dijalani. Tapi tuntutan hidup kalian memang seperti ini. Papa yakin kamu mampu." Akbar teringat ucapan papanya tadi pagi.Mampu sebatas mana? Apa mungkin ia sanggup bersikap biasa pada adik yang telah memiliki jiwa raga mantan istrinya? Membayangkan tentang kebersamaan mereka saja, nyaris membuat Akbar gila. Belum lagi hubungannya dengan Nara yang tidak jelas. Namun kemarin ia sudah menghubungi Pak Nayoan, pengacara yang dulu mengurusi perceraiannya dengan Melati. Akbar akan mengajukan gugatan cerai."Ambillah keputusan yang terbaik. Papa mendukungmu. Carilah kebahagiaan untukmu," jawaban Pak Norman, ketika Akbar mengutarakan niatnya ingin menceraikan Nara."Sebenarnya papa sendiri sudah bertahun-tahun nggak bahagia, kan? Beberapa hari aku bersama mama karena papa masih di Jogja, membuatku sadar dan mengerti akan sesua
Waktu yang Hilang- Saga Badra Alam "Ini ada obat Paracetamol yang baru saya beli tadi pagi, Mas." Pak Slamet memberikan obat yang diambilnya dari kotak obat. Kemudian membuka lemari tengah dan mengambil selimut bersih dari sana."Maaf, saya ngrepotin, Pak Slamet.""Ora opo-opo, Mas. Sebelum minum obat, Mbak Melati suruh makan roti dulu." Sebungkus roti tawar diberikan Pak Slamet pada Saga."Saya bikinkan teh panas." Sambil mengikat sarung di pinggangnya, Pak Slamet tergesa ke dapur untuk membuat minum.Saga kembali ke kamar. Diletakkannya roti dan obat di atas meja. Dia membangunkan Melati yang tengah meringkuk dengan tubuh menggigil."Sayang, bangun. Ayo minum obat dulu. Kamu demam ini." Saga bicara lirih seraya menyentuh kening istrinya.Melati membuka mata. Wajahnya pucat dan bibirnya bergetar karena tubuhnya terasa kedinginan, walaupun badannya panas.Pak Slamet mengetuk pintu kamar. Saga bangkit untuk membukanya. Laki-laki itu mengangsurkan segelas teh panas di atas nampan keci
"Kadang saya ini bilang sama Pak Norman, kenapa nggak pergi saja untuk sementara. Bisa ikut Mas Saga di Jogja atau ke rumah adiknya di Jember. Sementara tinggalkan Bu Rista. Coba lihat apa yang terjadi jika bapak nggak ada. Biar mamanya Mas itu sadar. Nggak semaunya sendiri. Saya kasihan banget sama bapak. Udah ngalah sedemikian rupa, tapi ibu nggak menghargai sama sekali. Jika orang lain, sudah lama ditinggalkan wanita seperti itu." Cerita Pak Slamet sambil makan."Saya rasa, sikap mama ini bukan karena ingin balas dendam pada papa saya, Pak. Mungkin memang begitu sifat asli Mama Rista. Tidak tahu bagaimana cara menghargai orang lain. Kenapa berdendam hingga sekarang ini, sedangkan perempuan yang ia benci pun sudah tiada.""Bapak sempat bilang, kalau mau membawa ibu ke psikiater. Tapi ibu mencak-mencak nggak mau. Malah marah dan bilang kalau dirinya nggak gila. Padahal yang ke psikiater belum tentu orang gila, 'kan, Mas."Saga menanggapi ucapan Pak Slamet dengan senyuman. Memang mama
Waktu yang Hilang- Dua Garis Saga mencari suara yang memanggilnya. Ternyata Farhana tersenyum ceria seraya melambaikan tangan padanya. Gadis itu bangkit lantas menghampiri Saga yang hendak melangkah ke samping kafe. Farhana meninggalkan dua teman yang duduk satu meja dengannya."Apa kabar, Mas Saga?" Farhana mengulurkan tangan untuk menyalami. "Baik.""Nggak nyangka ketemu Mas di sini. Papa yang ngasih tahu kalau Mas Saga pindah.""Aku minta maaf karena belum sempat bertemu ibu."Farhana tersenyum. "Nggak apa-apa. Oh ya, duduklah bersama kami. Mas Saga, mau minum apa biar aku yang pesenenin." Farhana mengira, Saga ke kafe untuk makan atau pun minum."Terima kasih banyak, aku tidak ingin minum." Saga hendak melangkah, tapi Farhana mencegah. "Mas Saga, sekarang tinggal di mana?""Di sini.""Di sini?" Farhana tampak bingung."Ya. Aku tinggal di kafe ini.""Oh, jadi kafe ini milik Mas Saga?" Gadis itu makin kebingungan. Karena selama beberapa kali datang bersama teman-temannya. Bukanka