Waktu yang Hilang- Dua Garis Saga mencari suara yang memanggilnya. Ternyata Farhana tersenyum ceria seraya melambaikan tangan padanya. Gadis itu bangkit lantas menghampiri Saga yang hendak melangkah ke samping kafe. Farhana meninggalkan dua teman yang duduk satu meja dengannya."Apa kabar, Mas Saga?" Farhana mengulurkan tangan untuk menyalami. "Baik.""Nggak nyangka ketemu Mas di sini. Papa yang ngasih tahu kalau Mas Saga pindah.""Aku minta maaf karena belum sempat bertemu ibu."Farhana tersenyum. "Nggak apa-apa. Oh ya, duduklah bersama kami. Mas Saga, mau minum apa biar aku yang pesenenin." Farhana mengira, Saga ke kafe untuk makan atau pun minum."Terima kasih banyak, aku tidak ingin minum." Saga hendak melangkah, tapi Farhana mencegah. "Mas Saga, sekarang tinggal di mana?""Di sini.""Di sini?" Farhana tampak bingung."Ya. Aku tinggal di kafe ini.""Oh, jadi kafe ini milik Mas Saga?" Gadis itu makin kebingungan. Karena selama beberapa kali datang bersama teman-temannya. Bukanka
"Hai." Ketika tengah asyik berbincang, tiba-tiba muncul Alita menyapa mereka. Gadis yang masih memakai setelan kerja itu, tersenyum pada Saga dan Melati."Mbak, baru pulang kerja?" tanya Melati. Lagi-lagi menahan gejolak dalam benaknya. Ia yakin, kedatangan gadis itu tidak sekedar untuk minum atau memesan makanan. Dia butuh teman seperti yang ia ceritakan beberapa waktu yang lalu. Bisa juga ingin bertemu Saga. Dugaan yang terakhir ini membuat Melati was-was."Iya, dari kantor aku langsung belok ke sini. Mau nganterin undangan buat Saga. Habis Salat Maghrib nanti ada acara tasyakuran di rumah nenekku. Kamu datang, ya!" Melati menyodorkan kertas undangan warna putih pada Saga."Keluargaku dari Surabaya sore tadi juga baru nyampe sini," tambah Alita lantas berdiri lagi. "Aku pamit dulu. Mari, Mel.""Tunggu!" tahan Saga.Alita tidak jadi melangkah. "Maaf, aku tak bisa datang.""Kenapa?" Dahi Alita mengernyit heran. Melati juga menatap suaminya."Aku dan Melati mau keluar habis maghrib na
Waktu yang Hilang- Bangunlah, Sayang.Saga diam merasakan sesaknya napas yang menyekat tenggorokan. Saat menyaksikan wanita yang paling dicintainya terbaring diam, tertusuk serangkaian alat yang ia tidak tahu sama sekali cara kerjanya. Cairan infus menetes dari selang yang hilir mudik di tangan Melati. Napasnya juga terlihat sangat lemah.Pesan dari Mbak Harti tadi yang membuatnya melesat dengan kecepatan entah berapa agar segera sampai di rumah sakit. Mbak Harti tadi mengirimkan foto pintu ruang ICU dengan keterangan Melati mengalami kecelakaan.Melati terbaring diam dengan beberapa luka yang terbalut perban.Melati pamitan hendak membeli buah di toko seberang jalan. Tiba-tiba saja ada mobil dengan kecepatan tinggi menyenggolnya hingga wanita itu terpental. Dan pelakunya melesat pergi melarikan diri."Melihat posisi Mbak Mel tadi, saksi mata dan orang-orang yang ada di sana meragukan kalau itu hal yang nggak sengaja, Mas. Wong Mbak Mel masih di pinggir belum menyeberang." Cerita Mba
Tiga hari setelah mendapatkan perawatan, Melati diizinkan untuk pulang. Dokter menyarankan agar bed rest total mengingat dirinya tengah mengandung. "Kamu mau makan apa, biar kubelikan?" tanya Saga yang duduk di samping Melati.Wanita yang tengah terbaring itu menggeleng. "Mas, harus masuk kerja kan hari ini.""Aku masih cuti. Besok baru masuk kerja. Itu pun kalau kamu benar-benar sudah sehat.""Aku sudah sehat ini. Lecet-lecet di tangan dan kakiku juga sudah mengering. Mas, tinggal saja nggak apa-apa. Di sini ada Mbak Harti dan anak-anak."Saga mengangguk. "Hari ini aku akan ke kantor polisi untuk menindaklanjuti laporan kemarin. Aku harus tahu siapa yang menabrakmu.""Tapi aku sudah sehat kan, Mas.""Tak bisa, Sayang. Aku harus tahu siapa orang itu. Kamu istirahat, ya. Nanti kalau butuh apa-apa telepon saja." Saga menyelimuti kaki Melati. Setelah mengecup kening istrinya, Saga tergesa keluar kamar.Baru saja turun dari tangga paling bawah, Bu Ariana masuk lewat pintu samping. "Kam
Waktu yang Hilang- Batas Lelah"Melati sedang hamil empat minggu sekarang." Pak Norman menjawab dengan hati-hati. Dia harus menjaga perasaan Akbar. Putranya yang sekarang juga sedang tidak baik-baik saja.Akbar mengalihkan perhatian pada gerimis yang turun malam itu. Ada yang mengguris dalam hatinya. Tentang kelakuan sang mama, tentang Saga dan Melati. Dengannya perlu waktu hampir tiga tahun untuk Melati bisa hamil. Karena kesuburannya yang sedang bermasalah. Sekarang dinikahi Saga, tidak menunggu berganti bulan Melati langsung hamil. Tentu mereka sangat berbahagia sekarang.Hening. Akbar diam. Merasakan hatinya yang campur aduk. Luka, kecewa, dan jika ada kata di atas penyesalan, begitulah gambaran hatinya sekarang. Satu lagi, benarkah Saga akan melanjutkan proses hukum terhadap mamanya?Bingung. Membela sang mama, jelas kalau dia salah. Akbar pun sudah lelah dengan sikap mamanya yang sudah kelewat batas. Dibiarkan, mana tega seorang anak melihat ibunya terjerat kasus besar begini.
Bu Rista menatap marah pada putranya saat mendengar Akbar membela ibu tirinya. "Kamu membelanya? Membela perempuan binal itu?""Astaghfirullah. Istighfar, Ma. Bu Ariani nggak tahu saat menerima papa dulu. Ma, kalau Mama ingin aku tetap waras dan bertahan di sini. Tolong berubah, Ma. Aku capek, papa juga capek. Hidupku berantakan saat ini, jangan tambahi bebanku lagi." Akbar menangis. Mamanya tidak juga mengakui kesalahan dan menyesal, kendati sekarang berada dalam masalah besar."Aku lelah, Ma." Akbar bangkit kemudian meninggalkan mamanya sendirian. Niat hati ingin membicarakan kasus yang akan mereka hadapi, berharap sang mama untuk kali ini saja mau meminta maaf pada Saga, agar kasusnya dihentikan. Tapi ternyata Bu Rista memang berkepala batu.Saat Akbar keluar, masuk Mbok Kiyem yang membawakan teh di nampan. Apa kurangnya sang papa memperlakukan mamanya? Sejak dulu selalu dilayani bak ratu. Sekarang Akbar sadar, kenapa papanya sampai mendua. Walaupun itu tetaplah sebuah kesalahan,
Waktu yang Hilang- Babak Final Malang.Saga duduk berhadapan dengan sang kakak dan papanya di sebuah rumah makan. Mereka memang janjian bertemu di luar rumah. Tepat di jam makan siang Saga sampai di Malang.Walaupun bicara cukup lama, tapi tidak ada satu kata pun keluar dari mulut Akbar yang memintanya untuk menghentikan kasus hukum yang sedang di proses untuk Bu Rista. Padahal dalam minggu ini, mungkin sang mama akan mendapatkan panggilan untuk penyelidikan.Namun Saga tahu, maksud dari Akbar yang menceritakan kondisi mamanya. Tentu saja supaya Saga bersimpati. Bagaimanapun juga Akbar mana tega jika ibunya meringkuk dibalik jeruji besi. Selelah apapun dia menghadapi kelakuan sang mama, tapi apa mungkin sebagai seorang anak tidak mengupayakan untuk membantu ibu kandungnya sendiri."Sekarang Mama nggak ingin berinteraksi dengan siapapun, kecuali dengan Mbok Kiyem. Mama hanya menangis, meracau, kadang teriak-teriak. Dokter bilang, mama dalam kondisi stres berat. Terlebih setelah Papa
Pak Norman spontan menggeleng. "Berpuluh tahun, apapun masalah di antara kami, nggak pernah terlintas sedikitpun hendak bercerai dari mama kalian. Papa berharap, seiring berjalannya waktu semua akan pulih dan baik-baik saja. Papa berpikir mungkin bukan tahun ini, mungkin tahun depannya lagi. Terus seperti itu hingga lima tahun, sepuluh, lima belas, hingga dua puluh tahun. Papa kurang sabar apa coba. Kurang lelah apa. Kalau kepala ini bukan bikinan Gusti Allah, mungkin sudah lama meledak."Papa selalu berpikir seribu kali untuk berpisah. Talak juga bukan hal yang bisa dibuat main-main. Tapi hingga detik ini papa benar-benar sudah menyerah. Mungkin hidup sendiri-sendiri lebih baik. Papa harap, kalian berdua memahami ini. Sekian lama papa bertahan dan keputusan kali ini sudah final. Mungkin papa dan mama hanya bisa menjadi teman. Kami masih bisa menjalin silaturahmi sebagai saudara saja. Papa akan menempati rumah almarhumah ibu kalian."Pak Norman memandang Akbar. "Urus perkebunan dengan