Waktu yang Hilang- Jangan Ambil MoanaAkbar mengangguk pada Melati yang memandang ke arahnya. Dia menenteng paper bag ukuran besar. Lantas muncul Pak Norman. Melati mengandeng Moana seraya menghampiri mereka. "Mari masuk, Pa. Mas Akbar." Melati mencium tangan papa mertua dan menyalami mantan suami yang sekarang menjadi kakak iparnya. Lantas mengajak mereka masuk ke belakang duduk dekat mini bar. Melati menyuruh Mbak Harti untuk membuatkan minum dan menyiapkan cemilan.Melihat Melati dengan perutnya yang membuncit, dada Akbar penuh oleh rasa yang entah apa namanya. Campur aduk tidak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata.Moana menempel terus pada sang mama. Mengusap perut bulat Melati. "Kata papa, aku mau punya adek ya, Ma!"Melati mengangguk sambil tersenyum. "Iya, Sayang.""Adiknya laki-laki apa perempuan, Ma?""Belum tahu. Tunggu sampai adiknya lahir dulu, ya."Moana mengangguk kemudian mencium permukaan perut bulat sang ibu. Kebahagiaan Melati tiada terkira saat itu. Dia memang seda
Tepat jam delapan malam, Saga sampai di rumah. Tersenyum lebar saat melihat papa dan sang kakak mengunjungi ke Jogja."Om," teriak Moana langsung turun dari kursi dan menghampiri Saga yang tengah mencium tangan papa dan menyalami sang kakak."Hai, Moana Sayang." Saga merentangkan tangan, memeluk dan mengangkat bocah cantik yang menunggu untuk di gendongnya.Akbar diam memperhatikan. Semua yang ia cintai, mencintai Saga. Melati yang dulu menatapnya dengan pandangan kagum dan memuja, kini seluruh hatinya milik Saga. Moana juga. Sejak kecil gadisnya itu memang dekat dengan Omnya. Ada hari di mana nanti, dirinya, Melati, Saga, harus menjelaskan posisi mereka pada Moana.Ia yakin, hal ini tidak akan menjadi sesuatu yang aneh bagi Moana. Sebab sejak kecil, Moana sudah merasakan bagaimana sayangnya si om pada dirinya.Sudah waktunya ia harus benar-benar rela, ikhlas, meski untuk itu butuh waktu yang tidak sebentar, karena sampai sekarang dia belum bisa dikatakan ikhlas. Tentang Melati, mungk
Waktu yang Hilang- Seandainya Saja Mobil hitam berhenti di halaman, tepat di depan garasi. Seorang wanita turun dan tersenyum pada Bu Rista yang berdiri di teras."Assalamu'alaikum, Jeng Rista," sapa wanita itu seraya melangkah menghampiri sahabat baiknya."Wa'alaikumsalam," jawab Bu Rista merasa sangat surprise kedatangan rekan yang sudah lama tidak bertemu. Tepatnya sejak peristiwa pergaduhan dan terbongkarnya tentang Nara kala itu. Setelahnya mereka tidak pernah saling bertemu. Hanya sesekali bertanya kabar lewat telepon. Itu pun sangat jarang.Dua wanita itu saling berpelukan. "Apa kabar, Jeng Rista? Kamu tampak sangat kurusan sekarang." Setelah memeluk teman baiknya, Bu Yahya memperhatikan raga Bu Rista yang terlihat sangat ringkih dan terlihat tambah tua. Padahal selama ini, di antara rekan-rekan satu geng mereka, Bu Rista-lah yang selalu jadi pusat perhatian. Gaunnya selalu up to date, perhiasan lengkap, semua yang menempel di raganya barang-barang mahal dan branded. Sekara
Saga dan Melati buru-buru mandi. Pasti papa dan Akbar sudah menunggu untuk sarapan. Melati mengenakan bergo warna pastel tanpa mengeringkan rambutnya lebih dulu. "Sayang, hati-hati kalau jalan," tegur Saga sambil meraih lengan Melati yang tergesa-gesa menuruni tangga. "Mereka pasti udah nungguin kita, Mas.""Tidak apa-apa. Belum ada jam tujuh sekarang ini." Saga melihat jam tangannya."Kemarin kan aku pesan makanan dari restoran Bulek untuk jam tujuh pagi. Takutnya kurir yang nganterin udah menunggu kita di luar."Wanita itu menghampiri Mbak Harti yang selalu bangun lebih pagi dari karyawan yang lain."Dibuatin minum sekarang, Mbak?" tanya Mbak Harti."Ya, Mbak. Tiga kopi ya, jangan terlalu manis."Saga membuka pintu kafe bagian samping. Benar saja, seorang pemuda tanggung, pegawai dari Rumah Makan Wijaya Kusuma tengah duduk di kursi sambil membawa rantang susun berisi lauk pesanan Melati. Mereka lantas membawanya ke rumah belakang."Maaf, Pa, Mas Akbar, nunggu lama ya tadi?" Melati
Waktu yang Hilang- Bertemu Lagi Menikah lagi? Tentu tidak gampang untuk mendapatkan seorang perempuan yang benar-benar tulus menyayangi Moana. Menerima masa lalunya yang sungguh rumit. Bisa berdampingan juga dengan sang mama dan menghadapi segala sifatnya. Siapa perempuan yang sanggup berdiri tegak di sisinya?Sekarang prioritas Akbar adalah Moana. Dia gagal membahagiakan Melati, ia tidak boleh gagal menjadi ayah yang baik dan membahagiakan putri semata wayangnya.Jika ia menikah dengan janda yang telah memiliki anak, banyak hal yang harus ia lakukan. Mendekati anaknya, membuat anak masing-masing bisa akur menjadi saudara. Ini sungguh rumit dan belum tentu mereka bisa rukun.Andai menikah dengan perawan, lalu perawan mana yang mau sama dia. Dengan masa lalu yang kelam seperti itu.Untuk itulah Akbar lebih menikmati kesendirian, daripada salah melangkah dan menyakiti Moana. Gadis kecil yang menjadi nyawanya sekarang ini."Masa depanmu masih panjang, Bar. Carilah pendamping hidup," ka
Bu Rista gelisah menatap putranya. Mendung masih tampak di wajah lelaki yang dipenuhi cambang itu. Akbar kurang memperhatikan diri semenjak bercerai dari Melati. Nanti setelah mamanya mengomel, dia baru mau cukuran.Menyesal juga kenapa dulu dia yang mendukung mati-matian saat Akbar ingin menikah lagi. Hanya karena ingin balas dendam pada Melati, karena orang tua dari mantan menantunya itu berteman baik dengan Bu Ariani.Sekarang bukan mereka yang menderita, tapi dirinya yang menuai hasilnya."Apa papamu pendekatan dengan Bu Ariana?" tanya Bu Rista pelan. Sebenarnya ia malu menanyakan hal itu, tapi rasa penasaran yang membuatnya nekat bertanya. Akbar menatap sang mama. Jelas terlihat ketidakrelaan di wajah tua itu. "Enggak, Ma. Papa sudah bahagia menikmati hidupnya. Beliau bilang hanya ingin fokus ibadah saja sekarang. Bu Ariana sendiri perempuan yang terhormat. Mapan meski pun seorang janda. Almarhum suaminya seorang kapten. Keluarganya juga terpandang di Jogja sana. Mama, nggak per
Waktu yang Hilang- Pulang"Mas, aku ke rumah untuk bertemu Tante Rista dulu, ya. Sekalian aku pamit, nanti dari sana aku langsung pulang. Sore nanti mau balik ke Jombang," kata Nara setelah Pak Radi menunggunya di atas motor di depan kantor."Ya. Hati-hati di jalan.""Terima kasih banyak, Mas.""Semoga kamu nanti mendapatkan jodoh seorang pria yang tepat, Ra."Nara senang sekaligus sedih mendengar doa Akbar. Dipandanginya lelaki yang ia cintai itu. "Aamiin. Makasih. Semoga Mas nanti mendapatkan perempuan yang sholehah."Akbar tersenyum. "Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Lelaki itu masuk kembali ke kantornya setelah Nara pergi di antar oleh Pak Radi. Duduk di kursi dan menghadap laptopnya lagi. Namun pikirannya jauh berkelana. Tak ada yang tahu segala rahasia di depan sana. Seperti Nara. Setelah berbulan-bulan menghilang, sekarang muncul dengan perubahan yang luar biasa.Apa yang diceritakan tadi pasti hanya sebagian kecil dari pergolakan batin sebelum akhirnya ia hijrah. Ini p
Panggilan itu membuat Saga menoleh. Gama yang belum masuk ke dalam mobilnya juga melihat ke arah gadis cantik yang menyalami Saga."Farhana, kamu sama siapa?" tanya Saga."Sendirian, Mas. Tadi sama teman sih, tapi mereka masih mau nonton. Mas Saga, mau pulang?""Iya.""Aku juga mau pulang. Boleh numpang, nggak?" Kebetulan Saga telah membeli kendaraan sendiri. Jika ada urusan di luar kantor, ia akan mengendarai mobil, tapi untuk keseharian ia lebih nyaman naik motor."Biasanya kamu bawa kendaraan sendiri, kan?""Iya, tapi tadi aku nebeng sama teman."Saga menebarkan pandangan ke area parkir yang luas. Siapa tahu ada taksi yang tengah mangkal di sana atau kebetulan sedang menurunkan penumpang. "Maaf, aku tak bisa ngasih tumpangan. Apa sebaiknya kamu naik taksi saja? Biar aku telpon taksi online."Farhana tersenyum kecut. Kalau taksi online tidak perlu minta tolong untuk dipesankan. Dia bisa melakukannya sendiri. Tadi emang sengaja, melihat Saga sejak dari lantai tiga dan berniat untuk