Waktu yang Hilang- Bertemu Lagi Menikah lagi? Tentu tidak gampang untuk mendapatkan seorang perempuan yang benar-benar tulus menyayangi Moana. Menerima masa lalunya yang sungguh rumit. Bisa berdampingan juga dengan sang mama dan menghadapi segala sifatnya. Siapa perempuan yang sanggup berdiri tegak di sisinya?Sekarang prioritas Akbar adalah Moana. Dia gagal membahagiakan Melati, ia tidak boleh gagal menjadi ayah yang baik dan membahagiakan putri semata wayangnya.Jika ia menikah dengan janda yang telah memiliki anak, banyak hal yang harus ia lakukan. Mendekati anaknya, membuat anak masing-masing bisa akur menjadi saudara. Ini sungguh rumit dan belum tentu mereka bisa rukun.Andai menikah dengan perawan, lalu perawan mana yang mau sama dia. Dengan masa lalu yang kelam seperti itu.Untuk itulah Akbar lebih menikmati kesendirian, daripada salah melangkah dan menyakiti Moana. Gadis kecil yang menjadi nyawanya sekarang ini."Masa depanmu masih panjang, Bar. Carilah pendamping hidup," ka
Bu Rista gelisah menatap putranya. Mendung masih tampak di wajah lelaki yang dipenuhi cambang itu. Akbar kurang memperhatikan diri semenjak bercerai dari Melati. Nanti setelah mamanya mengomel, dia baru mau cukuran.Menyesal juga kenapa dulu dia yang mendukung mati-matian saat Akbar ingin menikah lagi. Hanya karena ingin balas dendam pada Melati, karena orang tua dari mantan menantunya itu berteman baik dengan Bu Ariani.Sekarang bukan mereka yang menderita, tapi dirinya yang menuai hasilnya."Apa papamu pendekatan dengan Bu Ariana?" tanya Bu Rista pelan. Sebenarnya ia malu menanyakan hal itu, tapi rasa penasaran yang membuatnya nekat bertanya. Akbar menatap sang mama. Jelas terlihat ketidakrelaan di wajah tua itu. "Enggak, Ma. Papa sudah bahagia menikmati hidupnya. Beliau bilang hanya ingin fokus ibadah saja sekarang. Bu Ariana sendiri perempuan yang terhormat. Mapan meski pun seorang janda. Almarhum suaminya seorang kapten. Keluarganya juga terpandang di Jogja sana. Mama, nggak per
Waktu yang Hilang- Pulang"Mas, aku ke rumah untuk bertemu Tante Rista dulu, ya. Sekalian aku pamit, nanti dari sana aku langsung pulang. Sore nanti mau balik ke Jombang," kata Nara setelah Pak Radi menunggunya di atas motor di depan kantor."Ya. Hati-hati di jalan.""Terima kasih banyak, Mas.""Semoga kamu nanti mendapatkan jodoh seorang pria yang tepat, Ra."Nara senang sekaligus sedih mendengar doa Akbar. Dipandanginya lelaki yang ia cintai itu. "Aamiin. Makasih. Semoga Mas nanti mendapatkan perempuan yang sholehah."Akbar tersenyum. "Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Lelaki itu masuk kembali ke kantornya setelah Nara pergi di antar oleh Pak Radi. Duduk di kursi dan menghadap laptopnya lagi. Namun pikirannya jauh berkelana. Tak ada yang tahu segala rahasia di depan sana. Seperti Nara. Setelah berbulan-bulan menghilang, sekarang muncul dengan perubahan yang luar biasa.Apa yang diceritakan tadi pasti hanya sebagian kecil dari pergolakan batin sebelum akhirnya ia hijrah. Ini p
Panggilan itu membuat Saga menoleh. Gama yang belum masuk ke dalam mobilnya juga melihat ke arah gadis cantik yang menyalami Saga."Farhana, kamu sama siapa?" tanya Saga."Sendirian, Mas. Tadi sama teman sih, tapi mereka masih mau nonton. Mas Saga, mau pulang?""Iya.""Aku juga mau pulang. Boleh numpang, nggak?" Kebetulan Saga telah membeli kendaraan sendiri. Jika ada urusan di luar kantor, ia akan mengendarai mobil, tapi untuk keseharian ia lebih nyaman naik motor."Biasanya kamu bawa kendaraan sendiri, kan?""Iya, tapi tadi aku nebeng sama teman."Saga menebarkan pandangan ke area parkir yang luas. Siapa tahu ada taksi yang tengah mangkal di sana atau kebetulan sedang menurunkan penumpang. "Maaf, aku tak bisa ngasih tumpangan. Apa sebaiknya kamu naik taksi saja? Biar aku telpon taksi online."Farhana tersenyum kecut. Kalau taksi online tidak perlu minta tolong untuk dipesankan. Dia bisa melakukannya sendiri. Tadi emang sengaja, melihat Saga sejak dari lantai tiga dan berniat untuk
Waktu yang Hilang- Menjaga Perasaan Melati memakai baju hamil warna biru tua, dengan jilbab warna senada. Dalam tas ukuran sedang ia membawa pakaian ganti untuk dirinya dan Saga."Kamu belum minum vitamin dan obat penambah darah kan pagi ini? Minum dulu baru kita berangkat," kata Saga setelah Melati keluar kamar. Diambilnya benda yang berada di dekat meja televisi."Nanti siang bisa aku minum, Mas.""Sekarang saja. Kata Mbak Harti setiap hari kamu suka lupa kalau tak diingatkan." Saga memberikan obat di telapak tangan sang istri. Ditungguinya sampai obat itu berhasil ditelan oleh Melati.Setelah diam sejenak, Saga membawa tas di tangan kirinya, sedangkan tangan kanan membimbing sang istri menuruni tangga.Mbak Harti menyiapkan bekal untuk di perjalanan. Steak plus nasi, buah anggur hijau, peach, dan buah jeruk. Semenjak hamil kegemaran Melati pada buah meningkat drastis. Dalam seminggu ada saja buah yang tiba karena dibeli secara online. Kalau buah-buahan lokal, ia menyuruh salah se
Melati menyalami Pak Norman yang duduk di sofa, kemudian menyalami Bu Rista yang duduk di kursi sebelah brankar Moana. Wanita itu merangkul Melati. Netranya berkaca-kaca. Tubuhnya bersinggungan dengan perut Melati yang membulat. Hati wanita itu serasa terisis-iris. Pasti Akbar lebih merana lagi. Mantan istrinya sedang mengandung anak dari adiknya."Sudah berapa bulan?" tanya Bu Rista."Delapan bulan, Ma."Wanita itu manggut-manggut.Melati juga menyalami Akbar, baru kemudian memeluk Moana. Melati menangis tapi Moana tersenyum senang. Bocah perempuan itu menciumi pipi sang mama.Sementara Saga juga menyalami semua orang yang ada di sana. Terakhir dia mencium tangan Bu Rista. Wanita itu juga memeluk dan meneteskan air mata, meski bibirnya tidak mengucapkan sepatah kata pun."Om Aga," panggil Moana saat Saga mendekat dan tersenyum padanya.Gadis cantik itu memeluk omnya. "Om bawain boneka buat, Moa. Lihat ini, Winnie the Pooh." Saga menunjukkan boneka warna kuning di tangannya. Moana m
Waktu yang Hilang- Welcome, ShakaMelati masih bertahan untuk tidak membangunkan sang suami. Menahan rasa nyeri yang kadang datang kadang menghilang. Ia berharap ini hanya kontraksi palsu dan semoga tidak melahirkan di Malang. Tak bisa membayangkan kalau harus berjauhan dengan sang suami.Terus dia pun tidak membawa perlengkapan lahiran sama sekali. Baju bayi juga tak ada sehelai pun. Bagaimana ini? Pasti akan kalang kabut kalau ia lahiran di Malang."Sabar, Dek. Besok pagi kita pulang," ucapnya lirih sambil terus mengelus perut.Setengah jam kemudian ia sudah tidak tahan lagi. Rasa mulas kerap menghampiri. Dilihatnya jam di dinding kamar. Jarum jam menunjukkan pukul sebelas malam.Disentuhnya lengan Saga. "Mas," panggilnya pelan.Saga yang telah pulas itu cukup peka. Sontak dia membuka mata kemudian duduk memandang Melati yang bersandar di kepala dipan."Kamu kenapa?" Saga panik melihat Melati yang gelisah dengan keringat membasahi keningnya."Perutku mulas, Mas.""Kita ke dokter. S
Saga menahan tubuh Melati yang menengang, tangan wanita itu merangkul erat lengan sang suami yang berdiri tegak menopang raganya. Kontraksi yang datang membuatnya menghentikan langkah. Ruangan itu lumayan luas untuk berjalan-jalan. Agar seluruh otot panggul serta rahim menjadi lebih rileks, membantu pembukaan lebih cepat. "Mas, kita akan berpisah setelah ini," ucap Melatih lirih."Berpisah bagaimana?" Saga kaget. Pikirkannya sontak ke mana-mana. Bahkan menjangkau hal paling buruk yang menimpa wanita melahirkan. Ia tidak suka mendengar istrinya bicara seperti itu. Tak akan sanggup kehilangan Melati."Nggak mungkin setelah lahiran, aku dan anak kita pulang ke Jogja."Saga bernapas lega. Melati ternyata hanya kepikiran tentang hal itu. "Siapa bilang tidak mungkin? Aku akan membawa kalian langsung pulang."Melati tersenyum getir sambil menahan nyeri. "Nggak mungkin, Mas.""Jangan pikirkan hal itu dulu. Yang penting sekarang kamu bisa melahirkan secara lancar," potong Budhe Tami yang ikut