Panggilan itu membuat Saga menoleh. Gama yang belum masuk ke dalam mobilnya juga melihat ke arah gadis cantik yang menyalami Saga."Farhana, kamu sama siapa?" tanya Saga."Sendirian, Mas. Tadi sama teman sih, tapi mereka masih mau nonton. Mas Saga, mau pulang?""Iya.""Aku juga mau pulang. Boleh numpang, nggak?" Kebetulan Saga telah membeli kendaraan sendiri. Jika ada urusan di luar kantor, ia akan mengendarai mobil, tapi untuk keseharian ia lebih nyaman naik motor."Biasanya kamu bawa kendaraan sendiri, kan?""Iya, tapi tadi aku nebeng sama teman."Saga menebarkan pandangan ke area parkir yang luas. Siapa tahu ada taksi yang tengah mangkal di sana atau kebetulan sedang menurunkan penumpang. "Maaf, aku tak bisa ngasih tumpangan. Apa sebaiknya kamu naik taksi saja? Biar aku telpon taksi online."Farhana tersenyum kecut. Kalau taksi online tidak perlu minta tolong untuk dipesankan. Dia bisa melakukannya sendiri. Tadi emang sengaja, melihat Saga sejak dari lantai tiga dan berniat untuk
Waktu yang Hilang- Menjaga Perasaan Melati memakai baju hamil warna biru tua, dengan jilbab warna senada. Dalam tas ukuran sedang ia membawa pakaian ganti untuk dirinya dan Saga."Kamu belum minum vitamin dan obat penambah darah kan pagi ini? Minum dulu baru kita berangkat," kata Saga setelah Melati keluar kamar. Diambilnya benda yang berada di dekat meja televisi."Nanti siang bisa aku minum, Mas.""Sekarang saja. Kata Mbak Harti setiap hari kamu suka lupa kalau tak diingatkan." Saga memberikan obat di telapak tangan sang istri. Ditungguinya sampai obat itu berhasil ditelan oleh Melati.Setelah diam sejenak, Saga membawa tas di tangan kirinya, sedangkan tangan kanan membimbing sang istri menuruni tangga.Mbak Harti menyiapkan bekal untuk di perjalanan. Steak plus nasi, buah anggur hijau, peach, dan buah jeruk. Semenjak hamil kegemaran Melati pada buah meningkat drastis. Dalam seminggu ada saja buah yang tiba karena dibeli secara online. Kalau buah-buahan lokal, ia menyuruh salah se
Melati menyalami Pak Norman yang duduk di sofa, kemudian menyalami Bu Rista yang duduk di kursi sebelah brankar Moana. Wanita itu merangkul Melati. Netranya berkaca-kaca. Tubuhnya bersinggungan dengan perut Melati yang membulat. Hati wanita itu serasa terisis-iris. Pasti Akbar lebih merana lagi. Mantan istrinya sedang mengandung anak dari adiknya."Sudah berapa bulan?" tanya Bu Rista."Delapan bulan, Ma."Wanita itu manggut-manggut.Melati juga menyalami Akbar, baru kemudian memeluk Moana. Melati menangis tapi Moana tersenyum senang. Bocah perempuan itu menciumi pipi sang mama.Sementara Saga juga menyalami semua orang yang ada di sana. Terakhir dia mencium tangan Bu Rista. Wanita itu juga memeluk dan meneteskan air mata, meski bibirnya tidak mengucapkan sepatah kata pun."Om Aga," panggil Moana saat Saga mendekat dan tersenyum padanya.Gadis cantik itu memeluk omnya. "Om bawain boneka buat, Moa. Lihat ini, Winnie the Pooh." Saga menunjukkan boneka warna kuning di tangannya. Moana m
Waktu yang Hilang- Welcome, ShakaMelati masih bertahan untuk tidak membangunkan sang suami. Menahan rasa nyeri yang kadang datang kadang menghilang. Ia berharap ini hanya kontraksi palsu dan semoga tidak melahirkan di Malang. Tak bisa membayangkan kalau harus berjauhan dengan sang suami.Terus dia pun tidak membawa perlengkapan lahiran sama sekali. Baju bayi juga tak ada sehelai pun. Bagaimana ini? Pasti akan kalang kabut kalau ia lahiran di Malang."Sabar, Dek. Besok pagi kita pulang," ucapnya lirih sambil terus mengelus perut.Setengah jam kemudian ia sudah tidak tahan lagi. Rasa mulas kerap menghampiri. Dilihatnya jam di dinding kamar. Jarum jam menunjukkan pukul sebelas malam.Disentuhnya lengan Saga. "Mas," panggilnya pelan.Saga yang telah pulas itu cukup peka. Sontak dia membuka mata kemudian duduk memandang Melati yang bersandar di kepala dipan."Kamu kenapa?" Saga panik melihat Melati yang gelisah dengan keringat membasahi keningnya."Perutku mulas, Mas.""Kita ke dokter. S
Saga menahan tubuh Melati yang menengang, tangan wanita itu merangkul erat lengan sang suami yang berdiri tegak menopang raganya. Kontraksi yang datang membuatnya menghentikan langkah. Ruangan itu lumayan luas untuk berjalan-jalan. Agar seluruh otot panggul serta rahim menjadi lebih rileks, membantu pembukaan lebih cepat. "Mas, kita akan berpisah setelah ini," ucap Melatih lirih."Berpisah bagaimana?" Saga kaget. Pikirkannya sontak ke mana-mana. Bahkan menjangkau hal paling buruk yang menimpa wanita melahirkan. Ia tidak suka mendengar istrinya bicara seperti itu. Tak akan sanggup kehilangan Melati."Nggak mungkin setelah lahiran, aku dan anak kita pulang ke Jogja."Saga bernapas lega. Melati ternyata hanya kepikiran tentang hal itu. "Siapa bilang tidak mungkin? Aku akan membawa kalian langsung pulang."Melati tersenyum getir sambil menahan nyeri. "Nggak mungkin, Mas.""Jangan pikirkan hal itu dulu. Yang penting sekarang kamu bisa melahirkan secara lancar," potong Budhe Tami yang ikut
Waktu yang Hilang- MinderSiang itu kamar perawatan Melati dipenuhi oleh kerabat. Bu Rista, Akbar, Moana, dan Tini belum pulang, sudah kedatangan keluarga Ana. Kemudian Pak Norman, Budhe Tami, dan Pak Slamet yang baru pulang dari belanja. Shaka sama sekali tidak terganggu. Bayi tampan itu rewel kalau ingin minum susu saja. Setelah kenyang juga terlelap kembali. Moana tidak mau jauh-jauh dari adiknya. Bahkan bilang kalau adiknya tidak boleh dibawa pulang ke Jogja.Melati terharu. Dielusnya kepala bocah perempuan yang duduk di sebelahnya. Seorang psikolog anak mengatakan, bahwa anak bisa menjadi pintar itu ada waktunya sendiri. Anak usia dini harus jadi anak yang bahagia, bukan anak yang pintar. Karena yang berkembang pertama kali dari seorang anak adalah perasaannya. Kalau perasaannya bahagia, dia akan gampang menjadi anak yang cerdas.Walaupun ia telah bercerai dari Akbar. Nyatanya Moana tidak kekurangan kasih sayang. Bu Rista sangat mencintai cucunya itu.Akbar yang duduk di pojoka
"Kakek!" teriaknya memanggil Pak Norman. Laki-laki itu memeluk dan menciumi sang cucu. Kemudian Moana melepaskan diri dan berlari masuk rumah. "Om, mana adeknya?" tanya Moana sambil bersandar pada Saga."Itu adeknya lagi dipangku sama Mbah Tami." Saga menggendong Moana dan mengajaknya mendekat pada Budhe Tami."Moa, papa pulang dulu, ya. Nanti sore papa jemput lagi." Akbar bicara dari depan pintu.Moana mengangguk. "Mas, tidak masuk dulu?" tanya Saga."Nanti saja aku datang lagi. Aku mau ke perkebunan karena ada barang yang akan diambil siang ini.""Oke."Akbar memandang ke arah Tini yang duduk di sebelah Melati. "Tin, jagain Moa. Jangan biarkan ganggu adeknya yang lagi tidur.""Njih, Mas Akbar.""Ga, Mel, aku pamit dulu!" Akbar juga menyapa beberapa orang yang ada di dalam rumah. Orang-orang yang bagi Akbar menatapnya dengan pandangan aneh. Entah tatapan iba, mengejek, atau tertawa dalam hati melihat kenyataan hidupnya sekarang ini."Pa, aku pergi dulu," pamitnya pada sang papa."Iy
Waktu yang Hilang- Waktunya PulangAkbar masih diam menunggu keputusan mamanya. Beberapa orang tetangga yang di undang, memperhatikan mobil Akbar yang berhenti di sebelah mobilnya suami Yuli. Mereka sempat saling berbisik.Untung terhalang mobil itu, jadi tidak semua orang bisa melihatnya. Akbar paham perasaan sang mama. Butuh nyali besar untuk mampu berhadapan dengan keluarganya Bu Ariani. Perempuan yang selalu disakitinya selama ini. "Kita pulang saja, Bar," ajak Bu Rista."Ini kesempatan kita bertemu dengan mereka, Ma. Moana dan Tini juga ada di dalam," bujuk Akbar sekali lagi. Walaupun nyalinya juga masih dipertanyakan. Keluarga besar Saga akhirnya bakal tahu kalau dirinya mantan suami Melati. Kakak dari Saga sendiri. Akbar juga butuh menata hati."Jangan sekarang. Suatu hari nanti saja, kita bisa pergi ke Jogja. Sambil nganterin Moana bertemu sama adiknya."Akbar termenung sejenak mendengar keputusan sang mama. "Baiklah, Ma." Akbar melajukan mobilnya lagi. Dia yang memahami pe