Waktu yang Hilang- Semalam di MalangMelati duduk sendirian di salah satu kursi mini bar. Suasana hening dengan cahaya lampu malam kekuningan. Tiga orang karyawan yang tidur di kafe, sudah terlelap berkelana ke alam mimpi semenjak tadi.Dia gelisah karena Saga belum pulang sejak pergi usai salat asar. Khawatir saja terjadi sesuatu di pertemuan keluarga mereka. Apalagi yang dibahas saat ini adalah hal yang sangat sensitif.Diperhatikannya aplikasi pesan. Nomer sang suami tidak aktif sejak jam enam sore tadi. Mungkin setelah mengirim pesan padanya ketika selesai salat Maghrib, Saga tak lagi membuka ponsel.Melati juga ingat Moana. Pasti pakaian dan mainan yang dititipkan pada mertuanya dua hari yang lalu sudah dipakai oleh bidadari kecilnya. Dan besok pagi, mereka akan melakukan perjalanan pulang ke Malang. Tidak sabar bertemu dengan Moana. Tapi apa Saga tidak capek jika mereka besok pagi langsung berangkat ke Malang? Sementara tengah malam juga belum pulang. Pikirkan Melati menjangkau
"Sampai kapanpun, kamu, Saga, Melati, dan Moana akan terus saling berkaitan, Nak. Kamu dan Saga bersaudara. Melati ibunya anakmu. Dan papa tahu ini nggak gampang untuk dijalani. Tapi tuntutan hidup kalian memang seperti ini. Papa yakin kamu mampu." Akbar teringat ucapan papanya tadi pagi.Mampu sebatas mana? Apa mungkin ia sanggup bersikap biasa pada adik yang telah memiliki jiwa raga mantan istrinya? Membayangkan tentang kebersamaan mereka saja, nyaris membuat Akbar gila. Belum lagi hubungannya dengan Nara yang tidak jelas. Namun kemarin ia sudah menghubungi Pak Nayoan, pengacara yang dulu mengurusi perceraiannya dengan Melati. Akbar akan mengajukan gugatan cerai."Ambillah keputusan yang terbaik. Papa mendukungmu. Carilah kebahagiaan untukmu," jawaban Pak Norman, ketika Akbar mengutarakan niatnya ingin menceraikan Nara."Sebenarnya papa sendiri sudah bertahun-tahun nggak bahagia, kan? Beberapa hari aku bersama mama karena papa masih di Jogja, membuatku sadar dan mengerti akan sesua
Waktu yang Hilang- Saga Badra Alam "Ini ada obat Paracetamol yang baru saya beli tadi pagi, Mas." Pak Slamet memberikan obat yang diambilnya dari kotak obat. Kemudian membuka lemari tengah dan mengambil selimut bersih dari sana."Maaf, saya ngrepotin, Pak Slamet.""Ora opo-opo, Mas. Sebelum minum obat, Mbak Melati suruh makan roti dulu." Sebungkus roti tawar diberikan Pak Slamet pada Saga."Saya bikinkan teh panas." Sambil mengikat sarung di pinggangnya, Pak Slamet tergesa ke dapur untuk membuat minum.Saga kembali ke kamar. Diletakkannya roti dan obat di atas meja. Dia membangunkan Melati yang tengah meringkuk dengan tubuh menggigil."Sayang, bangun. Ayo minum obat dulu. Kamu demam ini." Saga bicara lirih seraya menyentuh kening istrinya.Melati membuka mata. Wajahnya pucat dan bibirnya bergetar karena tubuhnya terasa kedinginan, walaupun badannya panas.Pak Slamet mengetuk pintu kamar. Saga bangkit untuk membukanya. Laki-laki itu mengangsurkan segelas teh panas di atas nampan keci
"Kadang saya ini bilang sama Pak Norman, kenapa nggak pergi saja untuk sementara. Bisa ikut Mas Saga di Jogja atau ke rumah adiknya di Jember. Sementara tinggalkan Bu Rista. Coba lihat apa yang terjadi jika bapak nggak ada. Biar mamanya Mas itu sadar. Nggak semaunya sendiri. Saya kasihan banget sama bapak. Udah ngalah sedemikian rupa, tapi ibu nggak menghargai sama sekali. Jika orang lain, sudah lama ditinggalkan wanita seperti itu." Cerita Pak Slamet sambil makan."Saya rasa, sikap mama ini bukan karena ingin balas dendam pada papa saya, Pak. Mungkin memang begitu sifat asli Mama Rista. Tidak tahu bagaimana cara menghargai orang lain. Kenapa berdendam hingga sekarang ini, sedangkan perempuan yang ia benci pun sudah tiada.""Bapak sempat bilang, kalau mau membawa ibu ke psikiater. Tapi ibu mencak-mencak nggak mau. Malah marah dan bilang kalau dirinya nggak gila. Padahal yang ke psikiater belum tentu orang gila, 'kan, Mas."Saga menanggapi ucapan Pak Slamet dengan senyuman. Memang mama
Waktu yang Hilang- Dua Garis Saga mencari suara yang memanggilnya. Ternyata Farhana tersenyum ceria seraya melambaikan tangan padanya. Gadis itu bangkit lantas menghampiri Saga yang hendak melangkah ke samping kafe. Farhana meninggalkan dua teman yang duduk satu meja dengannya."Apa kabar, Mas Saga?" Farhana mengulurkan tangan untuk menyalami. "Baik.""Nggak nyangka ketemu Mas di sini. Papa yang ngasih tahu kalau Mas Saga pindah.""Aku minta maaf karena belum sempat bertemu ibu."Farhana tersenyum. "Nggak apa-apa. Oh ya, duduklah bersama kami. Mas Saga, mau minum apa biar aku yang pesenenin." Farhana mengira, Saga ke kafe untuk makan atau pun minum."Terima kasih banyak, aku tidak ingin minum." Saga hendak melangkah, tapi Farhana mencegah. "Mas Saga, sekarang tinggal di mana?""Di sini.""Di sini?" Farhana tampak bingung."Ya. Aku tinggal di kafe ini.""Oh, jadi kafe ini milik Mas Saga?" Gadis itu makin kebingungan. Karena selama beberapa kali datang bersama teman-temannya. Bukanka
"Hai." Ketika tengah asyik berbincang, tiba-tiba muncul Alita menyapa mereka. Gadis yang masih memakai setelan kerja itu, tersenyum pada Saga dan Melati."Mbak, baru pulang kerja?" tanya Melati. Lagi-lagi menahan gejolak dalam benaknya. Ia yakin, kedatangan gadis itu tidak sekedar untuk minum atau memesan makanan. Dia butuh teman seperti yang ia ceritakan beberapa waktu yang lalu. Bisa juga ingin bertemu Saga. Dugaan yang terakhir ini membuat Melati was-was."Iya, dari kantor aku langsung belok ke sini. Mau nganterin undangan buat Saga. Habis Salat Maghrib nanti ada acara tasyakuran di rumah nenekku. Kamu datang, ya!" Melati menyodorkan kertas undangan warna putih pada Saga."Keluargaku dari Surabaya sore tadi juga baru nyampe sini," tambah Alita lantas berdiri lagi. "Aku pamit dulu. Mari, Mel.""Tunggu!" tahan Saga.Alita tidak jadi melangkah. "Maaf, aku tak bisa datang.""Kenapa?" Dahi Alita mengernyit heran. Melati juga menatap suaminya."Aku dan Melati mau keluar habis maghrib na
Waktu yang Hilang- Bangunlah, Sayang.Saga diam merasakan sesaknya napas yang menyekat tenggorokan. Saat menyaksikan wanita yang paling dicintainya terbaring diam, tertusuk serangkaian alat yang ia tidak tahu sama sekali cara kerjanya. Cairan infus menetes dari selang yang hilir mudik di tangan Melati. Napasnya juga terlihat sangat lemah.Pesan dari Mbak Harti tadi yang membuatnya melesat dengan kecepatan entah berapa agar segera sampai di rumah sakit. Mbak Harti tadi mengirimkan foto pintu ruang ICU dengan keterangan Melati mengalami kecelakaan.Melati terbaring diam dengan beberapa luka yang terbalut perban.Melati pamitan hendak membeli buah di toko seberang jalan. Tiba-tiba saja ada mobil dengan kecepatan tinggi menyenggolnya hingga wanita itu terpental. Dan pelakunya melesat pergi melarikan diri."Melihat posisi Mbak Mel tadi, saksi mata dan orang-orang yang ada di sana meragukan kalau itu hal yang nggak sengaja, Mas. Wong Mbak Mel masih di pinggir belum menyeberang." Cerita Mba
Tiga hari setelah mendapatkan perawatan, Melati diizinkan untuk pulang. Dokter menyarankan agar bed rest total mengingat dirinya tengah mengandung. "Kamu mau makan apa, biar kubelikan?" tanya Saga yang duduk di samping Melati.Wanita yang tengah terbaring itu menggeleng. "Mas, harus masuk kerja kan hari ini.""Aku masih cuti. Besok baru masuk kerja. Itu pun kalau kamu benar-benar sudah sehat.""Aku sudah sehat ini. Lecet-lecet di tangan dan kakiku juga sudah mengering. Mas, tinggal saja nggak apa-apa. Di sini ada Mbak Harti dan anak-anak."Saga mengangguk. "Hari ini aku akan ke kantor polisi untuk menindaklanjuti laporan kemarin. Aku harus tahu siapa yang menabrakmu.""Tapi aku sudah sehat kan, Mas.""Tak bisa, Sayang. Aku harus tahu siapa orang itu. Kamu istirahat, ya. Nanti kalau butuh apa-apa telepon saja." Saga menyelimuti kaki Melati. Setelah mengecup kening istrinya, Saga tergesa keluar kamar.Baru saja turun dari tangga paling bawah, Bu Ariana masuk lewat pintu samping. "Kam