Restoran Baso Malang yang berada di pinggir Jalan Soekarno-Hatta itu tampak tak terlalu ramai siang ini. Hanya ada dua mobil terparkir, dan beberapa motor di pelataran yang luas itu. Dengan percaya diri Miftah menepikan motornya yang bahkan dipinjam dari teman tongkrongannya di Pos Ronda. Sejenak dia memerhatikan wajah di salah satu spion, merapikan rambut yang sengaja baru dicukur hanya untuk pertemuan spesialnya dengan Wulan siang ini. Meskipun berwajah tampan, tapi aura lelaki itu tak lagi terpancar. Apalagi dua pekan terakhir tubuhnya sering kali dicekokki minuman, rokok, juga bergadang hampir tiap malam. Lingkaran hitam tampak kentara di bawah mata cekungnya. Rahang tegas yang semula mempertegas proporsi wajahnya kini terlihat tirus dan kering.Langkah lebarnya memasuki ruang luas resto, setelah menyadari tak ada seorang pun pengunjung yang duduk di luar. Masih dengan semangat yang sama Miftah mengedarkan pandangan mencari sosok wanita pujaan yang sebulan terakhir berhasil meng
"Dia bukan anak Miftah, Ma. Dia bukan cucu Mama!"Nia menelan ludah susah payah, seolah ada benda padat sebesar biji zarah yang tersendat di tenggorokkannya, saat Miftah tiba-tiba menguak fakta yang selama ini dia dan Desi sembunyikan rapat-rapat setelah memutuskan untuk memperalat Miftah atas kehamilan Desi yang entah siapa ayahnya. Tubuh perempuan berambut pirang itu mundur dua langkah. Alisnya bertautan. Terkejut luar biasa."Dari mana lo tahu?" lirih pertanyaan itu terlontar."Keluar dari mulut adik lonte lo sendiri!" balas Miftah sengit."Berarti maneh panggih jeung Si Desi saacan indit? Di mana adi urang ayeuna? Di mana, Miftah?! (Berarti lo ketemu sama Desi sebelum dia pergi? Di mana adikku sekarang, di mana dia, Miftah?!)" Nia maju selangkah, lalu mencengkeram kerah jaket yang Miftah kenakan.Lelaki itu terdiam sejenak, lalu memalingkan pandangan."Mana aing nyaho. Maneh lancékna kudu na leuwih apal! (Mana gue tahu. Lo kakaknya harusnya lebih tahu)" Miftah menyentak tangan Ni
"Mif, kamu beneran nggak tahu Desi ke mana?" tanya Bu Nur hati-hati saat Miftah tengah merokok di teras. Hari sudah beranjak sore, tetapi perasaan wanita paruh baya itu masih tak tenang dibuatnya. Bahkan setelah kepergian Nia yang membawa serta Bila dan barang-barang milik Desi yang tersisa.Miftah menoleh, tajam tatapan lelaki itu saat menatap ibu kandungnya."Desi lagi, Desi lagi. Bisa nggak Mama berhenti bahas Si Lonte!" bentak Miftah sembari menyentak rokok pada asbak di atas meja.Bu Nur mengurut dada. Dengan nanar dia tatap putra semata wayangnya."Kenapa kamu jadi begini, sih, Mif?" lirih kalimat itu terlontar sembari menangkup wajah Miftah."Ck, apa, sih, Ma? Lebay banget. Miftah nggak kenapa-napa!" Dia menepis tangan Bu Nur, lalu memeriksa ponsel saat melihat satu notifikasi pesan masuk dari temannya."Mama nggak pernah liat kamu sekacau ini sebelumnya? Bilang, Mif. Ada apa?" Sekali lagi Bu Nur mendesak putranya."Yeh, dibilang nggak apa, ya nggak apa-apa. Miftah baik-baik a
"Udah berapa lama keciumnya, Bu?" tanya Tika pada Bu Susi sembari mengutak-atik gembok salah satu rumah kontrakannya yang pernah ditinggali Miftah dan Desi."Baru-baru ini. Kalau dari sana nggak terlalu kecium, lagian kamar ibu paling ujung, ke sekat satu kamar kosong lagi. Nyegatnya cuma dari kamar si Eneng-Eneng ini, kebetulan mereka emang baru balik lagi ke kontrakan setelah pulang ke rumah masing-masing seminggu lalu, mau pindah kerja katanya!" papar Bu Susi."Yang paling kecium dari kamar mandi, sih, Teh!" sahut salah satu dari ketiga gadis remaja itu."Iya, di belakang rumah juga nyengat pas tadi aku buang sampah," timpal yang lainya."Nggak mungkin sampah, sih. Soalnya di belakang bersih. Kalau Tikus atau Kucing, bisa jadi, sih," tambah satu lagi.Tika mengangguk, mencerna tiap keterangan dari masing-masing penghuni kontrakan sampai saat gembok berhasil dilepaskan."Kita pastiin aja, ya!"Tiba saatnya pintu dibuka. Dan kelimanya refleks menutup hidung. Bahkan salah satu dari ke
Mobil Ambulans dan Mobil Polisi terlihat sudah terparkir di pelataran kontrakan Tika. Malam semakin larut, tetapi warga yang penasaran masih terus berdatangan tak kunjung surut. Di depan garis polisi yang membentang Tika masih berdiri ditemani Ahmad dan Bu Susi. Tertegun menatap jasad Desi yang diangkut menggunakan kantong jenazah, sementara Nia yang baru datang langsung menerjang jasad adiknya yang sudah terbujur kaku dan membusuk, sembari meraung-raung menyesali perbuatan.Tiba-tiba Tika teringat percakapannya dengan Desi terakhir kali. Bagaimana tiap kata yang dia ungkap cukup mewakili isi hati. Posisi Desi yang seperti ini sejatinya tak lepas dari campur tangan Nia yang awalnya memberi usulan dengan niat balas dendam, tapi ujungnya malah menjerumuskan.Meskipun status persaudaraan mereka hanyalah tiri, tetapi Tika tahu pasti kasih sayang Nia tulus adanya. Perempuan itu mengenal Nia cukup baik, bahkan jauh sebelum dipersunting Andri. Namun, entah apa yang menjadi awal keretakkan h
"Din! Dini!"Bu Nur menggedor-gedor kamar Dini saat mendengar suara tangisan dari dalam kamar Dini. Sudah seharian, sejak pulang kerja setengah hari putri bungsunya dalam keadaan seperti ini. Mengunci diri dan terisak-isak di dalam tak mau keluar. Terpaksa wanita paruh baya itu terjaga malam ini."Makan dulu, yuk! Habis itu cerita sama mama. Jangan kayak gini terus, Din. Kamu nggak kasian sama mama? Udah mah A'a-mu begitu, jangan tambah kamu juga."Beberapa saat kemudian terdengar suara kunci yang dibuka, berikutnya knop pintu yang bergerak dan ditarik dari dalam.Bu Nur tertegun saat melihat kondisi putrinya dalam keadaan yang benar-benar mengenaskan. Kedua matanya membengkak, seragam pabrik yang masih belum diganti, dan rambut semrawut tak beraturan."Din ...."Awalnya Dini hanya bergeming menatap Bu Nur dengan mata sayunya. Namun, beberapa saat kemudian bibir gadis itu kembali bergetar, detik berikutnya dia berhambur dalam pelukan Bu Nur, dan menumpahkan segala keresahan yang dia a
Seminggu sebelumnya ....Suara omelan Bu Nur masih terdengar nyaring di luar sampai dua jam setelah pertengkaran Desi dan Dini. Namun, dua perempuan yang hanya selisih satu setengah tahun itu seolah sama-sama tak peduli. Dini bahkan sudah kembali berganti pakaian dan bersiap pergi."Mau ke mana?" Cekalan tangan Bu Nur, menahan langkah Dini yang sudah sampai di ambang pintu.Gadis delapan belas tahun itu menatap nyalang."Nenangin pikiran. Kalau terus di sini bisa-bisa makin stress aku," cetusnya sembari menepis tangan sang ibu. Dini pun berlalu mengendarai motornya mencari tempat yang dipikir bisa menjernihkan kekalutan pikirannya.Masih di tempat yang sama Bu Nur temangu menatap kepergiaan putrinya, sementara suara tangis Bila terdengar nyaring di dalam kamar Desi. Entah apa yang perempuan itu lakukan sejak tadi."Des, Desi! Ngapain aja kamu? Kenapa Bila dibiarin nangis? Buka pintunya sekarang, mama mau ngomong."" .... " Tak ada jawaban.Sampai lima menit kemudian Bu Nur berinisiati
Hujan deras baru saja mengguyur Kota Bandung sore menjelang malam ini. Angin bertiup kencang dengan bunyi guntur yang bersahutan. Namun, cuaca buruk itu sama sekali tak menyurutkan niat Tika untuk datang ke rumah Bu Wulan setelah wanita itu menghubungi kalau ada hal tak terduga yang baru saja terjadi.Mobil Tika masuk ke dalam pelataran setelah tukang di rumah Bu Wulan membukakan pagarnya, lalu memayungi. Dengan totebag berisi tas di tangan, berusaha keras dia mengumpulkan kepercayaan diri, lalu melangkah pasti menghampiri wanita yang menjadi penyebab kehancuran rumah tangganya."Apa-apaan ini?" Desi tiba-tiba bangkit dari posisi saat melihat Tika berjalan menghampiri."Tenang, duduk dulu! Kita bicara baik-baik, dari hati ke hati. Sebagai sesama wanita sama-sama yang tersakiti." Bu Wulan menengahi, dia tuntun Desi agar kembali duduk di sofa, sementara Tika meletakkan totebagnya di atas meja, kemudian mengempaskan bokong tepat di hadapannya.Desi langsung menyambar totebag itu dan terk