Hujan deras baru saja mengguyur Kota Bandung sore menjelang malam ini. Angin bertiup kencang dengan bunyi guntur yang bersahutan. Namun, cuaca buruk itu sama sekali tak menyurutkan niat Tika untuk datang ke rumah Bu Wulan setelah wanita itu menghubungi kalau ada hal tak terduga yang baru saja terjadi.Mobil Tika masuk ke dalam pelataran setelah tukang di rumah Bu Wulan membukakan pagarnya, lalu memayungi. Dengan totebag berisi tas di tangan, berusaha keras dia mengumpulkan kepercayaan diri, lalu melangkah pasti menghampiri wanita yang menjadi penyebab kehancuran rumah tangganya."Apa-apaan ini?" Desi tiba-tiba bangkit dari posisi saat melihat Tika berjalan menghampiri."Tenang, duduk dulu! Kita bicara baik-baik, dari hati ke hati. Sebagai sesama wanita sama-sama yang tersakiti." Bu Wulan menengahi, dia tuntun Desi agar kembali duduk di sofa, sementara Tika meletakkan totebagnya di atas meja, kemudian mengempaskan bokong tepat di hadapannya.Desi langsung menyambar totebag itu dan terk
"Kurang lebih sebulan lalu, aku membuat akun fake atas nama Bu Wulan hanya untuk memancing Kadal Air itu, dan memastikan apa benar dia seburuk yang dibayangkan. Aku nggak pernah menduga dia akan menanggapinya, lalu memakan umpannya dan berlaga bak lelaki hidung belang kebanyakan hingga sering kali membuatku mengernyit jijik. Aku berani bersumpah Desi, kugunakan akun itu hanya untuk memberinya pelajaran dan memastikan. Nggak ada secuil pun keinginan untuk membuatnya kembali. Nggak ada!" Napas Tika memburu, sesekali dia mengelus perut saat dirasa amarah yang dia luapkan sudah melampaui batasnya. Belum puas sampai di situ, Tika mengeluarkan ponselnya dan memutar rekaman suara yang dia ambil saat Miftah menghubunginya.Dia letakkan ponsel itu di atas meja, tepat menghadap Desi."Oke, sebenarnya aku bingung kenapa dua hari ini kamu kayak menghindar. Untuk meluruskan kesalahanpahaman tentang pertanyaan yang kamu ajukan hari itu. Aku bakal jawab sekarang."Tika tertegun, dia ingat dua hari l
Perempuan itu berjalan gontai di tengah malam yang kelam, sekelam harapan yang kandas ditelan kenyataan bahwa sosok yang diharapkan mengantar kebahagiaan malah menjadi alasan penderitaan. Semua yang dia rasakan mungkin memang tak sebanding dengan luka yang sudah dia torehkan pada seseorang yang masih sudi mengulurkan tangan, saling menguatkan sebagai sesama perempuan. Ternyata sejak awal Desi memang sudah salah menilai Tika, di balik semuanya ternyata Tika masih memiliki kebesaran hati hingga bersedia memaafkan.Sampai selarut ini Desi baru bersedia pulang setelah membagi semua fakta terjalinnya hubungan mereka dengan perantara Nia. Tak menyangka kakak tirinya itu telah mengumpankannya pada sosok semengerikan Miftah.Ponsel di saku celananya bergetar beberapa kali. Notifikasi pesan dari Nia, Bu Nur, dan ayahnya dia abaikan begitu saja saat melihat sekumpulan pemuda tengah minum-minum dan main kartu di Pos Ronda.Plak!Semua orang tercengang saat Desi tiba-tiba melayangkan tamparan pad
"Ja, De!" Kedua pemuda itu terlonjak saat melihat Miftah telah kembali. Tak ada ekspresi berarti yang dia tunjukkan bahkan setelah menghilangkan nyawa istrinya sendiri."I-ya, A?" Entah apa sebabnya mereka tiba-tiba gemetar melihat tatapan lelaki itu."Minjeum motor, urang rek nganter pamajikan balik (Pinjem motor, gue mau anter bini pulang)."Kedua pemuda itu berpandangan. Meski, tak menunjukkan banyak perubahaan, tapi entaj kenapa mereka mulai menaruh curiga akan gelagat Miftah setelah pamit pada istrinya."Oh, enyak, enyak. Sok, A!"Meski sepat ragu, akhirnya mengangguk juga, lalu menyerahkan kunci motornya. sebelum benar-benar pergi Miftah sempat menegak habis setengah botol minuman alkohol yang tersisa di atas meja kecil yang ada di Pos Ronda.Meninggalkan Jaja dan Ade dalam kebingungan luar biasa.***Tiba di depan kontrakan Tika, Miftah langsung membopong Desi, dan menggunakan jepit rambut istrinya untuk membuka kunci gembok. Kebetulan daerah ini memang terkenal sepi, apalagi
Tak ada yang tahu sampai di mana titik balik kehidupan seseorang. Segala hal yang ditabur kelak pasti akan dituai. Setiap kata menyakitkan yang keluar pasti ada hukum dan pertanggungjawaban. Sanksi sosial pun menanti bagi orang-orang yang dibutakan gemerlap dunia yang hanya sekejap mata, sementara sanksi Tuhan mutlak adanya.Seperti jamur liar yang tumbuh subur di musim penghujan, seperti itu pula berita cepat menyebar. Hanya sepekan berselang, kasus pembunuhan Desi sukses menghebohkan warga Cijerah, bahkan sampai se-Bandung Barat. Banyak orang mulai berbondong-bondong menyambangi lokasi kejadian. Wartawan dari berbagai media, sengaja datang jauh-jauh untuk langsung meliput dan menyiarkan. Mereka mulai bertanya-tanya tentang motif tersangka, bahkan teman dan kerabat Miftah amat menyayankan, bagaimana bisa orang yang mereka kenal baik dan menawan tega menghabisi nyawa istrinya sendiri dengan begitu kejam, karena sampai detik ini polisi masih kesulitan memintai keterangan terkait detail
Tika berlalu meninggalkan mereka yang masih membatu, di balik pintu dia melihat Bi Tati sudah terisak menunggu."Neng ...." Dia berhambur dalam pelukan perempuan yang berusaha tegar di tengah terpaan badai. Tika hanya bisa tersenyum kecil, sembari mengusap punggungnya pelan, mencoba menenangkan."Tika nggak apa-apa, Bu." Dia melerai pelukan, lalu menyeka air mata yang tersisa di pipi wanita paruh baya yang sudah dia anggap seperti ibu kandung sendiri itu, kemudian beranjak meraih dompet di atas meja depan muka TV, lalu mengeluarkan lembaran uang seratus ribu, berjumlah lima belas lembar. "Titip buat mereka, ya, Bi. Bilangin aja ini ada sedikit uang tabungan Miftah yang tersisa."Entah kenapa Tika seolah tahu tujuan mereka datang dengan dengan wajah seperti itu. Meminta belas kasihan dari sifatnya yang terkenal tak tegaan. Namun, bukankah itu dulu? Saat dia masih menjadi wanita tolol yang bisa diperalat suami dan keluarganya yang tak tahu diri?Meski begitu, wanita itu tetap saja ber
Pagi ini, Tika terlihat sedang duduk di dalam sebuah ruangan untuk memenuhi panggilan polisi. Meski keraguan sempat menyelimuti, dia berkomitmen bahwa ini terakhir kali dia berhubungan dengan sang mantan suami. "Mari, sebelah sini, Bu!" Tika bangkit setelah dituntun salah seorang petugas polisi."Makin cantik aja kamu, Tik!" seru Miftah begitu Tika sampai di ruang kunjungan.Dia tatap mantan istrinya dari atas ke bawah dengan penuh kekaguman. "Nggak usah basa-basi. Langsung aja. Apa yang mau kamu omongin?!" sentak Tika dengan penuh ketegasan yang tak terelakkan. "Santai aja kali. Emang kamu nggak mau mengenang apa yang pernah kita lalui?""Nggak ada yang perlu dikenang, semuanya menyakitkan," cibir Tika yang membuat Miftah justru terkekeh pelan."Makin galak aja bumil yang satu ini. Aku jadi nggak sabar buat liat gimana anak kita pas lahir nanti.""Anak kita?" Tika seolah memastikan. "Bukannya waktu itu kamu yang tuduh saya ngelonte?!""Santai, Sayang. Waktu itu aku cuma emosi sama
"Nih, minum dulu!" Ahmad menyodorkan segelas air ke hadapan Dini yang tengah memerhatikan sekeliling rumah yang lelaki itu tinggali sendiri. "Makasih, A." Gadis itu tersenyum kecil, lalu menyambut gelas yang Ahmad sodorkan. "Jadi, kalian belum nemu tempat tinggal?" Ahmad membuka percakapan, sembari duduk di kursi seberang Dini. Pintu rumah sengaja dia buka lebar-lebar agar tak terjadi fitnah dengan sengaja menjaga batasan. Dini menggeleng. "Kita masih numpang di rumah Pak RT sambil cari uang buat nyewa kontrakan. Buat makan aja kita ngandelin duit yang dikasih si Nia buat kebutuhan Bila."Miftah terdiam sejenak. Sebenarnya dia tak tahu harus melakukan apa. Sejatinya dia sangat membenci Miftah dan ibunya, tapi berbeda dengan gadis ini. Meski hanya sedikit, sudah lama dia menaruh rasa pada Dini. "A'a tinggal sendiri?" Giliran Dini yang mengajukan pertanyaan. Pandangannya masih sibuk memerhatikan sekitar. Rumah ini cukup luas bila hanya ditinggali sendiri, di halaman juga Dini melih