Perempuan itu berjalan gontai di tengah malam yang kelam, sekelam harapan yang kandas ditelan kenyataan bahwa sosok yang diharapkan mengantar kebahagiaan malah menjadi alasan penderitaan. Semua yang dia rasakan mungkin memang tak sebanding dengan luka yang sudah dia torehkan pada seseorang yang masih sudi mengulurkan tangan, saling menguatkan sebagai sesama perempuan. Ternyata sejak awal Desi memang sudah salah menilai Tika, di balik semuanya ternyata Tika masih memiliki kebesaran hati hingga bersedia memaafkan.Sampai selarut ini Desi baru bersedia pulang setelah membagi semua fakta terjalinnya hubungan mereka dengan perantara Nia. Tak menyangka kakak tirinya itu telah mengumpankannya pada sosok semengerikan Miftah.Ponsel di saku celananya bergetar beberapa kali. Notifikasi pesan dari Nia, Bu Nur, dan ayahnya dia abaikan begitu saja saat melihat sekumpulan pemuda tengah minum-minum dan main kartu di Pos Ronda.Plak!Semua orang tercengang saat Desi tiba-tiba melayangkan tamparan pad
"Ja, De!" Kedua pemuda itu terlonjak saat melihat Miftah telah kembali. Tak ada ekspresi berarti yang dia tunjukkan bahkan setelah menghilangkan nyawa istrinya sendiri."I-ya, A?" Entah apa sebabnya mereka tiba-tiba gemetar melihat tatapan lelaki itu."Minjeum motor, urang rek nganter pamajikan balik (Pinjem motor, gue mau anter bini pulang)."Kedua pemuda itu berpandangan. Meski, tak menunjukkan banyak perubahaan, tapi entaj kenapa mereka mulai menaruh curiga akan gelagat Miftah setelah pamit pada istrinya."Oh, enyak, enyak. Sok, A!"Meski sepat ragu, akhirnya mengangguk juga, lalu menyerahkan kunci motornya. sebelum benar-benar pergi Miftah sempat menegak habis setengah botol minuman alkohol yang tersisa di atas meja kecil yang ada di Pos Ronda.Meninggalkan Jaja dan Ade dalam kebingungan luar biasa.***Tiba di depan kontrakan Tika, Miftah langsung membopong Desi, dan menggunakan jepit rambut istrinya untuk membuka kunci gembok. Kebetulan daerah ini memang terkenal sepi, apalagi
Tak ada yang tahu sampai di mana titik balik kehidupan seseorang. Segala hal yang ditabur kelak pasti akan dituai. Setiap kata menyakitkan yang keluar pasti ada hukum dan pertanggungjawaban. Sanksi sosial pun menanti bagi orang-orang yang dibutakan gemerlap dunia yang hanya sekejap mata, sementara sanksi Tuhan mutlak adanya.Seperti jamur liar yang tumbuh subur di musim penghujan, seperti itu pula berita cepat menyebar. Hanya sepekan berselang, kasus pembunuhan Desi sukses menghebohkan warga Cijerah, bahkan sampai se-Bandung Barat. Banyak orang mulai berbondong-bondong menyambangi lokasi kejadian. Wartawan dari berbagai media, sengaja datang jauh-jauh untuk langsung meliput dan menyiarkan. Mereka mulai bertanya-tanya tentang motif tersangka, bahkan teman dan kerabat Miftah amat menyayankan, bagaimana bisa orang yang mereka kenal baik dan menawan tega menghabisi nyawa istrinya sendiri dengan begitu kejam, karena sampai detik ini polisi masih kesulitan memintai keterangan terkait detail
Tika berlalu meninggalkan mereka yang masih membatu, di balik pintu dia melihat Bi Tati sudah terisak menunggu."Neng ...." Dia berhambur dalam pelukan perempuan yang berusaha tegar di tengah terpaan badai. Tika hanya bisa tersenyum kecil, sembari mengusap punggungnya pelan, mencoba menenangkan."Tika nggak apa-apa, Bu." Dia melerai pelukan, lalu menyeka air mata yang tersisa di pipi wanita paruh baya yang sudah dia anggap seperti ibu kandung sendiri itu, kemudian beranjak meraih dompet di atas meja depan muka TV, lalu mengeluarkan lembaran uang seratus ribu, berjumlah lima belas lembar. "Titip buat mereka, ya, Bi. Bilangin aja ini ada sedikit uang tabungan Miftah yang tersisa."Entah kenapa Tika seolah tahu tujuan mereka datang dengan dengan wajah seperti itu. Meminta belas kasihan dari sifatnya yang terkenal tak tegaan. Namun, bukankah itu dulu? Saat dia masih menjadi wanita tolol yang bisa diperalat suami dan keluarganya yang tak tahu diri?Meski begitu, wanita itu tetap saja ber
Pagi ini, Tika terlihat sedang duduk di dalam sebuah ruangan untuk memenuhi panggilan polisi. Meski keraguan sempat menyelimuti, dia berkomitmen bahwa ini terakhir kali dia berhubungan dengan sang mantan suami. "Mari, sebelah sini, Bu!" Tika bangkit setelah dituntun salah seorang petugas polisi."Makin cantik aja kamu, Tik!" seru Miftah begitu Tika sampai di ruang kunjungan.Dia tatap mantan istrinya dari atas ke bawah dengan penuh kekaguman. "Nggak usah basa-basi. Langsung aja. Apa yang mau kamu omongin?!" sentak Tika dengan penuh ketegasan yang tak terelakkan. "Santai aja kali. Emang kamu nggak mau mengenang apa yang pernah kita lalui?""Nggak ada yang perlu dikenang, semuanya menyakitkan," cibir Tika yang membuat Miftah justru terkekeh pelan."Makin galak aja bumil yang satu ini. Aku jadi nggak sabar buat liat gimana anak kita pas lahir nanti.""Anak kita?" Tika seolah memastikan. "Bukannya waktu itu kamu yang tuduh saya ngelonte?!""Santai, Sayang. Waktu itu aku cuma emosi sama
"Nih, minum dulu!" Ahmad menyodorkan segelas air ke hadapan Dini yang tengah memerhatikan sekeliling rumah yang lelaki itu tinggali sendiri. "Makasih, A." Gadis itu tersenyum kecil, lalu menyambut gelas yang Ahmad sodorkan. "Jadi, kalian belum nemu tempat tinggal?" Ahmad membuka percakapan, sembari duduk di kursi seberang Dini. Pintu rumah sengaja dia buka lebar-lebar agar tak terjadi fitnah dengan sengaja menjaga batasan. Dini menggeleng. "Kita masih numpang di rumah Pak RT sambil cari uang buat nyewa kontrakan. Buat makan aja kita ngandelin duit yang dikasih si Nia buat kebutuhan Bila."Miftah terdiam sejenak. Sebenarnya dia tak tahu harus melakukan apa. Sejatinya dia sangat membenci Miftah dan ibunya, tapi berbeda dengan gadis ini. Meski hanya sedikit, sudah lama dia menaruh rasa pada Dini. "A'a tinggal sendiri?" Giliran Dini yang mengajukan pertanyaan. Pandangannya masih sibuk memerhatikan sekitar. Rumah ini cukup luas bila hanya ditinggali sendiri, di halaman juga Dini melih
"Neng Tika udah yakin mau pindah secepatnya?" Bi Tati bertanya saat melihat sejak semalam majikannya sibuk mengemasi barang untuk pindahan. Pagi ini, mobil box yang menjemput barang-barangnya sudah tiba di pelataran. Tika bangkit dari posisi bersimpuh di lantai, menyeletingkan koper terakhir yang baru selesai dipacking, sebelum beralih pada wanita paruh baya yang sudah bersamanya sejak mendiang putranya Akbar baru saja lahir. "Iya, Bi." Senyum getir tersungging, Tika menggenggam tangan Bi Tati. "Untuk saat ini emang lebih baik saya ngejauh demi kesehatan mental dan janin di kandungan. Lagian udah nggak ada lagi alasan buat saya bertahan di tempat ini."Wanita paruh baya itu menyeka air matanya yang entah sejak kapan sudah menetes. "Pokoknya di manapun kami berada, jaga diri baik-baik, ya, Neng. Masih banyak yang sayang sama Eneng, tetep kuat, buat calon dedek bayi!" Bi Tati memeluk Tika. Erat, seolah ini pertemuan terakhir mereka. Tak pernah cukup kata untuk menggambar kebaikan seo
"Bunda pamit, ya, Sayang. Baik-baik di sana. beberapa bulan sekali Bunda pasti mampir. Titip salam buat kakek sama nenek, ya. Bunda sayang banget sama kamu!"Tika mengusap nisan bertuliskan 'M. Akbar Maulana bin Miftahul Hamid itu setelah menyiram air doa serta bebungaan di atas pusara mendian putranya. Dari kejauhan terlihat Bu Wulan dan Andri memerhatikan. "Pasti sulit bagi Tika untuk memutuskan, walau bagaimana pun Bandung khususnya Maleber telah menjadi saksi hidupnya," cetus Bu Wulan masih dengan pandangan menatap wanita yang terlihat begitu tegar, padahal aslinya hancur berantakan. "Iya, dia telah mengambil langkah besar, tanpa mempertimbangkan banyak hal. Trauma serta kehidupan pernikahan kelam yang pernah dijalaninya membuat Tika sekuat tenaga menghindar."Bu Wulan menoleh pada lelaki berkacamata dengan kulit putih itu. Dia tahu betul ada makna tersirat yang coba Andri ungkapkan. Sebagai sesama wanita dia jelas paham, tatapan macam apa yang Andri tunjukkan pada janda Mifta
Berbagai kecamuk perasaan menghinggapi Tika saat dia berjalan menyusuri lorong Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung, menuju ruang ICU. Tak ada ekspresi berarti yang dia tunjukkan saat Bu Wulan mengatakan bahkan sudah berbulan-bulan Miftah menjalani pengobatan secara intensif setelah dokter mendiagnosis bahwa mantan suaminya itu mengidap Bronchitis, dan secara pribadi Bu Nur memohon padanya untuk menyampaikan pesan. Sebenarnya Tika sudah tak peduli dengan apa yang terjadi pada Miftah dan keluarganya, sebab tak ada lagi yang tersisa dari lelaki itu selain kenangan pahit yang masih kerap kali menjadi mimpi buruk di tiap tidurnya. Namun, saat Andri mengatakan bahwa mungkin itu adalah permintaan terakhir mantan suaminya, Tika benar-benar tak kuasa untuk menolaknya.Melihat seseorang hanya berdiri di depan pintu ruang ICU, sontak Bu Nur bangkit setelah menyuapi putranya yang sudah tak bisa melakukan apa-apa. "Makasih, makasih banyak udah sudi datang, Tik. Dua hari ini Miftah nggak mau makan
Tak ada luka yang benar-benar abadi, waktu selalu mampu memperbaiki situasi, meski yang tersisa dari memori kerapkali kali masih menyisakan sedikit nyeri dalam hati. Awan mendung tak berarti hujan turun, tapi Matahari selalu adil menerangi setiap inti bumi. Setiap duka pasti ada suka, setiap kehilangan pasti ada penggantinya, dan setiap yang ditanam pasti akan ada yang dituai, karena begitulah kehidupan berjalan.Hari berganti, bulan-bulan dilewati. Demi menjaga kewarasan diri dari bayang-bayang masa lalu, Andri bersedia mengikuti sang istri untuk menetap di Cianjur. Meski harus pulang-pergi Bandung-Cianjur seminggu dua kali, meski rindu kerap kali menghinggapi. Lelaki itu tak peduli dengan jarak, selama mereka bisa terus bersama sampai akhir hayat nanti. Setelah apa yang terjadi pada Tika pun Ahmad, perempuan itu seolah tak mau tahu lagi tentang mantan suam dan keluarga benalunya itu. Dia memilih melanjutkan usaha dari modal yang ditinggalkan orang tua, serta menata hidupnya kembali
Ternyata pribahasa darah lebih kental daripada air itu benar adanya. Ikatan persaudaraan yang erat membuat Tika tak kuasa menahan tangis, lelaki itu bersimpuh, menangis meraung di kaki Tika, dan mengakui bahwa dia memang telah salah selama empat tahun ini. Mengikuti hawa nafsu, tak peduli nasihat kakak kandung sendiri, terjebak dalam pernikahan dengan perempuan yang ternyata hanya ingin memanfaatkan harta bendanya. Madu yang dia tuang ternyata dibalas racun mematikan. Empat tahun menampung keluarga benalu membuat Ahmad benar-benar berhasil mempelajari banyak hal. Belajar tentang kegagalan Tika juga dirinya sekarang. "Maaf, hampura, Teh. Hampura Ahmad khilaf!" Ahmad masih bersimpuh di lantai memeluk kaki Tika. Sementara yang bersangkutan tampak masih shock setelah mendengar pengakuan sang adik tentang kondisi kehidupannya pasca pernikahan dengan Dini. Tika benar-benar tak menyangka, ternyata di balik kebungkaman, di balik komunikasi yang nyaris terputus selama empat tahun ini ada
Tok! Tok! Tok! "Buka pintunya, Nia! Jangan bikin papa hilang kesabaran, ya."Suara ketukan yang sudah berubah jadi gedoran itu terdengar di salah satu kamar dalam rumah milik mantan pejabat yang cukup disegani pada masanya. Sudah tiga hari sejak pria paruh baya tersebut mendapati sang putri mengurung diri. Hari ini kesabarannya sudah benar-benar habis. Dia seolah sudah lelah menghadapi satu-satunya putri yang tersisa, karena terlalu terobsesi pada mantan suaminya, Andri. "Kalau nggak dibuka juga papa dobrak pintunya, ya, Nia!"" .... " Tetap tak ada jawaban dari dalam. Hal itu membuatnya mulai dilingkupi perasaan khawatir."Dang, bawa kunci serep di gudang. Si Nia nggak mau keluar ini." Lelah menunggu dan penasaran dengan apa yang membuat putrinya mengurung diri sampai tiga hari. Papa Nia akhirnya meminta salah seorang tukang di rumahnya untuk mengambil kunci serep. Hanya beberapa menit setelah diminta, sopir yang juga tukang kebun itu datang membawa kunci cadangan. "Sial, nyang
Miftah kembali ke rumah saat dia melihat ibunya duduk mematung di atas kursi. Sementara Dini menangis meraung di kakinya. Syakil dan Bila yang melihat itu hanya bisa menatap kehadiran mereka dengan penuh kebingungan. Sebenarnya Bu Nur sudah tahu kalau Syakil adalah anak dari Rifky, mantan kekasih putrinya. Namun, dia tak menyangka kalau Dini masih menjalin hubungan dengan montir bengkel itu. Bertahun-tahun, di belakang Ahmad. Bahkan bisa dipastikan anak yang Dini kandung sekarang juga berasal dari benih Rifky. Sekali lagi kebodohan anaknya berhasil menjerumuskan. Akankah kesenangan yang sudah didapatkan selama empat tahun ini akan dicabut kembali? "Ada apa ini?" Miftah akhirnya bertanya setelah lama membaca situasi. Melihat tangisan adiknya serta beberapa barang yang dia bawa serta ke mari. Miftah mulai menduga bahwa ada sesuatu yang terjadi antara rumah tangga Dini dan Ahmad. Mendengar kehadiran kakaknya, Dini langsung memburu Miftah, lalu bersimpuh di kakinya. "Tolongin Dini, A
Tika duduk bersedekap di atas sajadah. Mukena membalut tubuhnya dari ujung kepala sampai kaki. Berbagai doa dia panjatkan sejak Magrib tadi. Memohon tak henti agar tak ada bala yang mendekati.Ketakutan mulai menyelimuti. Padahal selama empat tahun dilewati dia tak pernah merasakan hal semacam ini. Entah kenapa, selama Miftah dan keluarganya masih berpijak di bumi yang sama. Tika merasa tak akan pernah bisa mendapatkan ketenangan lagi. "Buna ...." Panggilan pelan dari suara yang lembut itu menginterupsi zikirnya. Sejenak Tika seka air mata dengan mukena, lalu beralih pada Zahra yang malam ini dia tempatkan di satu kamar bersamanya. "Ya, Sayang.""Om gateng tadi siapa, Buna? Kenapa dia bilang Ayah Zahla."Tika terdiam sejenak dengan kebingungan yang menggelayutinya. Setelahnya napas panjang dia hela. "Bukan siapa-siapa, cuma orang iseng aja." Masih terbalut mukena Tika bangkit, lantas berjalan menghampiri Zahra yang duduk di tepi ranjang. "Kalo bukan siapa-siapa. Kenapa Buna mara
" ... aku muak, Miftah. Aku jijik!"Masih berdiri mematung di tempatnya. Kalimat itu terus menerus ternging-ngiang di telinga Miftah. Bahkan Berputar-putar di kepalanya. Ada yang menghantam dada saat melihat lirih suara sang mantan istri memaki, memerah matanya menahan murka dan amarah. Dan anehnya Miftah tak merasa tersinggung saat dia dihina dan dicaci-maki bahkan dilempar uang ke depan muka. Yang terasa justru sesak, sesak yang dirasa saat melihat sedemikian dalam Tika membenci, karena luka yang sudah dia torehkan selama ini. Apakah empat tahun di balik jeruji besi tanpa disadari justru membuatnya introspeksi? Atau ceramah serta nasehat yang dicekokki para pemuka agama yang datang ke lapas, membuatnya cukup mawas diri? Bahkan saat dia tak sengaja membunuh Desi atau mencaci-maki Tika tentang anak yang dikandungnya ia tak pernah merasa seperti ini. Kalau sudah begini, bagaimana dengan empat tahun rencana matang yang sudah dia susun bersama Nia?"Pergi!" Jeritan itu menarik kesada
"Nggak apa-apa, kalau kita ketahuan. Aku yang bakal tanggung jawab," yakinnya. "Halah tanggung jawab apaan. Waktu aku hamil Syakil aja kamu pergi." "Aku cuma butuh waktu buat nenangin diri. Lagian saat itu aku belum ada kerjaan. Buktinya aku balik, tapi kamu malah milih nikah sama cowok yang nggak kamu cintai!" Dini memalingkan muka. Matanya kembali mengembun. "Karena aku nggak bisa hidup miskin, Ky. Aku nggak mau. Cuman dengan dia aku bisa hidup enak. Cuma dengan dia masa depan Syakil terjamin." Air mata Dini kembali tumpah. "Kalau kamu udah ngerasa bahagia, kenapa masih hubungin aku? Bahkan selama setahun ini kamu selalu datang saat butuh. Aku ngerasa kayak dimanfaatin. Padahal aku tulus cinta sama kamu."Dini menarik napas panjang. Dia menatap mata lelaki yang sampai detik ini masih merajai hati. "Karena cuma kamu yang aku cinta. Karena cuma kamu yang bisa menyenangkanku. Si Ahmad payah, Ky. Dia nggak pernah bisa kasih kepuasan batin buat aku kayak kamu. Hubungan kita hambar,
"Eh, Mad!" "Reza!" Langkah Ahmad terhenti di ambang pintu keluar resto saat dia berpapasan dengan sosok yang dikenal. Lelaki bernama Reza Anugerah itu adalah teman seprofesi Ahmad di Pabrik Kahatex sebagai pengawas. Sudah lama sejak mereka tak pernah lagi bertemu, karena Reza resign hanya sebulan setelah Dini mengundurkan diri.Hal itu jelas semakin mematik rasa curiga Ahmad akan hubungan mereka berdua yang terjadi sebelum kehamilan Dini. Sudah empat tahun berlalu, tetap dia masih belum juga tahu ayah biologis dari anak yang selama ini tinggal bersamanya.Sebenarnya saat memutuskan menikahi wanita itu Ahmad sudah menerima, akan tetapi rasa penasaran itu kerap kali hinggap saat dia tak sengaja memerhatikan Syakil. Sebenarnya dari benih siapa dia berasal? Apa benar dari benih lelaki di hadapannya ini, seperti yang dia duga selama ini?"Hampura teu bisa datang pas hajat. Sumpah sabenerna mah urang teu nyangka maneh ngawin si Dini, Mad. (Maaf nggak bisa datang saat resepsi. Sumpah seb