Hubungan yang terjalin antara Tika, Andri, dan Nia tak pernah sesederhana yang dibayangkan orang-orang. Pertemanan yang sudah terjalin sejak lama hingga berakhir dengan sebuah pengkhianatan saat Nia yang dulu sudah Tika anggap keluarga, justru menuduhnya macam-macam dengan dengan sang mantan. Sejak awal masa SMA, ikatan yang terjalin di antara mereka bertiga memang sulit untuk digambarkan. Bahkan sampai saat ketiganya resmi sama-sama melajang, dengan status cerai, Tika dan Nia sudah tak pernah lagi bertegur sapa. Karena sampai detik ini, kakak almarhum Desi itu masih saja menganggap Tika sebagai alasan keretakan rumah tangganya dengan Andri. Berkian tahun pun berlalu, ketika cinta yang sudah lama dipendam, dan Andri mulai menemukan peluang, Tika justru tak memberinya cukup kesempatan. Hal itu malah dimanfaatkan Nia yang berharap bisa memperbaiki hubungannya dengan sang mantan suami setelah perpisahan yang terjadi.Entah sampai kapan, Tika seolah tak bisa memastikan. Entah sampai kap
Andri baru saja memarkirkan kendaraan miliknya saat melihat mobil Nia sudah terparkir di halaman rumahnya. Lelaki itu menghela napas gusar, lalu bersiap mengambil ancang-ancang untuk kembali ke dalam mobil, dan berniat menghindar. Sebab, belum ada sejam sejak patah hati yang dirasakan akibat perkataan Tika, dia sudah harus kembali dihadapkan dengan masa lalu yang terus-menerus mengekang. Hubungannya dan Nia sudah berakhir lebih dari setahun yang lalu, bahkan tak ada anak yang mengikat mereka. Namun, entah kenapa Nia seolah tak bisa membiarkannya hidup tenang dengan mendesaknya agar bisa mempertimbangkan hubungan yang dia pikir belum benar-benar usai. "A Andri!" Andri memejamkan mata mendengar panggilan dari suara yang sudah amat dia kenal. Mau tak tahu lelaki bermata empat itu berbalik untuk melihatnya. Di belakang perempuan berambut bob itu terlihat sang ibu yang hanya bisa mengangguk, seolah mengisyaratkan agar Andri bersedia untuk memberi Nia kesempatan. Karena pada kenyataann
Jemari Tika menyusuri setiap sudut kamar yang biasa dia huni, tiap kali pulang ke kampung halaman. Lagi dan lagi, lamunannya terpecah-berai saat terbersit sekilas ingatan masa lampau. Apalagi saat pandangannya jatuh pada sebuah bingkai foto yang menunjukkan kebersamaan dengan sang mantan suami serta Akbar masih terpajang di atas kepala ranjang. "Waktu kasus tentang mantan suami Teteh mencuat, Marni udah mau turunin fotonya. Tapi, Ibu bilang katanya tunggu Teteh, biar Teteh yang memutuskan," cetus salah satu asisten rumah tangga Nek Euis yang mengantar Tika sampai ke kamar."Bisa tinggalin saya sendiri, Marni?!" pinta Tika tanpa menoleh ke arahnya. "Siap, Teh!" Marni mengangguk, lalu undur diri. Sepeninggal Marni, Tika merobohkan dirinya di atas pembaringan berukuran besar itu. Dia usap perutnya berkali-kali, sebelum beralih menyusuri ranjang dengan jemari. Tiap jejak kebahagiaan itu masih terekam jelas dalam ingatannya. Canda-tawa bersama putranya serta kemesraan yang selalu Mifta
"Ras, gimana hubungan kamu sama Ahmad? Bukannya dari syukuran Tika dia minta WA, terus kalian sempet jalan?" Bu Wulan nyeletuk saat Laras adiknya berkunjung ke kediamannya setelah beberapa pekan. "Lost konteks, Teh. Gatau. Mungkin kita nggak cocok," jawab gadis dua puluh tiga tahun itu sekenanya. "Ah, yang bener kamu? Padahal di awal-awal si Ahmad keliatan tertarik, kok." Bu Wulan masih coba menyangkal. "Mungkin dia cuma penasaran, kebanyakan cowok, kan begitu. Bodo amatlah." Laras terlihat masa bodo, meski raut wajahnya tak menunjukkan demikian. "Bodo amat, bodo amat. Tapi, SW-nya penuh sindiran dan menggalau," cibir Bu Wulan sembari menjentikkan jari di dahi adiknya. "Dah, ah. Mending fokus kuliah sama cari kerja. Bulan depan, kan aku mau ikut tes CPNS. Ngapain juga mikirin laki tukang PHP doang, kemarin aja aku liat dia di supermarket bareng cewek seneng-seneng."Bu Wulan mengerutkan kening. Dia akhirnya duduk di samping adiknya yang sejak tadi sibuk berkutat dengan laptop. "
"Kenapa buru-buru banget, sih pulangnya?" cetus Tika saat melihat Ahmad sudah berkemas, padahal baru semalam adiknya itu menginap. Dia bahkan belum sempat kirim doa di makam orang tua mereka. "Ahmad cuma dikasih cuti dua hari, Teh. Masih banyak kerjaan juga di Bandung.""Bukan gara-gara obrolan kita kemarin, kan?" terka Tika. "Nggaklah. Ngapain, begitu doang," sungut Ahmad, tanpa Tika tahu sedikit banyak percakapan mereka juga menjadi salah satu alasan dia buru-buru pulang. "Nggak mampir ke makam Ibu, Bapak, atau Abah dulu?" tawar Tika. "Nanti ajalah, Teh. Masih banyak waktu, kok," dalih Ahmad. Tika menghela napas panjang, lalu meletakkan sebelah tangan di bahu adiknya lebar. "Ya udah, jaga diri di sana. Teteh titip usaha sama mobil yang kemarin, nanti kamu bisa ganti-ganti kalau ada keperluan. Di sini mungkin teteh bakal lebih banyak diem di rumah, bantu-bantu Nini."Ahmad mengangguk mantap, dia peluk Tika erat, sebelum mengecup keningnya sejenak. "Sehat-sehat, ya, Teteh sama
"Pak, udah denger kabar tentang manager Gema cabang Karawang?" Salah satu staf Gema pusat menyikut tangan Andri, saat mereka sama-sama keluar untuk makan siang. "Pak Indra? Kenapa emang?" tanya Andri. Sebenarnya dia tak ingin terlalu kepo tentang masalah-masalah yang menyangkut rekan kerjanya. Jadi, hanya sesekali menimpali. "Katanya baru-baru ini terungkap kalau dia pernah deket sama almarhum Desi sebelum nikah sama Miftah!"Andri tertegun. Setelahnya dia mengerutkan kening. "Ya, terus?" "Selain pernah dekat sama Desi, ternyata dia juga temen deketnya mantan istri Bapak. Teh Nia.""Jadi, apa hubungannya sama saya?" Andri yang tak suka basa-basi apalagi menyangkut mantan istri dan masa lalunya, hanya bisa ketus menanggapi. "Ya, siapa tahu Pak Andri pengen tahu. Dulu, kan Bapak pernah tanya orang-orang yang dekat sama Desi, salah satunya Tia--yang sekarang jadi Kabag di Karawang." Lelaki yang hanya selisih dua tahun depan Andri itu mendekatkan wajahnya, lalu berbisik. "Lagi rame
"Gila, adem banget, nih rumah." Bu Nur mengempaskan tubuhnya di atas ranjang yang sudah dilengkapi kasur ukuran dua, dalam salah satu kamar di rumah Tika.Rumah dua lantai yang baru sempat kakak kandung Ahmad itu tinggali beberapa bulan, setelah rumah utama yang menciptakan banyak luka dijualnya. Tak cukup sampai di situ, ternyata bayang tentang trauma dan masa lalu kelam yang masih mengusik pikiran, membuat Tika mengambil langkah besar untuk meninggalkan Bandung, dan semua aset-asetnya yang tersisa. Tanpa diketahuinya, lewat perantara Ahmad, rumah itu kini justru ditinggali mantan mertua dan adik ipar yang sebenarnya belum sepenuhnya mampu Tika maafkan. "Iya. Aku aja nggak nyangka A Ahmad bakal ngontrakin rumah bekas kakaknya. Mana dikasih harga murah lengkap dengan isinya!" Berbinar-binar mata Dini menatap sekeliling rumah beserta isinya yang tak sempat Tika bawa semua, karena di Cianjur sana, semua fasilitas sudah lengkap disediakan Nek Euis dalam rumah besar yang hanya dia dan b
"Saudara Miftah, ada kerabat yang ingin bertemu!" Di balik jeruji besi dengan tahanan-tahanan khusus kasus pembunuhan itu Miftah berada. Sebelah alisnya terangkat naik saat melihat salah satu petugas polisi datang mengabari. Heran, sudah pasti. Karena baru beberapa hari lalu ibu dan adiknya mengunjungi, lantas siapa yang datang kini? "Mari!"Meski sempat kebingungan, Miftah tetap beranjak bangkit setelah dituntun salah satu petugas menuju ruang kunjungan, dahinya bertautan saat melihat wanita berambut sebahu dengan pakaian modis yang sudah duduk manis menunggu. "Ngapain lo ke sini, Nia!" sentak Miftah begitu duduk di hadapan kakak dari mantan istrinya tersebut. "Kalau mau bahas tentang Bila, lo bisa hubungi Mama."Nia melepas kacamata hitamnya, wanita cantik itu mendekatkan wajahnya, dan berguman tepat di hadapan Miftah. "Gue denger lo udah kasih keterangan ke polisi tentang motif pembunuhan Desi. Jadi, perselingkuhan motifnya?"Miftah menarik diri, lelaki itu mengerutkan kening,