"Gila, adem banget, nih rumah." Bu Nur mengempaskan tubuhnya di atas ranjang yang sudah dilengkapi kasur ukuran dua, dalam salah satu kamar di rumah Tika.Rumah dua lantai yang baru sempat kakak kandung Ahmad itu tinggali beberapa bulan, setelah rumah utama yang menciptakan banyak luka dijualnya. Tak cukup sampai di situ, ternyata bayang tentang trauma dan masa lalu kelam yang masih mengusik pikiran, membuat Tika mengambil langkah besar untuk meninggalkan Bandung, dan semua aset-asetnya yang tersisa. Tanpa diketahuinya, lewat perantara Ahmad, rumah itu kini justru ditinggali mantan mertua dan adik ipar yang sebenarnya belum sepenuhnya mampu Tika maafkan. "Iya. Aku aja nggak nyangka A Ahmad bakal ngontrakin rumah bekas kakaknya. Mana dikasih harga murah lengkap dengan isinya!" Berbinar-binar mata Dini menatap sekeliling rumah beserta isinya yang tak sempat Tika bawa semua, karena di Cianjur sana, semua fasilitas sudah lengkap disediakan Nek Euis dalam rumah besar yang hanya dia dan b
"Saudara Miftah, ada kerabat yang ingin bertemu!" Di balik jeruji besi dengan tahanan-tahanan khusus kasus pembunuhan itu Miftah berada. Sebelah alisnya terangkat naik saat melihat salah satu petugas polisi datang mengabari. Heran, sudah pasti. Karena baru beberapa hari lalu ibu dan adiknya mengunjungi, lantas siapa yang datang kini? "Mari!"Meski sempat kebingungan, Miftah tetap beranjak bangkit setelah dituntun salah satu petugas menuju ruang kunjungan, dahinya bertautan saat melihat wanita berambut sebahu dengan pakaian modis yang sudah duduk manis menunggu. "Ngapain lo ke sini, Nia!" sentak Miftah begitu duduk di hadapan kakak dari mantan istrinya tersebut. "Kalau mau bahas tentang Bila, lo bisa hubungi Mama."Nia melepas kacamata hitamnya, wanita cantik itu mendekatkan wajahnya, dan berguman tepat di hadapan Miftah. "Gue denger lo udah kasih keterangan ke polisi tentang motif pembunuhan Desi. Jadi, perselingkuhan motifnya?"Miftah menarik diri, lelaki itu mengerutkan kening,
M.H terdakwa kasus penghilang nyawa istrinya D yang ditemukan di kontrakan daerah Cijerah Bandung, hari ini resmi diputuskan dengan vonis lima tahun penjara, setelah terbukti bahwa motif pelaku adalah murni gelap mata karena mengetahui perselingkuhan sang istri. Siaran berita yang mengabarkan tentang putusan sidang kasus Miftah itu ditayangkan di TV. Nek Euis, Tika, serta beberapa asisten rumah tangga yang ikut menyaksikan terlihat geram sendiri. "Kok, cuma lima tahun, sih?" celetuk Nek Euis yang membuat Tika beranjak dari tempatnya. Berbulan-bulan menunggu, ternyata putusan sidang tak cukup memuaskan, apalagi mengingat sama sekali tak ada bantahan dari pihak keluarga korban. Meskipun almarhumah Desi yang membuat dia sampai ada di titik ini, tapi Tika merasa perempuan itu tetap layak mendapatkan keadilan yang seharusnya didapatkan. Sebagai seorang ibu, dia tahu bagaimana rasanya ditinggalkan atau meninggalkan, apalagi di sini posisinya Bila masih baru beberapa bulan lahir ke duni
Hari ini, bertepatan dengan tanggal dua puluh April. Hanya selisih beberapa hari dari waktu yang diperkirakan bidan, Tika akan segera melahirkan. Ditemani Nek Euis dan salah satu asisten rumah tangga yang sudah dekat dengan Tika yaitu Marni. Sejak subuh tadi mereka sudah membawa berbagai perlengkapan persalinan ke Klinik Bersalin Bidan Weni. Memang tak mudah ada di posisinya sekarang, melahirkan tanpa didampingi seorang suami setelah melewati pasang-surut kehidupan seorang diri. Bahkan Ahmad yang menjadi satu-satunya tumpuan sebagai seorang adik yang seharusnya bisa diandalkan justru tak ada di sampingnya kini. Namun, Tika cukup kuat sampai akhirnya ada di titik ini. Hanya Tuhan tempatnya mengadu, hanya sajadah tempatnya menumpahkan tangis. Ketika nyerinya kontraksi bercampur dengan kecamuk perasaan dalam diri, perempuan dalam balutan daster dan kerudung instan itu hanya bisa menggumamkan takbir dan istigfar. "Kuat, nyak, Geulis! Bismillah cing lungsur-langsar. (Kuat, ya, cantik
"Alhamdulillah, bayinya sehat, cantik dan selamat!" Setelah dua jam menunggu pembukaan, tanpa banyak drama dan air mata, akhirnya anak kedua Tika yang berjenis kelamin perempuan, lahir selamat tanpa kekurangan apa pun.Seperti yang Bidan Weni katakan, bayi tersebut begitu cantik dan bersinar. Hidungnya bangir serta berkulit bersih.Tika kembali menitikan mata saat melihat bayi tersebut dalam gendongan.Bayi yang kelak akan menemani kesepian, anak yang mengantar tawa dan bahagia dalam hidupnya yang sempat kelam. "Sudah ada nama, Bu?" Seperti dejavu, pertanyaan sama ditanyakan oleh dua berbeda dan dalam waktu yang berbeda pula pasca Tika melahirkan.Perempuan yang tak menanggalkan kerudungnya bahkan setelah keringat bercucuran mengorbankannya demi generasi penerusnya itu mengangguk pelan."Sudah, Bu Bid." Tika tersenyun sembari menatap jemarinya yang digenggam erat tangan mungil itu. "Namanya Zahratunnissa.""Cantik." Bidan Weni tersenyum sembari menatap bayi dalam gendongan Tika. "C
Beberapa jam sebelumnya ...."A, kalau aku sama Mama nggak usah ikut aja gimana?" Dini tampak gelisah saat melihat Ahmad sudah bersiap untuk berangkat menuju kampung halaman orang tua, di mana kakak dan neneknya berada. Sudah sebulan sejak Ahmad memutus segala bentuk komunikasi dengan Tika setelah berkali-kali dihasut Dini dan Bu Nur yang mengatakan bahwa lelaki dewasa bisa mandiri bahkan tanpa keluarga.Namun, ternyata lelaki itu tak cukup tega, dia tak pernah bisa benar-benar memutus hubungannya dengan Tika setelah keduanya melewati asam-garam kehidupan bersama setelah sang ibu tiada. Ahmad merasa wajib mempertanggungjawabkan apa yang sudah dia mulai, meski tahu pasti apa risiko yang akan dihadapinya nanti. Tentu butuh banyak pertimbangan, sampai akhirnya dia mengambil langkah besar dengan menikahi Dini secara siri, hanya sehari setelah mereka berhubungan. Ahmad tahu dia salah karena mengedepankan nafsu dibanding logika, apalagi setelah tahu perempuan yang digaulinya telah berba
"Panggil si Dini ke sini!" titah Tika setelahnya. Setidaknya dia harus mendengar dari sudut pandang lain, sebelum mulai melepas sang adik menjalani hidupnya sendiri.Ahmad tak membantah, lelaki itu menurut. Dia berjalan keluar, dan kembali dengan Dini di sisi. "Udah berapa bulan usia kandungan kamu?" tanya Tika bahkan sebelum Dini sempat mendaratkan bokongnya."Se-sembilan belas minggu, Teh." Takut-takut Dini menjawab. Tika memalingkan muka, dia menggeleng tak habis pikir dengan pengakuan iparnya. "Jadi, kamu nikahin dia setelah hamil?" Pertanyaan itu kini Tika peruntukan pada Ahmad. "Nggak kasian kamu sama Ibu, Bapak dan Abah, Mad? Nggak kasian kamu sama teteh terus Nini? Saat kamu ngelakuin dosa dengan hamilin si Dini kita semua juga kebagian dosanya, Mad. Dosa karena dinilai nggak mengingatkan sanak-saudara akan bahayanya zina!"Ahmad terbungkam. Kedua tangannya terkepal di atas paha. "Ah, udahlah. Toh, setan nggak pernah pandang bulu, kalau mau ngerayu. Salah teteh yang kurang
Bu Wulan dan Andri saling berpandangan saat melihat Miftah, Dini, serta Bu Nur buru-buru pergi setelah perdebatan sengit terjadi. Tujuan untuk melihat keponakan dan cucu bahkan belum sempat terpenuhi karena kedua belah pihak sudah kepalang emosi. Tak ada lagi kompromi bagi Tika. Toleransinya sudah cukup sampai ditahap mengerti, tapi belum sampai menerima sepenuhnya.Andri dan Bu Wulan masuk begitu mereka pergi, keduanya ingin memastikan bagaimana kondisi Tika dan Nek Euis setelah keributan yang terjadi hingga mengundang beberapa pegawai ladang dan ternak, ikut serta mengamati. Beruntung benteng pagar di rumah ini cukup tinggi. Hingga tak ada campur tangan orang luar atau tetangga kepo menginterupsi."Tik ...." Suara Bu Wulan melirih saat melihat Tika bersimpuh dengan kepala di pangkuan Nek Euis. Perlahan perempuan berjilbab itu menoleh setelah menyeka air mata di pipinya."Aku nggak apa-apa, Bu." Kalimat yang terucap berbanding terbalik dengan tatapan nanar dan bibirnya yang gemetar.