"Alhamdulillah, bayinya sehat, cantik dan selamat!" Setelah dua jam menunggu pembukaan, tanpa banyak drama dan air mata, akhirnya anak kedua Tika yang berjenis kelamin perempuan, lahir selamat tanpa kekurangan apa pun.Seperti yang Bidan Weni katakan, bayi tersebut begitu cantik dan bersinar. Hidungnya bangir serta berkulit bersih.Tika kembali menitikan mata saat melihat bayi tersebut dalam gendongan.Bayi yang kelak akan menemani kesepian, anak yang mengantar tawa dan bahagia dalam hidupnya yang sempat kelam. "Sudah ada nama, Bu?" Seperti dejavu, pertanyaan sama ditanyakan oleh dua berbeda dan dalam waktu yang berbeda pula pasca Tika melahirkan.Perempuan yang tak menanggalkan kerudungnya bahkan setelah keringat bercucuran mengorbankannya demi generasi penerusnya itu mengangguk pelan."Sudah, Bu Bid." Tika tersenyun sembari menatap jemarinya yang digenggam erat tangan mungil itu. "Namanya Zahratunnissa.""Cantik." Bidan Weni tersenyum sembari menatap bayi dalam gendongan Tika. "C
Beberapa jam sebelumnya ...."A, kalau aku sama Mama nggak usah ikut aja gimana?" Dini tampak gelisah saat melihat Ahmad sudah bersiap untuk berangkat menuju kampung halaman orang tua, di mana kakak dan neneknya berada. Sudah sebulan sejak Ahmad memutus segala bentuk komunikasi dengan Tika setelah berkali-kali dihasut Dini dan Bu Nur yang mengatakan bahwa lelaki dewasa bisa mandiri bahkan tanpa keluarga.Namun, ternyata lelaki itu tak cukup tega, dia tak pernah bisa benar-benar memutus hubungannya dengan Tika setelah keduanya melewati asam-garam kehidupan bersama setelah sang ibu tiada. Ahmad merasa wajib mempertanggungjawabkan apa yang sudah dia mulai, meski tahu pasti apa risiko yang akan dihadapinya nanti. Tentu butuh banyak pertimbangan, sampai akhirnya dia mengambil langkah besar dengan menikahi Dini secara siri, hanya sehari setelah mereka berhubungan. Ahmad tahu dia salah karena mengedepankan nafsu dibanding logika, apalagi setelah tahu perempuan yang digaulinya telah berba
"Panggil si Dini ke sini!" titah Tika setelahnya. Setidaknya dia harus mendengar dari sudut pandang lain, sebelum mulai melepas sang adik menjalani hidupnya sendiri.Ahmad tak membantah, lelaki itu menurut. Dia berjalan keluar, dan kembali dengan Dini di sisi. "Udah berapa bulan usia kandungan kamu?" tanya Tika bahkan sebelum Dini sempat mendaratkan bokongnya."Se-sembilan belas minggu, Teh." Takut-takut Dini menjawab. Tika memalingkan muka, dia menggeleng tak habis pikir dengan pengakuan iparnya. "Jadi, kamu nikahin dia setelah hamil?" Pertanyaan itu kini Tika peruntukan pada Ahmad. "Nggak kasian kamu sama Ibu, Bapak dan Abah, Mad? Nggak kasian kamu sama teteh terus Nini? Saat kamu ngelakuin dosa dengan hamilin si Dini kita semua juga kebagian dosanya, Mad. Dosa karena dinilai nggak mengingatkan sanak-saudara akan bahayanya zina!"Ahmad terbungkam. Kedua tangannya terkepal di atas paha. "Ah, udahlah. Toh, setan nggak pernah pandang bulu, kalau mau ngerayu. Salah teteh yang kurang
Bu Wulan dan Andri saling berpandangan saat melihat Miftah, Dini, serta Bu Nur buru-buru pergi setelah perdebatan sengit terjadi. Tujuan untuk melihat keponakan dan cucu bahkan belum sempat terpenuhi karena kedua belah pihak sudah kepalang emosi. Tak ada lagi kompromi bagi Tika. Toleransinya sudah cukup sampai ditahap mengerti, tapi belum sampai menerima sepenuhnya.Andri dan Bu Wulan masuk begitu mereka pergi, keduanya ingin memastikan bagaimana kondisi Tika dan Nek Euis setelah keributan yang terjadi hingga mengundang beberapa pegawai ladang dan ternak, ikut serta mengamati. Beruntung benteng pagar di rumah ini cukup tinggi. Hingga tak ada campur tangan orang luar atau tetangga kepo menginterupsi."Tik ...." Suara Bu Wulan melirih saat melihat Tika bersimpuh dengan kepala di pangkuan Nek Euis. Perlahan perempuan berjilbab itu menoleh setelah menyeka air mata di pipinya."Aku nggak apa-apa, Bu." Kalimat yang terucap berbanding terbalik dengan tatapan nanar dan bibirnya yang gemetar.
Lelah dengan problematika rumah tangga yang membebaninya, Ahmad memutuskan untuk singgah di restoran baso yang ada di Jl. Holis tak jauh dari Kecamatan Bandung Kulon yang dulu menjadi tempat kerja kakaknya.Dia memesan baso kuah dan jus buah, lalu sesekali menatap ponsel di atas meja, mencoba menimbang-nimbang apakah dia harus menghubungi sang kakak, setelah dikabari tentang rencana pernikahannya.Tak mudah untuk menekan ego apalagi dia seorang lelaki yang memegang teguh prinsipnya. Empat tahun menjalin komunikasi seperlunya, membuat Ahmad tak yakin bisa mulai terbuka pada Tika tentang masalah rumah tangganya."A, Ahmad!" Suara panggilan lembut itu menginterupsi Ahmad dari lamunannya. Lelaki itu mengangkat kepala dan mendapati perempuan cantik bertudung putih dengan pakaian PNS-nya."La-Laras." Ahmad menyapa tak yakin.Perempuan itu tersenyum. Manis sekali. Yang membuat Ahmad tertegun dibuatnya.Sudah empat tahun, empat tahun sejak Ahmad memutus segala komunikasinya dengan adik kandun
"Eh, Mad!" "Reza!" Langkah Ahmad terhenti di ambang pintu keluar resto saat dia berpapasan dengan sosok yang dikenal. Lelaki bernama Reza Anugerah itu adalah teman seprofesi Ahmad di Pabrik Kahatex sebagai pengawas. Sudah lama sejak mereka tak pernah lagi bertemu, karena Reza resign hanya sebulan setelah Dini mengundurkan diri.Hal itu jelas semakin mematik rasa curiga Ahmad akan hubungan mereka berdua yang terjadi sebelum kehamilan Dini. Sudah empat tahun berlalu, tetap dia masih belum juga tahu ayah biologis dari anak yang selama ini tinggal bersamanya.Sebenarnya saat memutuskan menikahi wanita itu Ahmad sudah menerima, akan tetapi rasa penasaran itu kerap kali hinggap saat dia tak sengaja memerhatikan Syakil. Sebenarnya dari benih siapa dia berasal? Apa benar dari benih lelaki di hadapannya ini, seperti yang dia duga selama ini?"Hampura teu bisa datang pas hajat. Sumpah sabenerna mah urang teu nyangka maneh ngawin si Dini, Mad. (Maaf nggak bisa datang saat resepsi. Sumpah seb
"Nggak apa-apa, kalau kita ketahuan. Aku yang bakal tanggung jawab," yakinnya. "Halah tanggung jawab apaan. Waktu aku hamil Syakil aja kamu pergi." "Aku cuma butuh waktu buat nenangin diri. Lagian saat itu aku belum ada kerjaan. Buktinya aku balik, tapi kamu malah milih nikah sama cowok yang nggak kamu cintai!" Dini memalingkan muka. Matanya kembali mengembun. "Karena aku nggak bisa hidup miskin, Ky. Aku nggak mau. Cuman dengan dia aku bisa hidup enak. Cuma dengan dia masa depan Syakil terjamin." Air mata Dini kembali tumpah. "Kalau kamu udah ngerasa bahagia, kenapa masih hubungin aku? Bahkan selama setahun ini kamu selalu datang saat butuh. Aku ngerasa kayak dimanfaatin. Padahal aku tulus cinta sama kamu."Dini menarik napas panjang. Dia menatap mata lelaki yang sampai detik ini masih merajai hati. "Karena cuma kamu yang aku cinta. Karena cuma kamu yang bisa menyenangkanku. Si Ahmad payah, Ky. Dia nggak pernah bisa kasih kepuasan batin buat aku kayak kamu. Hubungan kita hambar,
" ... aku muak, Miftah. Aku jijik!"Masih berdiri mematung di tempatnya. Kalimat itu terus menerus ternging-ngiang di telinga Miftah. Bahkan Berputar-putar di kepalanya. Ada yang menghantam dada saat melihat lirih suara sang mantan istri memaki, memerah matanya menahan murka dan amarah. Dan anehnya Miftah tak merasa tersinggung saat dia dihina dan dicaci-maki bahkan dilempar uang ke depan muka. Yang terasa justru sesak, sesak yang dirasa saat melihat sedemikian dalam Tika membenci, karena luka yang sudah dia torehkan selama ini. Apakah empat tahun di balik jeruji besi tanpa disadari justru membuatnya introspeksi? Atau ceramah serta nasehat yang dicekokki para pemuka agama yang datang ke lapas, membuatnya cukup mawas diri? Bahkan saat dia tak sengaja membunuh Desi atau mencaci-maki Tika tentang anak yang dikandungnya ia tak pernah merasa seperti ini. Kalau sudah begini, bagaimana dengan empat tahun rencana matang yang sudah dia susun bersama Nia?"Pergi!" Jeritan itu menarik kesada