Tika berlalu meninggalkan mereka yang masih membatu, di balik pintu dia melihat Bi Tati sudah terisak menunggu."Neng ...." Dia berhambur dalam pelukan perempuan yang berusaha tegar di tengah terpaan badai. Tika hanya bisa tersenyum kecil, sembari mengusap punggungnya pelan, mencoba menenangkan."Tika nggak apa-apa, Bu." Dia melerai pelukan, lalu menyeka air mata yang tersisa di pipi wanita paruh baya yang sudah dia anggap seperti ibu kandung sendiri itu, kemudian beranjak meraih dompet di atas meja depan muka TV, lalu mengeluarkan lembaran uang seratus ribu, berjumlah lima belas lembar. "Titip buat mereka, ya, Bi. Bilangin aja ini ada sedikit uang tabungan Miftah yang tersisa."Entah kenapa Tika seolah tahu tujuan mereka datang dengan dengan wajah seperti itu. Meminta belas kasihan dari sifatnya yang terkenal tak tegaan. Namun, bukankah itu dulu? Saat dia masih menjadi wanita tolol yang bisa diperalat suami dan keluarganya yang tak tahu diri?Meski begitu, wanita itu tetap saja ber
Pagi ini, Tika terlihat sedang duduk di dalam sebuah ruangan untuk memenuhi panggilan polisi. Meski keraguan sempat menyelimuti, dia berkomitmen bahwa ini terakhir kali dia berhubungan dengan sang mantan suami. "Mari, sebelah sini, Bu!" Tika bangkit setelah dituntun salah seorang petugas polisi."Makin cantik aja kamu, Tik!" seru Miftah begitu Tika sampai di ruang kunjungan.Dia tatap mantan istrinya dari atas ke bawah dengan penuh kekaguman. "Nggak usah basa-basi. Langsung aja. Apa yang mau kamu omongin?!" sentak Tika dengan penuh ketegasan yang tak terelakkan. "Santai aja kali. Emang kamu nggak mau mengenang apa yang pernah kita lalui?""Nggak ada yang perlu dikenang, semuanya menyakitkan," cibir Tika yang membuat Miftah justru terkekeh pelan."Makin galak aja bumil yang satu ini. Aku jadi nggak sabar buat liat gimana anak kita pas lahir nanti.""Anak kita?" Tika seolah memastikan. "Bukannya waktu itu kamu yang tuduh saya ngelonte?!""Santai, Sayang. Waktu itu aku cuma emosi sama
"Nih, minum dulu!" Ahmad menyodorkan segelas air ke hadapan Dini yang tengah memerhatikan sekeliling rumah yang lelaki itu tinggali sendiri. "Makasih, A." Gadis itu tersenyum kecil, lalu menyambut gelas yang Ahmad sodorkan. "Jadi, kalian belum nemu tempat tinggal?" Ahmad membuka percakapan, sembari duduk di kursi seberang Dini. Pintu rumah sengaja dia buka lebar-lebar agar tak terjadi fitnah dengan sengaja menjaga batasan. Dini menggeleng. "Kita masih numpang di rumah Pak RT sambil cari uang buat nyewa kontrakan. Buat makan aja kita ngandelin duit yang dikasih si Nia buat kebutuhan Bila."Miftah terdiam sejenak. Sebenarnya dia tak tahu harus melakukan apa. Sejatinya dia sangat membenci Miftah dan ibunya, tapi berbeda dengan gadis ini. Meski hanya sedikit, sudah lama dia menaruh rasa pada Dini. "A'a tinggal sendiri?" Giliran Dini yang mengajukan pertanyaan. Pandangannya masih sibuk memerhatikan sekitar. Rumah ini cukup luas bila hanya ditinggali sendiri, di halaman juga Dini melih
"Neng Tika udah yakin mau pindah secepatnya?" Bi Tati bertanya saat melihat sejak semalam majikannya sibuk mengemasi barang untuk pindahan. Pagi ini, mobil box yang menjemput barang-barangnya sudah tiba di pelataran. Tika bangkit dari posisi bersimpuh di lantai, menyeletingkan koper terakhir yang baru selesai dipacking, sebelum beralih pada wanita paruh baya yang sudah bersamanya sejak mendiang putranya Akbar baru saja lahir. "Iya, Bi." Senyum getir tersungging, Tika menggenggam tangan Bi Tati. "Untuk saat ini emang lebih baik saya ngejauh demi kesehatan mental dan janin di kandungan. Lagian udah nggak ada lagi alasan buat saya bertahan di tempat ini."Wanita paruh baya itu menyeka air matanya yang entah sejak kapan sudah menetes. "Pokoknya di manapun kami berada, jaga diri baik-baik, ya, Neng. Masih banyak yang sayang sama Eneng, tetep kuat, buat calon dedek bayi!" Bi Tati memeluk Tika. Erat, seolah ini pertemuan terakhir mereka. Tak pernah cukup kata untuk menggambar kebaikan seo
"Bunda pamit, ya, Sayang. Baik-baik di sana. beberapa bulan sekali Bunda pasti mampir. Titip salam buat kakek sama nenek, ya. Bunda sayang banget sama kamu!"Tika mengusap nisan bertuliskan 'M. Akbar Maulana bin Miftahul Hamid itu setelah menyiram air doa serta bebungaan di atas pusara mendian putranya. Dari kejauhan terlihat Bu Wulan dan Andri memerhatikan. "Pasti sulit bagi Tika untuk memutuskan, walau bagaimana pun Bandung khususnya Maleber telah menjadi saksi hidupnya," cetus Bu Wulan masih dengan pandangan menatap wanita yang terlihat begitu tegar, padahal aslinya hancur berantakan. "Iya, dia telah mengambil langkah besar, tanpa mempertimbangkan banyak hal. Trauma serta kehidupan pernikahan kelam yang pernah dijalaninya membuat Tika sekuat tenaga menghindar."Bu Wulan menoleh pada lelaki berkacamata dengan kulit putih itu. Dia tahu betul ada makna tersirat yang coba Andri ungkapkan. Sebagai sesama wanita dia jelas paham, tatapan macam apa yang Andri tunjukkan pada janda Mifta
Hubungan yang terjalin antara Tika, Andri, dan Nia tak pernah sesederhana yang dibayangkan orang-orang. Pertemanan yang sudah terjalin sejak lama hingga berakhir dengan sebuah pengkhianatan saat Nia yang dulu sudah Tika anggap keluarga, justru menuduhnya macam-macam dengan dengan sang mantan. Sejak awal masa SMA, ikatan yang terjalin di antara mereka bertiga memang sulit untuk digambarkan. Bahkan sampai saat ketiganya resmi sama-sama melajang, dengan status cerai, Tika dan Nia sudah tak pernah lagi bertegur sapa. Karena sampai detik ini, kakak almarhum Desi itu masih saja menganggap Tika sebagai alasan keretakan rumah tangganya dengan Andri. Berkian tahun pun berlalu, ketika cinta yang sudah lama dipendam, dan Andri mulai menemukan peluang, Tika justru tak memberinya cukup kesempatan. Hal itu malah dimanfaatkan Nia yang berharap bisa memperbaiki hubungannya dengan sang mantan suami setelah perpisahan yang terjadi.Entah sampai kapan, Tika seolah tak bisa memastikan. Entah sampai kap
Andri baru saja memarkirkan kendaraan miliknya saat melihat mobil Nia sudah terparkir di halaman rumahnya. Lelaki itu menghela napas gusar, lalu bersiap mengambil ancang-ancang untuk kembali ke dalam mobil, dan berniat menghindar. Sebab, belum ada sejam sejak patah hati yang dirasakan akibat perkataan Tika, dia sudah harus kembali dihadapkan dengan masa lalu yang terus-menerus mengekang. Hubungannya dan Nia sudah berakhir lebih dari setahun yang lalu, bahkan tak ada anak yang mengikat mereka. Namun, entah kenapa Nia seolah tak bisa membiarkannya hidup tenang dengan mendesaknya agar bisa mempertimbangkan hubungan yang dia pikir belum benar-benar usai. "A Andri!" Andri memejamkan mata mendengar panggilan dari suara yang sudah amat dia kenal. Mau tak tahu lelaki bermata empat itu berbalik untuk melihatnya. Di belakang perempuan berambut bob itu terlihat sang ibu yang hanya bisa mengangguk, seolah mengisyaratkan agar Andri bersedia untuk memberi Nia kesempatan. Karena pada kenyataann
Jemari Tika menyusuri setiap sudut kamar yang biasa dia huni, tiap kali pulang ke kampung halaman. Lagi dan lagi, lamunannya terpecah-berai saat terbersit sekilas ingatan masa lampau. Apalagi saat pandangannya jatuh pada sebuah bingkai foto yang menunjukkan kebersamaan dengan sang mantan suami serta Akbar masih terpajang di atas kepala ranjang. "Waktu kasus tentang mantan suami Teteh mencuat, Marni udah mau turunin fotonya. Tapi, Ibu bilang katanya tunggu Teteh, biar Teteh yang memutuskan," cetus salah satu asisten rumah tangga Nek Euis yang mengantar Tika sampai ke kamar."Bisa tinggalin saya sendiri, Marni?!" pinta Tika tanpa menoleh ke arahnya. "Siap, Teh!" Marni mengangguk, lalu undur diri. Sepeninggal Marni, Tika merobohkan dirinya di atas pembaringan berukuran besar itu. Dia usap perutnya berkali-kali, sebelum beralih menyusuri ranjang dengan jemari. Tiap jejak kebahagiaan itu masih terekam jelas dalam ingatannya. Canda-tawa bersama putranya serta kemesraan yang selalu Mifta