"A'a yang waktu itu anter Tika pake Mobil Fotuner, ya?" Bu Wulan tiba-tiba nyeletuk saat Andri tengah mengalas nasi sembari menyusuri meja prasmanan yang disiapkan Tika dari katering yang dipesan.Andri tersenyum kecil. Lalu mengangguk pelan pada wanita bergamis peach yang kerudungnya disampirkan itu."Iya, Teh. Ini Teh Wulan, kan? Tika sering cerita tentang Teteh juga."Bu Wulan terkekeh."Hehe, iya. Kita emang deket banget di kantor. Tak terpisahkan pokona mah."Andri terkekeh pelan. "Kita ngobrolnya di sebelah sana, yuk! Temenin Tika!" usul Andri yang langsung disetujui Bu Wulan."Ya, kebetulan ada banyak hal yang mau saya obrolin sama dia. Soalnya Tika udah ambil cuti dari seminggu lalu di luar waktu yang dijadwalkan. Kayaknya dia ada masalah. Cuma nggak mau bilang.""Ya, saya juga khawatir karena akhir-akhir ini Tika kayak bener-bener membatasi diri. Hampir dua minggu bahkan kita putus komunikasi. Makanya lega banget pas hari ini dia kasih kabar dan ngadain pengajian," papar And
Restoran Baso Malang yang berada di pinggir Jalan Soekarno-Hatta itu tampak tak terlalu ramai siang ini. Hanya ada dua mobil terparkir, dan beberapa motor di pelataran yang luas itu. Dengan percaya diri Miftah menepikan motornya yang bahkan dipinjam dari teman tongkrongannya di Pos Ronda. Sejenak dia memerhatikan wajah di salah satu spion, merapikan rambut yang sengaja baru dicukur hanya untuk pertemuan spesialnya dengan Wulan siang ini. Meskipun berwajah tampan, tapi aura lelaki itu tak lagi terpancar. Apalagi dua pekan terakhir tubuhnya sering kali dicekokki minuman, rokok, juga bergadang hampir tiap malam. Lingkaran hitam tampak kentara di bawah mata cekungnya. Rahang tegas yang semula mempertegas proporsi wajahnya kini terlihat tirus dan kering.Langkah lebarnya memasuki ruang luas resto, setelah menyadari tak ada seorang pun pengunjung yang duduk di luar. Masih dengan semangat yang sama Miftah mengedarkan pandangan mencari sosok wanita pujaan yang sebulan terakhir berhasil meng
"Dia bukan anak Miftah, Ma. Dia bukan cucu Mama!"Nia menelan ludah susah payah, seolah ada benda padat sebesar biji zarah yang tersendat di tenggorokkannya, saat Miftah tiba-tiba menguak fakta yang selama ini dia dan Desi sembunyikan rapat-rapat setelah memutuskan untuk memperalat Miftah atas kehamilan Desi yang entah siapa ayahnya. Tubuh perempuan berambut pirang itu mundur dua langkah. Alisnya bertautan. Terkejut luar biasa."Dari mana lo tahu?" lirih pertanyaan itu terlontar."Keluar dari mulut adik lonte lo sendiri!" balas Miftah sengit."Berarti maneh panggih jeung Si Desi saacan indit? Di mana adi urang ayeuna? Di mana, Miftah?! (Berarti lo ketemu sama Desi sebelum dia pergi? Di mana adikku sekarang, di mana dia, Miftah?!)" Nia maju selangkah, lalu mencengkeram kerah jaket yang Miftah kenakan.Lelaki itu terdiam sejenak, lalu memalingkan pandangan."Mana aing nyaho. Maneh lancékna kudu na leuwih apal! (Mana gue tahu. Lo kakaknya harusnya lebih tahu)" Miftah menyentak tangan Ni
"Mif, kamu beneran nggak tahu Desi ke mana?" tanya Bu Nur hati-hati saat Miftah tengah merokok di teras. Hari sudah beranjak sore, tetapi perasaan wanita paruh baya itu masih tak tenang dibuatnya. Bahkan setelah kepergian Nia yang membawa serta Bila dan barang-barang milik Desi yang tersisa.Miftah menoleh, tajam tatapan lelaki itu saat menatap ibu kandungnya."Desi lagi, Desi lagi. Bisa nggak Mama berhenti bahas Si Lonte!" bentak Miftah sembari menyentak rokok pada asbak di atas meja.Bu Nur mengurut dada. Dengan nanar dia tatap putra semata wayangnya."Kenapa kamu jadi begini, sih, Mif?" lirih kalimat itu terlontar sembari menangkup wajah Miftah."Ck, apa, sih, Ma? Lebay banget. Miftah nggak kenapa-napa!" Dia menepis tangan Bu Nur, lalu memeriksa ponsel saat melihat satu notifikasi pesan masuk dari temannya."Mama nggak pernah liat kamu sekacau ini sebelumnya? Bilang, Mif. Ada apa?" Sekali lagi Bu Nur mendesak putranya."Yeh, dibilang nggak apa, ya nggak apa-apa. Miftah baik-baik a
"Udah berapa lama keciumnya, Bu?" tanya Tika pada Bu Susi sembari mengutak-atik gembok salah satu rumah kontrakannya yang pernah ditinggali Miftah dan Desi."Baru-baru ini. Kalau dari sana nggak terlalu kecium, lagian kamar ibu paling ujung, ke sekat satu kamar kosong lagi. Nyegatnya cuma dari kamar si Eneng-Eneng ini, kebetulan mereka emang baru balik lagi ke kontrakan setelah pulang ke rumah masing-masing seminggu lalu, mau pindah kerja katanya!" papar Bu Susi."Yang paling kecium dari kamar mandi, sih, Teh!" sahut salah satu dari ketiga gadis remaja itu."Iya, di belakang rumah juga nyengat pas tadi aku buang sampah," timpal yang lainya."Nggak mungkin sampah, sih. Soalnya di belakang bersih. Kalau Tikus atau Kucing, bisa jadi, sih," tambah satu lagi.Tika mengangguk, mencerna tiap keterangan dari masing-masing penghuni kontrakan sampai saat gembok berhasil dilepaskan."Kita pastiin aja, ya!"Tiba saatnya pintu dibuka. Dan kelimanya refleks menutup hidung. Bahkan salah satu dari ke
Mobil Ambulans dan Mobil Polisi terlihat sudah terparkir di pelataran kontrakan Tika. Malam semakin larut, tetapi warga yang penasaran masih terus berdatangan tak kunjung surut. Di depan garis polisi yang membentang Tika masih berdiri ditemani Ahmad dan Bu Susi. Tertegun menatap jasad Desi yang diangkut menggunakan kantong jenazah, sementara Nia yang baru datang langsung menerjang jasad adiknya yang sudah terbujur kaku dan membusuk, sembari meraung-raung menyesali perbuatan.Tiba-tiba Tika teringat percakapannya dengan Desi terakhir kali. Bagaimana tiap kata yang dia ungkap cukup mewakili isi hati. Posisi Desi yang seperti ini sejatinya tak lepas dari campur tangan Nia yang awalnya memberi usulan dengan niat balas dendam, tapi ujungnya malah menjerumuskan.Meskipun status persaudaraan mereka hanyalah tiri, tetapi Tika tahu pasti kasih sayang Nia tulus adanya. Perempuan itu mengenal Nia cukup baik, bahkan jauh sebelum dipersunting Andri. Namun, entah apa yang menjadi awal keretakkan h
"Din! Dini!"Bu Nur menggedor-gedor kamar Dini saat mendengar suara tangisan dari dalam kamar Dini. Sudah seharian, sejak pulang kerja setengah hari putri bungsunya dalam keadaan seperti ini. Mengunci diri dan terisak-isak di dalam tak mau keluar. Terpaksa wanita paruh baya itu terjaga malam ini."Makan dulu, yuk! Habis itu cerita sama mama. Jangan kayak gini terus, Din. Kamu nggak kasian sama mama? Udah mah A'a-mu begitu, jangan tambah kamu juga."Beberapa saat kemudian terdengar suara kunci yang dibuka, berikutnya knop pintu yang bergerak dan ditarik dari dalam.Bu Nur tertegun saat melihat kondisi putrinya dalam keadaan yang benar-benar mengenaskan. Kedua matanya membengkak, seragam pabrik yang masih belum diganti, dan rambut semrawut tak beraturan."Din ...."Awalnya Dini hanya bergeming menatap Bu Nur dengan mata sayunya. Namun, beberapa saat kemudian bibir gadis itu kembali bergetar, detik berikutnya dia berhambur dalam pelukan Bu Nur, dan menumpahkan segala keresahan yang dia a
Seminggu sebelumnya ....Suara omelan Bu Nur masih terdengar nyaring di luar sampai dua jam setelah pertengkaran Desi dan Dini. Namun, dua perempuan yang hanya selisih satu setengah tahun itu seolah sama-sama tak peduli. Dini bahkan sudah kembali berganti pakaian dan bersiap pergi."Mau ke mana?" Cekalan tangan Bu Nur, menahan langkah Dini yang sudah sampai di ambang pintu.Gadis delapan belas tahun itu menatap nyalang."Nenangin pikiran. Kalau terus di sini bisa-bisa makin stress aku," cetusnya sembari menepis tangan sang ibu. Dini pun berlalu mengendarai motornya mencari tempat yang dipikir bisa menjernihkan kekalutan pikirannya.Masih di tempat yang sama Bu Nur temangu menatap kepergiaan putrinya, sementara suara tangis Bila terdengar nyaring di dalam kamar Desi. Entah apa yang perempuan itu lakukan sejak tadi."Des, Desi! Ngapain aja kamu? Kenapa Bila dibiarin nangis? Buka pintunya sekarang, mama mau ngomong."" .... " Tak ada jawaban.Sampai lima menit kemudian Bu Nur berinisiati
Berbagai kecamuk perasaan menghinggapi Tika saat dia berjalan menyusuri lorong Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung, menuju ruang ICU. Tak ada ekspresi berarti yang dia tunjukkan saat Bu Wulan mengatakan bahkan sudah berbulan-bulan Miftah menjalani pengobatan secara intensif setelah dokter mendiagnosis bahwa mantan suaminya itu mengidap Bronchitis, dan secara pribadi Bu Nur memohon padanya untuk menyampaikan pesan. Sebenarnya Tika sudah tak peduli dengan apa yang terjadi pada Miftah dan keluarganya, sebab tak ada lagi yang tersisa dari lelaki itu selain kenangan pahit yang masih kerap kali menjadi mimpi buruk di tiap tidurnya. Namun, saat Andri mengatakan bahwa mungkin itu adalah permintaan terakhir mantan suaminya, Tika benar-benar tak kuasa untuk menolaknya.Melihat seseorang hanya berdiri di depan pintu ruang ICU, sontak Bu Nur bangkit setelah menyuapi putranya yang sudah tak bisa melakukan apa-apa. "Makasih, makasih banyak udah sudi datang, Tik. Dua hari ini Miftah nggak mau makan
Tak ada luka yang benar-benar abadi, waktu selalu mampu memperbaiki situasi, meski yang tersisa dari memori kerapkali kali masih menyisakan sedikit nyeri dalam hati. Awan mendung tak berarti hujan turun, tapi Matahari selalu adil menerangi setiap inti bumi. Setiap duka pasti ada suka, setiap kehilangan pasti ada penggantinya, dan setiap yang ditanam pasti akan ada yang dituai, karena begitulah kehidupan berjalan.Hari berganti, bulan-bulan dilewati. Demi menjaga kewarasan diri dari bayang-bayang masa lalu, Andri bersedia mengikuti sang istri untuk menetap di Cianjur. Meski harus pulang-pergi Bandung-Cianjur seminggu dua kali, meski rindu kerap kali menghinggapi. Lelaki itu tak peduli dengan jarak, selama mereka bisa terus bersama sampai akhir hayat nanti. Setelah apa yang terjadi pada Tika pun Ahmad, perempuan itu seolah tak mau tahu lagi tentang mantan suam dan keluarga benalunya itu. Dia memilih melanjutkan usaha dari modal yang ditinggalkan orang tua, serta menata hidupnya kembali
Ternyata pribahasa darah lebih kental daripada air itu benar adanya. Ikatan persaudaraan yang erat membuat Tika tak kuasa menahan tangis, lelaki itu bersimpuh, menangis meraung di kaki Tika, dan mengakui bahwa dia memang telah salah selama empat tahun ini. Mengikuti hawa nafsu, tak peduli nasihat kakak kandung sendiri, terjebak dalam pernikahan dengan perempuan yang ternyata hanya ingin memanfaatkan harta bendanya. Madu yang dia tuang ternyata dibalas racun mematikan. Empat tahun menampung keluarga benalu membuat Ahmad benar-benar berhasil mempelajari banyak hal. Belajar tentang kegagalan Tika juga dirinya sekarang. "Maaf, hampura, Teh. Hampura Ahmad khilaf!" Ahmad masih bersimpuh di lantai memeluk kaki Tika. Sementara yang bersangkutan tampak masih shock setelah mendengar pengakuan sang adik tentang kondisi kehidupannya pasca pernikahan dengan Dini. Tika benar-benar tak menyangka, ternyata di balik kebungkaman, di balik komunikasi yang nyaris terputus selama empat tahun ini ada
Tok! Tok! Tok! "Buka pintunya, Nia! Jangan bikin papa hilang kesabaran, ya."Suara ketukan yang sudah berubah jadi gedoran itu terdengar di salah satu kamar dalam rumah milik mantan pejabat yang cukup disegani pada masanya. Sudah tiga hari sejak pria paruh baya tersebut mendapati sang putri mengurung diri. Hari ini kesabarannya sudah benar-benar habis. Dia seolah sudah lelah menghadapi satu-satunya putri yang tersisa, karena terlalu terobsesi pada mantan suaminya, Andri. "Kalau nggak dibuka juga papa dobrak pintunya, ya, Nia!"" .... " Tetap tak ada jawaban dari dalam. Hal itu membuatnya mulai dilingkupi perasaan khawatir."Dang, bawa kunci serep di gudang. Si Nia nggak mau keluar ini." Lelah menunggu dan penasaran dengan apa yang membuat putrinya mengurung diri sampai tiga hari. Papa Nia akhirnya meminta salah seorang tukang di rumahnya untuk mengambil kunci serep. Hanya beberapa menit setelah diminta, sopir yang juga tukang kebun itu datang membawa kunci cadangan. "Sial, nyang
Miftah kembali ke rumah saat dia melihat ibunya duduk mematung di atas kursi. Sementara Dini menangis meraung di kakinya. Syakil dan Bila yang melihat itu hanya bisa menatap kehadiran mereka dengan penuh kebingungan. Sebenarnya Bu Nur sudah tahu kalau Syakil adalah anak dari Rifky, mantan kekasih putrinya. Namun, dia tak menyangka kalau Dini masih menjalin hubungan dengan montir bengkel itu. Bertahun-tahun, di belakang Ahmad. Bahkan bisa dipastikan anak yang Dini kandung sekarang juga berasal dari benih Rifky. Sekali lagi kebodohan anaknya berhasil menjerumuskan. Akankah kesenangan yang sudah didapatkan selama empat tahun ini akan dicabut kembali? "Ada apa ini?" Miftah akhirnya bertanya setelah lama membaca situasi. Melihat tangisan adiknya serta beberapa barang yang dia bawa serta ke mari. Miftah mulai menduga bahwa ada sesuatu yang terjadi antara rumah tangga Dini dan Ahmad. Mendengar kehadiran kakaknya, Dini langsung memburu Miftah, lalu bersimpuh di kakinya. "Tolongin Dini, A
Tika duduk bersedekap di atas sajadah. Mukena membalut tubuhnya dari ujung kepala sampai kaki. Berbagai doa dia panjatkan sejak Magrib tadi. Memohon tak henti agar tak ada bala yang mendekati.Ketakutan mulai menyelimuti. Padahal selama empat tahun dilewati dia tak pernah merasakan hal semacam ini. Entah kenapa, selama Miftah dan keluarganya masih berpijak di bumi yang sama. Tika merasa tak akan pernah bisa mendapatkan ketenangan lagi. "Buna ...." Panggilan pelan dari suara yang lembut itu menginterupsi zikirnya. Sejenak Tika seka air mata dengan mukena, lalu beralih pada Zahra yang malam ini dia tempatkan di satu kamar bersamanya. "Ya, Sayang.""Om gateng tadi siapa, Buna? Kenapa dia bilang Ayah Zahla."Tika terdiam sejenak dengan kebingungan yang menggelayutinya. Setelahnya napas panjang dia hela. "Bukan siapa-siapa, cuma orang iseng aja." Masih terbalut mukena Tika bangkit, lantas berjalan menghampiri Zahra yang duduk di tepi ranjang. "Kalo bukan siapa-siapa. Kenapa Buna mara
" ... aku muak, Miftah. Aku jijik!"Masih berdiri mematung di tempatnya. Kalimat itu terus menerus ternging-ngiang di telinga Miftah. Bahkan Berputar-putar di kepalanya. Ada yang menghantam dada saat melihat lirih suara sang mantan istri memaki, memerah matanya menahan murka dan amarah. Dan anehnya Miftah tak merasa tersinggung saat dia dihina dan dicaci-maki bahkan dilempar uang ke depan muka. Yang terasa justru sesak, sesak yang dirasa saat melihat sedemikian dalam Tika membenci, karena luka yang sudah dia torehkan selama ini. Apakah empat tahun di balik jeruji besi tanpa disadari justru membuatnya introspeksi? Atau ceramah serta nasehat yang dicekokki para pemuka agama yang datang ke lapas, membuatnya cukup mawas diri? Bahkan saat dia tak sengaja membunuh Desi atau mencaci-maki Tika tentang anak yang dikandungnya ia tak pernah merasa seperti ini. Kalau sudah begini, bagaimana dengan empat tahun rencana matang yang sudah dia susun bersama Nia?"Pergi!" Jeritan itu menarik kesada
"Nggak apa-apa, kalau kita ketahuan. Aku yang bakal tanggung jawab," yakinnya. "Halah tanggung jawab apaan. Waktu aku hamil Syakil aja kamu pergi." "Aku cuma butuh waktu buat nenangin diri. Lagian saat itu aku belum ada kerjaan. Buktinya aku balik, tapi kamu malah milih nikah sama cowok yang nggak kamu cintai!" Dini memalingkan muka. Matanya kembali mengembun. "Karena aku nggak bisa hidup miskin, Ky. Aku nggak mau. Cuman dengan dia aku bisa hidup enak. Cuma dengan dia masa depan Syakil terjamin." Air mata Dini kembali tumpah. "Kalau kamu udah ngerasa bahagia, kenapa masih hubungin aku? Bahkan selama setahun ini kamu selalu datang saat butuh. Aku ngerasa kayak dimanfaatin. Padahal aku tulus cinta sama kamu."Dini menarik napas panjang. Dia menatap mata lelaki yang sampai detik ini masih merajai hati. "Karena cuma kamu yang aku cinta. Karena cuma kamu yang bisa menyenangkanku. Si Ahmad payah, Ky. Dia nggak pernah bisa kasih kepuasan batin buat aku kayak kamu. Hubungan kita hambar,
"Eh, Mad!" "Reza!" Langkah Ahmad terhenti di ambang pintu keluar resto saat dia berpapasan dengan sosok yang dikenal. Lelaki bernama Reza Anugerah itu adalah teman seprofesi Ahmad di Pabrik Kahatex sebagai pengawas. Sudah lama sejak mereka tak pernah lagi bertemu, karena Reza resign hanya sebulan setelah Dini mengundurkan diri.Hal itu jelas semakin mematik rasa curiga Ahmad akan hubungan mereka berdua yang terjadi sebelum kehamilan Dini. Sudah empat tahun berlalu, tetap dia masih belum juga tahu ayah biologis dari anak yang selama ini tinggal bersamanya.Sebenarnya saat memutuskan menikahi wanita itu Ahmad sudah menerima, akan tetapi rasa penasaran itu kerap kali hinggap saat dia tak sengaja memerhatikan Syakil. Sebenarnya dari benih siapa dia berasal? Apa benar dari benih lelaki di hadapannya ini, seperti yang dia duga selama ini?"Hampura teu bisa datang pas hajat. Sumpah sabenerna mah urang teu nyangka maneh ngawin si Dini, Mad. (Maaf nggak bisa datang saat resepsi. Sumpah seb