"Udah berapa lama keciumnya, Bu?" tanya Tika pada Bu Susi sembari mengutak-atik gembok salah satu rumah kontrakannya yang pernah ditinggali Miftah dan Desi."Baru-baru ini. Kalau dari sana nggak terlalu kecium, lagian kamar ibu paling ujung, ke sekat satu kamar kosong lagi. Nyegatnya cuma dari kamar si Eneng-Eneng ini, kebetulan mereka emang baru balik lagi ke kontrakan setelah pulang ke rumah masing-masing seminggu lalu, mau pindah kerja katanya!" papar Bu Susi."Yang paling kecium dari kamar mandi, sih, Teh!" sahut salah satu dari ketiga gadis remaja itu."Iya, di belakang rumah juga nyengat pas tadi aku buang sampah," timpal yang lainya."Nggak mungkin sampah, sih. Soalnya di belakang bersih. Kalau Tikus atau Kucing, bisa jadi, sih," tambah satu lagi.Tika mengangguk, mencerna tiap keterangan dari masing-masing penghuni kontrakan sampai saat gembok berhasil dilepaskan."Kita pastiin aja, ya!"Tiba saatnya pintu dibuka. Dan kelimanya refleks menutup hidung. Bahkan salah satu dari ke
Mobil Ambulans dan Mobil Polisi terlihat sudah terparkir di pelataran kontrakan Tika. Malam semakin larut, tetapi warga yang penasaran masih terus berdatangan tak kunjung surut. Di depan garis polisi yang membentang Tika masih berdiri ditemani Ahmad dan Bu Susi. Tertegun menatap jasad Desi yang diangkut menggunakan kantong jenazah, sementara Nia yang baru datang langsung menerjang jasad adiknya yang sudah terbujur kaku dan membusuk, sembari meraung-raung menyesali perbuatan.Tiba-tiba Tika teringat percakapannya dengan Desi terakhir kali. Bagaimana tiap kata yang dia ungkap cukup mewakili isi hati. Posisi Desi yang seperti ini sejatinya tak lepas dari campur tangan Nia yang awalnya memberi usulan dengan niat balas dendam, tapi ujungnya malah menjerumuskan.Meskipun status persaudaraan mereka hanyalah tiri, tetapi Tika tahu pasti kasih sayang Nia tulus adanya. Perempuan itu mengenal Nia cukup baik, bahkan jauh sebelum dipersunting Andri. Namun, entah apa yang menjadi awal keretakkan h
"Din! Dini!"Bu Nur menggedor-gedor kamar Dini saat mendengar suara tangisan dari dalam kamar Dini. Sudah seharian, sejak pulang kerja setengah hari putri bungsunya dalam keadaan seperti ini. Mengunci diri dan terisak-isak di dalam tak mau keluar. Terpaksa wanita paruh baya itu terjaga malam ini."Makan dulu, yuk! Habis itu cerita sama mama. Jangan kayak gini terus, Din. Kamu nggak kasian sama mama? Udah mah A'a-mu begitu, jangan tambah kamu juga."Beberapa saat kemudian terdengar suara kunci yang dibuka, berikutnya knop pintu yang bergerak dan ditarik dari dalam.Bu Nur tertegun saat melihat kondisi putrinya dalam keadaan yang benar-benar mengenaskan. Kedua matanya membengkak, seragam pabrik yang masih belum diganti, dan rambut semrawut tak beraturan."Din ...."Awalnya Dini hanya bergeming menatap Bu Nur dengan mata sayunya. Namun, beberapa saat kemudian bibir gadis itu kembali bergetar, detik berikutnya dia berhambur dalam pelukan Bu Nur, dan menumpahkan segala keresahan yang dia a
Seminggu sebelumnya ....Suara omelan Bu Nur masih terdengar nyaring di luar sampai dua jam setelah pertengkaran Desi dan Dini. Namun, dua perempuan yang hanya selisih satu setengah tahun itu seolah sama-sama tak peduli. Dini bahkan sudah kembali berganti pakaian dan bersiap pergi."Mau ke mana?" Cekalan tangan Bu Nur, menahan langkah Dini yang sudah sampai di ambang pintu.Gadis delapan belas tahun itu menatap nyalang."Nenangin pikiran. Kalau terus di sini bisa-bisa makin stress aku," cetusnya sembari menepis tangan sang ibu. Dini pun berlalu mengendarai motornya mencari tempat yang dipikir bisa menjernihkan kekalutan pikirannya.Masih di tempat yang sama Bu Nur temangu menatap kepergiaan putrinya, sementara suara tangis Bila terdengar nyaring di dalam kamar Desi. Entah apa yang perempuan itu lakukan sejak tadi."Des, Desi! Ngapain aja kamu? Kenapa Bila dibiarin nangis? Buka pintunya sekarang, mama mau ngomong."" .... " Tak ada jawaban.Sampai lima menit kemudian Bu Nur berinisiati
Hujan deras baru saja mengguyur Kota Bandung sore menjelang malam ini. Angin bertiup kencang dengan bunyi guntur yang bersahutan. Namun, cuaca buruk itu sama sekali tak menyurutkan niat Tika untuk datang ke rumah Bu Wulan setelah wanita itu menghubungi kalau ada hal tak terduga yang baru saja terjadi.Mobil Tika masuk ke dalam pelataran setelah tukang di rumah Bu Wulan membukakan pagarnya, lalu memayungi. Dengan totebag berisi tas di tangan, berusaha keras dia mengumpulkan kepercayaan diri, lalu melangkah pasti menghampiri wanita yang menjadi penyebab kehancuran rumah tangganya."Apa-apaan ini?" Desi tiba-tiba bangkit dari posisi saat melihat Tika berjalan menghampiri."Tenang, duduk dulu! Kita bicara baik-baik, dari hati ke hati. Sebagai sesama wanita sama-sama yang tersakiti." Bu Wulan menengahi, dia tuntun Desi agar kembali duduk di sofa, sementara Tika meletakkan totebagnya di atas meja, kemudian mengempaskan bokong tepat di hadapannya.Desi langsung menyambar totebag itu dan terk
"Kurang lebih sebulan lalu, aku membuat akun fake atas nama Bu Wulan hanya untuk memancing Kadal Air itu, dan memastikan apa benar dia seburuk yang dibayangkan. Aku nggak pernah menduga dia akan menanggapinya, lalu memakan umpannya dan berlaga bak lelaki hidung belang kebanyakan hingga sering kali membuatku mengernyit jijik. Aku berani bersumpah Desi, kugunakan akun itu hanya untuk memberinya pelajaran dan memastikan. Nggak ada secuil pun keinginan untuk membuatnya kembali. Nggak ada!" Napas Tika memburu, sesekali dia mengelus perut saat dirasa amarah yang dia luapkan sudah melampaui batasnya. Belum puas sampai di situ, Tika mengeluarkan ponselnya dan memutar rekaman suara yang dia ambil saat Miftah menghubunginya.Dia letakkan ponsel itu di atas meja, tepat menghadap Desi."Oke, sebenarnya aku bingung kenapa dua hari ini kamu kayak menghindar. Untuk meluruskan kesalahanpahaman tentang pertanyaan yang kamu ajukan hari itu. Aku bakal jawab sekarang."Tika tertegun, dia ingat dua hari l
Perempuan itu berjalan gontai di tengah malam yang kelam, sekelam harapan yang kandas ditelan kenyataan bahwa sosok yang diharapkan mengantar kebahagiaan malah menjadi alasan penderitaan. Semua yang dia rasakan mungkin memang tak sebanding dengan luka yang sudah dia torehkan pada seseorang yang masih sudi mengulurkan tangan, saling menguatkan sebagai sesama perempuan. Ternyata sejak awal Desi memang sudah salah menilai Tika, di balik semuanya ternyata Tika masih memiliki kebesaran hati hingga bersedia memaafkan.Sampai selarut ini Desi baru bersedia pulang setelah membagi semua fakta terjalinnya hubungan mereka dengan perantara Nia. Tak menyangka kakak tirinya itu telah mengumpankannya pada sosok semengerikan Miftah.Ponsel di saku celananya bergetar beberapa kali. Notifikasi pesan dari Nia, Bu Nur, dan ayahnya dia abaikan begitu saja saat melihat sekumpulan pemuda tengah minum-minum dan main kartu di Pos Ronda.Plak!Semua orang tercengang saat Desi tiba-tiba melayangkan tamparan pad
"Ja, De!" Kedua pemuda itu terlonjak saat melihat Miftah telah kembali. Tak ada ekspresi berarti yang dia tunjukkan bahkan setelah menghilangkan nyawa istrinya sendiri."I-ya, A?" Entah apa sebabnya mereka tiba-tiba gemetar melihat tatapan lelaki itu."Minjeum motor, urang rek nganter pamajikan balik (Pinjem motor, gue mau anter bini pulang)."Kedua pemuda itu berpandangan. Meski, tak menunjukkan banyak perubahaan, tapi entaj kenapa mereka mulai menaruh curiga akan gelagat Miftah setelah pamit pada istrinya."Oh, enyak, enyak. Sok, A!"Meski sepat ragu, akhirnya mengangguk juga, lalu menyerahkan kunci motornya. sebelum benar-benar pergi Miftah sempat menegak habis setengah botol minuman alkohol yang tersisa di atas meja kecil yang ada di Pos Ronda.Meninggalkan Jaja dan Ade dalam kebingungan luar biasa.***Tiba di depan kontrakan Tika, Miftah langsung membopong Desi, dan menggunakan jepit rambut istrinya untuk membuka kunci gembok. Kebetulan daerah ini memang terkenal sepi, apalagi