“Iya, Ita ... sudah jangan begitu. Mungkin maksud saudara kamu baik.” Wak Ratno sungguh baik, semoga jika aku diamanahi harta seperti Wak Ratno aku bisa tetap rendah hati.Saat kami ke luar kamar, di ruang keluarga sedang terjadi keributan. Mereka memperebutkan bingkisan yang dibawa bibi.“Orang kaya, itu enggak perlu beginian. Beli sendiri juga bisa!” ucap Mbak Ning.“Ayo, kita ke Indoapril dulu, beli. Mumpung belum malam!” ajak Mbak Nur. Ketiga kakakku lantas pergi ke luar rumah.“Kalau ada yang gratis ngapain ngeluarin duit, ya enggak, Li?” ujar Mbak Asih.“Bener, lumayan, kan, uangnya bisa untuk yang lain,” jawab Mbak Lili.Ternyata mereka memperebutkan under wear sekali pakai. Bibi yang belanja.Hebatnya bibi bisa menghandle semuanya termasuk tamu-tamu Wak Ratno bahkan tahu kebutuhan-kebutuhan terperinci tamu-tamu majikannya.🌸🌸🌸Paginya kami sudah bersiap tinggal menunggu Wak Ratno.Masya Allah sekali saudara-saudaraku sudah mau dandan ke pesta saja.Mbak Lili dan Mbak Asih s
“Duh, Nyonya baru bangun, ya? Sini-sini lihat ini aku bawa apa buat kamu?” Aku kaget sekali saat membuka pintu kamar ternyata sudah ada Mbak Asih yang sedang menyiapkan sarapan.Pasti karena pintu rumah tidak dikunci makanya dia bisa masuk rumah senaknya. Tadi pagi Mas Danu izin ke Masjid untuk salat subuh, dia mau rutinkan subuhan di Masjid lagi karena kakinya sudah banyak perubahan.Padahal aku bangun juga masih terbilang cukup pagi, jam 05.35 WIB. Ajaib sekali Mbak Asih sudah di sini.“Ada acara apa ya, Mbak, kok pagi-pagi sudah ada antar makanan ke sini?” tanyaku penasaran.“Ya, enggak ada acara apa-apa loh, Ta. Ini namanya bentuk dari cinta keluarga. Aku tahu kamu capek setelah kemarin seharian ngurus ini dan itu makanya aku berbaik hati memberi sarapan enak ini untuk kamu dan Danu,” jawab Mbak Asih. Ngomongnya lancar kayak jalan tol.“Oh, begitu, tapi enggak biasanya, loh?”“Kali ini akan terbiasa, Ta. Biar kamu enggak repot dan enggak capek. Kamu cukup urus saja usaha kamu nant
“Iya, Ibu nyuruh Mas cepat-cepat beli kendaraan katanya takut uangnya habis.”“Lah, kok? Habis gimana uang saja ada di rekening semua. Ah, pasti ibu curiga padaku,” kataku kesal.“Sssstt ... jangan cemberut begitu, biarkan saja Ibu mau ngomong apa yang penting Mas enggak terpengaruh. Kan, kita sudah sepakat untuk tidak buru-buru kita harus merencanakan semuanya dengan baik,” ucap Mas Danu.“Iya, sih, Mas, tapi aku lama-lama juga kesel sama Ibu.”“Sabar, ya? Oh, iya ini ada sarapan dari siapa kok enak sekali. Padahal semalam kamu bilang mau masak sayur bening bayam.”“Dari Mbak Asih, Mas.” Mas Danu yang sudah mengambil tempe goreng langsung ditaruh lagi.“Kita jangan makan-makanan yang dikasih Mbak Asih, Dik.”“Kenapa, Mas?”“Enggak apa-apa. Waspada lebih baik, tho?”“Ya, sudah aku masak bentar ya, Mas. Tolong jagain Kia.”Aku masak seadanya sayur bening bayam dan juga goreng tempe, sambal orek. Kalau masak begini Kia bisa sekalian makan jadi hemat energi juga.“Danu, gimana tawaran Ib
Setelah ini kami pergi ke tempat juragan ikan, dia itu yang punya ruko-ruko di pasar induk, kami berniat menyewa di sana.“Dik, Mas Mandi dulu, kamu siap-siap, ya?” titah Mas Danu.“Iya, Mas.““Eh, kalian mau ke mana? Kok Ibu enggak diajak?” tanya ibu kepo.“Mau ke pulau cinta, Bu. Kalau Ibu ikut, kami malu dong, dilihatin,” candaku.“Owalah, dasar bocah edan! Ditanya baik-baik malah jawabannya begitu!”“Benar kata Ita, Bu,” sahut Mas Danu. Ibu kesal kemudian beliau pulang sambil ngomel-ngomel.“Mas, kita berangkat sama siapa?”“Sama Joko dan temannya. Aman insya Allah. Kamu siap-siap, ya, salat duha dulu.”Aku dan Mas Danu pergi ke sumur belakang. Alhamdulillah suara Mbak Lili sudah tidak terdengar lagi. Aman. Pasti Mbak Desi sudah pergi.“Eh, Danu baru mau mandi? Sudah enggak usah nimba, biar aku colokin sanyonya,” ucap Mbak Lili.“Enggak usah Mbak, sudah biasa kami nimba,” jawab Mas Danu.“Jangan, ih. Nanti kamu enggak sembuh-sembuh. Sudah tuh, airny sudah ngalir sudah sana masuk s
“Nurut dong, Ta. Aku ini kan, saudara yang baik Ha-ha.” Dia tertawa sumbang.“Masa, dulu juga pas juragan ikan ke rumah, Mbak buru-buru pulang. Ada apa sih?” tanyaku penasaran.“Kepo aja kamu, Ta. Kami kasih tahu juga situ enggak bakalan ngerti otaknya enggak sampai kamu kan tol*l,” maki Mbak Asih.“Bu, tolonglah. Ini aku bukan lagi main-main.” Mohon Mas Danu. Mereka akhirnya pulang meski ngomel-ngomel.Sampai rumah juragan ikan, Joko dan temannya tidak mau ikut masuk. Mereka bilang itu privasinya kami, syukurlah teman Mas Danu punya adab yang bagus.Rukonya dikontrakkan 10 juta per tahun, air lancar, listrik 1300 KWH. Lingkungan juga aman insya Allah.Kami sepakat bayar kontrakan hari ini, kata juragan Teras Bank BRI dekat ruko yang akan kami sewa buka sampai jam 2 siang.Siang ini kami langsung ke lokasi untuk melihat. Sebenarnya kami juga sudah tahu lokasinya makanya kami cepat-cepat menemui juragan karena kalau tidak nanti diambil orang lain. Rukonya pas perempatan pasar jadi sang
Aku sendiri bingung harus bagaimana menanggapinya.“Juragan, aku sungguh tidak tahu kalau juragan akan bicara seperti ini. Karena kami memang tidak tahu masalah itu. Niat kami kan, hanya mau menyewa ruko juragan. Apalah aku juragan tidak berhak menghakimi orang. Aku tidak berani main pukul.” Mas Danu mengusap bahu juragan ikan.Benar yang dikatakan Mas Danu. Kami memang niat mau menyewa tempat bukan yang lain, tapi ternyata Allah kasih petunjuk lain tentang perbuatan Mbak Asih.Biarlah itu urusan sesama lelaki aku tidak akan ikut campur jika tidak diminta. Lagi pula Mbak Asih memang memang Kakak dari Mas Danu meski tidak sedarah mereka tumbuh besar bersama pasti ada ikatan rasa kasih sayang yang kuat.Pasar sangat ramai. Kebetulan sekali aku lewat lapak jualanku dulu. Ibu-ibu yang jualan ngampar di sana pasti masih mengingatku buktinya mereka melihatku sinis padahal aku jalan dengan suamiku sendiri sedang juragan ikan di depan bersama anak buahnya.Kami sengaja jalan kaki mobil di par
“Danu, ya Allah, Nak. Kamu lama sekali berangkat pagi pulang sore begini,” kata ibu dibuat-buat.“Iya, kan, namanya juga lagi mau bisnis, Bu. Jadi ya, gini. Duh, senengnya ya, sekarang Mas Danu sama Mbak Ita bakalan jadi orang kaya,” sahut Bu Jum si ratu gosip.“Aamiin ... doakan saja, ya, Bu,” jawabku.“Asih! Sih, bawa sini dulu itu tadi yang kita masak, Nak!” teriak ibu.Aku yakin mereka mau memberi kami makanan lagi.“Nah, Danu. Lihat itu. Tadi Ibu minta tolong sama suami Bu Jum untuk membuat aliran air ke rumah kamu, biar kami sama Ita ke kamar mandinya tidak jauh. Tenang sudah tidak nimba. Pakai sanyo,” cicit ibu.Kami terbengong.“Semunya habis 500 ribu rupiah, Nak. Ongkos suami Bu Jum 100 ribu rupiah.” Nah, kan, benar filingku.Ck, ibu tidak akan kehabisan akal untuk mendapatkan uang dari Mas Danu.“Asih! Cepetan!” teriak ibu lagi.“Sabar, Bu. Ih, teriak-teriak terus!” jawab Mbak Asih kesal.“Mbak Lili ke mana, Bu?” tumben dia enggak ikut nimbrung bareng kakak dan ibunya.“Ada
“Heh, pelakor ngapain kamu manggil-manggil aku!” bentak Mbak Asih.“Berani sekali perempuan tidak tahu diri itu datang lagi ke sini!” ucap ibu kesal giginya sampai bergemeletuk.“Sebaiknya hati-hati Mbak, itu mbak Desi bawa gunting,” kataku mengingatkan.“Halah enggak takut aku! Mau bawa pedang atau bedil sekalian!” Tantang Mbak Asih."Iya, Sih, hati-hati dia itu wanita gil4!" umpat ibu.“Kurang ajar kamu, ya, Sih! Ikut campur masalahku!” teriak Mbak Desi lagi. Dia masih berdiri di tempat.“Masalah mana? Aku enggak merasa, tuh!” sahut Mbak Asih santai.“Hah! Kamu sudah merusak rencanaku! Kamu bantu Mas Eko untuk kembali lagi pada istrinya. Kamu kurang ajar!” Mbak Desi seperti kesetanan dia lari menyerang Mbak Asih.Aku dan ibu teriak histeris dan meminta tolong. Mbak Asih dan Mbak Desi terlibat perkelahian. Aku takut Mbak Desi melukai pakai gunting yang dia bawa.“Aaaa tolong!”“Tolong!”Aku dan ibu terus berteriak minta tolong barang kali ada orang lewat.Ada Mas Danu, tapi karena ko