“Lelaki buaya darat! Busyet aku tertipu lagi .....” 🎶“Kau hancurkan hatiku dengan cintamuuuuu tak sadarkah kau telah menyakitiku ....” 🎶“Dengarlah matahariku suara pintu hatiku na na na ....🎶“Kutersisih tak terpakai lagi dari pelukanmu dan kasih sayangmu ....” 🎶🎶Aku pusing mendengar Mbak Asih nyanyi tidak jelas.“Asih, sudah cukuplah kamu nyanyi-nyani tidak jelas begitu. Sini bantu Ibu masak rendang,” ucap ibu. Aku sedang mengantarkan sayur gulai nangka ke rumah ibu.Mbak Asih di kamar sedang karaoke. Suaranya melengking kuat sekali. Bikin kuping sakit.“Ibu ini pusing, Ta. Asih itu susah diatur,” keluh ibu.“Sabar Bu, Mbak Asih sedang di posisi terpuruk maklumi saja,” jawabku sekenanya. Jujur aku pun bingung mau komentar apa takut salah lagi.“Tahu ah, Ta. Ibu pusing,” ucap ibu lagi.Kembali ibu termenung sendiri di kursi malasnya. TV memang menyala, tapi ibu melamun. Makanya aku sering bawa ibu ke rumah. Lebih baik beliau ribut dengan Mamah Atik dari pada di rumah bengong b
“Mau ya, Nak, sama anak Ibu. Meskipun janda, tapi Cantik, seksi, dan belum punya anak,” ucap ibu lagi, beliau mempromosikan Mbak Asih.“Maaf Bulek, saya sudah punya calon, ini kami ke sini mau ngundang Mbak Ita, lusa pernikahan kami di rumah calon istri. Di kecamatan Margoyoso,” jawab anak Bulek Minah. Dia terlihat sekali sangat risih.“Oh, ya sudah kalau gitu. Bilang dong, kalau sudah punya calon,” ucap ibu sewot. Beliau kan pergi ke dapur.“Emang dasar sinting kamu itu, Yem!” umpat Mamah Atik kesal. Ibu hanya menjulurkan lidahnya saja.Bulek Minah matur padaku mengudang kami sekeluarga untuk datang.“Insya Allah Bulek, kalau tidak ada halangan kami datang. Selamat ya, Mas, akhirnya ketemu juga dengan jodohnya,” kataku.“Terima kasih Mbak, Ita,” jawabnya.Setelah kami asyik ngobrol ngalor ngidul Bulek Minah pamit undur diri katanya masih ada dua orang lagi yang mau diundang.“Huh, kesempatan mentang-mentang ada tamu jadi enggak mau bantuin di dapur!” sindir ibu mertuaku.“Iya, dong.
“Ada apa Dik, sepertinya kamu gelisah sekali?” tanya Mas Danu. Dia memang selalu paham yang aku rasakan.Jujur aku memang resah. Takut sesuatu terjadi setelah ini padahal lima hari lagi orang tua kami akan berangkat umroh.Kutunjukkan ponselku pada Mas Danu. Sudah kuduga dia pun kaget.“Sudah santai saja, Sayang. Kalau mereka macam-macam Mas maju.”Kulihat lagi status Mbak Ning. Dia foto di taman rumahku.Pagar di rumah memang belum jadi masih masa pengerjaan. Sekarang hari Ahad jadi tukang yang kerja juga libur.[Nunggu pembokat lama banget pulangnya. Sabar biar selalu cantik.]Astaghfirullahaladhiim ... berani sekali dia bilang aku pembantu di rumahku sendiri.Setelah aku lihat status WA-nya langsung dihapus. Mungkin Mbak Ning mengira kalau kalau nomorku sudah dihapusnya.Nah, kan, nomorku langsung diblok. Ckckck ... aku heran kenapa mereka jadi seperti ini.Bu RT meneleponku lagi, tapi sengaja tidak aku jawab. Aku masih mau menikmati pesta ini. Aku bahkan jadi berubah pikiran untu
Bugk!Mamah Atik menendang kaki suaminya Mbak Ning.“Kalian mau apa ke sini?” Bapak langsung to the point menanyakan maksud tujuan mereka.“Em ... anu kami mau itu, Pak?” jawab Wira takut-takut.“Kamu itu si songong pasti ada niat terselubung ke sini. Dina, kamu itu enggak punya malu, ya? Sudah diusir masih juga datang ke sini!” Mamah Atik menoyor kepala Dina. Ah, biarkan saja itu kan, sepupu Mamah Atik.“Koper berjejer begini, sudah seperti mau pindahan saja!” sahut ibu mertuaku. Beliau menendang koper kakak-kakakku.“Anu ... kami me—mang mau pindahan,” jawab Wira. Yang lain tentu saja malu. Mereka semua menunduk tidak berniat melihat wajah bapak.“Pindah ke mana?” tanya ibu mertuaku.“Ke sini?” papar Mamah Atik. Wira mengangguk mantap. Ck, dasar tidak tahu malu!“Apa? Heh, tidak bisa! Ini rumah anakku bukan hotel apalagi tempat pengungsian. Kalian pulang!” Usir mertuaku.“Enak aja main usir, ini juga rumah adikku Ita! Dasar orang tua sok kuasa!” sahut Mbak Nur.“Apa kalian ini tida
Aku dan Mas Danu melongo. Ya Allah, tidak menyangka sama sekalili kalau rumah bapak beneran dijual aku pikir kemarin itu hanya menggertak saja.“Jadi mana uang hasil penjualan rumah itu? Apa tidak tersisa sama sekali?” tanya bapak Lagi. Suaranya serak sekali aku yakin bapak menahan tangis.“Kami sudah bilang kan, sudah kami bagi empat, Pak,” jawab Wira ketakutan.Bapak langsung jatuh pingsan. Kami sibuk membaringkan bapak di sofa dan menyadarkannya.“Pergi kalian dari sini, pergi!” Ibu mendorong-dorong tubuh Wira. Aku gegas ikut mengusir mereka dibantu mamah Atik dan ibu mertua langsung menyeret koper mereka keluar. Sementara Mas Danu berusaha membangunkan bapak.Drama pengusiran ini mirip seperti adegan di film-film. Kami terlihat seperti penjahat apalagi keponakanku semua menangis.“Jangan pernah kalian datang ke sini lagi. Ingat, kalian bukan hanya menyakitiku saja, tapi menyaki ke dua orang tua kita.”“Maafkan aku, Ta. Aku rela di sini jadi pembantu asal kami punya tempat tinggal
“Danu, bagaimana katamu aku pakai baju ini?” tanya Mbak Asih pagi ini.Dia memakai pakaian seksi you can see dan androk mini. Dandanya juga cantik. Apa Mbak Asih berniat menggoda Mas Danu? Aku takut dia seperti Mbak Lili.Ada-ada saja kelakuan saudara Mas Danu ini setiap harinya. Kadang buat jengkel kadang pula bikin ketawa sampai perut sakit.Kalau diperhatikan memang Mbak Asih ini lucu sekali. Kemarin dia baru saja patah hati dan nyanyi-nyanyi tidak jelas lalu sekarang sudah bahagia lagi. Semudah itulah dia move on? Padahal sejujurnya aku kasihan sekali dengan dia.“Memang Mbak Asih mau ke mana?” tanyaku. Mbak Asih diam saja malah dia melengos karena tidak suka kutanya.Kalau kata Mamah Atik, aku sudah disuruh berhenti respek sama orang macam Mbak Asih dan Mbak Lili, tapi aku tidak mau kalau aku sama saja seperti mereka berdua itu berarti aku pun menjadi orang yang minim attitude.“Jelek Mbak, pakai baju panjang dan pakai kerudungnya,” jawab Mas Danu. Dia memang tidak suka dengan p
“Dasar kamu itu, ya, Dan. Seleranya rendah sekali. Pasti yang akan kamu bilang cantik adalah si, Ita, kan? Kampungan gitu penampilannya,” ejek Mbak Asih seraya masuk rumah.Selama 8 harian ini ibu tidak ada di rumah. Kami sampai kewalahan menjaga Mbak Asih.Akhirnya kami terpaksa mengurung Mbak asih di dalam rumah.Gas kami cabut, benda-benda senjata tajam seperti pisau dapur, golok, cangkul kami singkirkan. Aku pun tidak berani ke rumah ibu sendiri. Takut Mbak Asih nekat.Motor matic satu-satunya juga dijual. Kami tidak tahu dijual di mana, entah uangnya untuk apa.Jika siang hari Mbak Asih seperti orang biasa pada umumnya. Mau beberes rumah, mandi, bersolek, hanya saja jika diajak ngobrol tidak nyambungan.Jika malam, Mbak asih sering teriak-teriak tidak jelas. Nyetel musik kuat-kuat. Nyanyi tidak jelas pakai speaker, lampu rumah juga di matikan semua.Kabarnya Mas Roni pulang ke rumah orang tuanya bersama istri mudanya. Dia bekerja serabutan di sawah. Padahal orang tua Mas Roni
🌸🌸🌸Pesan dari siapa?[Mas, terima kasih banyak uangnya sudah aku terima].Kubaca pesan masuk dari nomor asing. Tidak biasanya nomor tidak ada namanya di ada HP Mas Danu. Aku segera menghapusnya. Biar saja Mas Danu tidak tahu lagi pula nomornya tidak ada namanya.Tadi pagi sewaktu aku mencuci celana panjangnya yang dipakai kemarin memang menemukan struk bukti transfer sejumlah uang. Cukup banyak tiga juta rupiah atas nama Evi.Mungkinkah yang mengirim pesan barusan adalah Evi. Tapi, siapakah Evi. Biasanya Toni pegawai toko yang baru memang sering minta tolong untuk mentransfer uang pada istrinya di kabupaten lain yang sedang merawat ibunya, tapi apa mungkin nama istri Toni adalah Evi. Selama ini aku pernah berkenalan dan berjumpa dengannya. Ah, aku jadi bingung dan curiga.Kuletakkan kembali ponsel Mas Danu di tempat semula. Aku lebih memilih melanjutkan menyiapkan sarapan. Sudah siang Mas Danu harus segera berangkat ke toko. Alhamdulillah sekarang toko kami ada dua. Meski masih d