“Dasar kamu itu, ya, Dan. Seleranya rendah sekali. Pasti yang akan kamu bilang cantik adalah si, Ita, kan? Kampungan gitu penampilannya,” ejek Mbak Asih seraya masuk rumah.Selama 8 harian ini ibu tidak ada di rumah. Kami sampai kewalahan menjaga Mbak Asih.Akhirnya kami terpaksa mengurung Mbak asih di dalam rumah.Gas kami cabut, benda-benda senjata tajam seperti pisau dapur, golok, cangkul kami singkirkan. Aku pun tidak berani ke rumah ibu sendiri. Takut Mbak Asih nekat.Motor matic satu-satunya juga dijual. Kami tidak tahu dijual di mana, entah uangnya untuk apa.Jika siang hari Mbak Asih seperti orang biasa pada umumnya. Mau beberes rumah, mandi, bersolek, hanya saja jika diajak ngobrol tidak nyambungan.Jika malam, Mbak asih sering teriak-teriak tidak jelas. Nyetel musik kuat-kuat. Nyanyi tidak jelas pakai speaker, lampu rumah juga di matikan semua.Kabarnya Mas Roni pulang ke rumah orang tuanya bersama istri mudanya. Dia bekerja serabutan di sawah. Padahal orang tua Mas Roni
🌸🌸🌸Pesan dari siapa?[Mas, terima kasih banyak uangnya sudah aku terima].Kubaca pesan masuk dari nomor asing. Tidak biasanya nomor tidak ada namanya di ada HP Mas Danu. Aku segera menghapusnya. Biar saja Mas Danu tidak tahu lagi pula nomornya tidak ada namanya.Tadi pagi sewaktu aku mencuci celana panjangnya yang dipakai kemarin memang menemukan struk bukti transfer sejumlah uang. Cukup banyak tiga juta rupiah atas nama Evi.Mungkinkah yang mengirim pesan barusan adalah Evi. Tapi, siapakah Evi. Biasanya Toni pegawai toko yang baru memang sering minta tolong untuk mentransfer uang pada istrinya di kabupaten lain yang sedang merawat ibunya, tapi apa mungkin nama istri Toni adalah Evi. Selama ini aku pernah berkenalan dan berjumpa dengannya. Ah, aku jadi bingung dan curiga.Kuletakkan kembali ponsel Mas Danu di tempat semula. Aku lebih memilih melanjutkan menyiapkan sarapan. Sudah siang Mas Danu harus segera berangkat ke toko. Alhamdulillah sekarang toko kami ada dua. Meski masih d
Mbak Asih menengadahkan tangannya persis anak kecil yang minta uang pada ibunya. Matanya berbinar penuh harap.“Ini, kalau jajan jangan banyak-banyak ya, Mbak. Aku sudah tidak punya uang lagi.”“Kata siapa? Uangmu banyak kok, enggak berseri,” jawab Mbak Asih.Sekarang Mbak Asih otaknya agak terganggu. Kadang waras kadang seperti orang stres. Aku sebenarnya kasihan, tapi mau bagaimana lagi mungkin ini takdir yang harus Mbak asih jalani.Kata orang Mbak Asih kena guna-guna sudah sempat sembuh tapi kambuh lagi. Kata orang lagi, guna-gunanya susah hilang karena selain dapat kiriman dari orang lain dia pun terkena sendiri akibat ilmu sihir yang dia pakai bersama Mas Roni suaminya dulu.Mas Roni sudah menikah lagi, sesekali datang ke sini. Aku lihat Mas Roni sepertinya masih cinta pada Mbak Asih mungkin keadaan yang tidak memungkinkan karena Mas Roni sudah menikah lagi.“Ita, malah bengong. Nanti kamu kesambet jin. Tambah lagi uangnya.”“Sudah enggak ada lagi, Mbak.”“Pelit banget kamu, Ta.
~k~u🌸🌸🌸Baru saja selesai salat duha Mbak Asih sudah kembali ke rumahku. Malahan masuk ke kamarku tanpa permisi dan mengacak-acak isi laci meja riasku.“Mbak, ya Allah kalau masuk rumah orang itu salam dulu!” tegurku seraya kutampik tangannya yang sedang sibuk mengobrak-abrik isi laci.“Gimana aku mau salam, kamu aja lagi salat. Pasti kamu juga enggak bisa jawab kan, kalau enggak jawab salam dosa,” kilahnya.“Ada apa Mbak Asih ke sini?” tanyaku kesal.“Aku mau minta make up, Ta. Punyaku sudah habis dan belum ada uang untuk beli lagi. Tapi, ternyata sama aja kamu pun tidak punya. Hanya bedak sama lipstik ini.”“Aku memang enggak pakai make up lengkap seperti Mbak. Aku hanya pakai skincare sama bedak ini saja.”“Kalau gitu skincarenya untuk aku ya, Ta. Kamu beli lagi aja, kan, duit kamu banyak,” rengek Mbak Asih.“Ambil aja, Mbak kalau mau. Memang Mbak mau ke mana kok sudah rapi begini?” Aku heran tadi pas minta uang seperti anak kecil ini sudah waras lagi. Pakai baju seksi dengan da
Assalamualaikum ... selamat pagi semua. Semoga sehat dan bahagia selalu. Follow akunku, yaaa.🌸🌸🌸“Kenapa, Dik. Dari pagi kok, cemberut aja? Apa Mas ada salah?” Mendengar pertanyaan Mas Danu kalau tidak dosa sebenarnya ingin sekali marah-marah. Memang di mana-mana laki-laki itu enggak peka sama sekali.“Pikir aja sendiri!” sungutku. Mas Danu mengerutkan keningnya. Lalu kembali main HP.Huh! Apa ponsel itu lebih berharga dari pada aku istrinya!Tidak tahan dengan sikap Mas Danu aku putuskan ke luar kamar. Kubanting pintu kuat sekali hingga Kia kaget. Mas Danu melongo heran melihat tingkahku.Rasain! Memang dia sendiri yang bisa cuek aku pun bisa. Memang dia aja yang bisa sibuk dengan ponselnya aku pun bisa. Palingan juga dia berbalas pesan dengan nomor misterius tadi. Sungguh menyebalkan dan aku tidak ikhlas.Udara malam dingin menusuk tulang, tapi aku ogah masuk ke dalam kalau Mas Danu belum menjemputku di sini. Lebih baik sakit badan karena masuk angin kedinginan di luar dari pad
“Jadi, Evi adalah adik tiriku. Dia anak dari suami ibu kandungku. Evi diasuh ibuku sejak usianya dua tahun. Begitulah yang kudengar dari ceritanya.”“A—dik tiri?” Mas Danu mengangguk.“Bagaimana bisa bertemu? Almarhum Bapak saja susah mencari keberadaan Ibu waktu itu.” Tanyaku penuh selidik. Ekspresi Mas Danu menunjukkan tidak sedang bercanda ataupun berbohong.“Paman, adik dari Ibu tidak sengaja belanja ke toko kita. Karena di toko kita terpasang foto bapak, ibu, dan aku waktu kecil membuat Paman penasaran dan akhirnya terjadi obrolan panjang lebar kemudian besoknya paman datang bersama Evi yang mengaku sebagai adik tiriku. Kemudian kami saling bertukar nomor telepon. Tidak perlu menunggu lama Evi minta uang, sembako, ini dan itu."“Mas, tidak sedang mengarang cerita, kan?”“Mas, ini sekolah pun tidak lulus bagaimana bisa mengarang cerita,” jawab Mas Danu dijawilnya hidungku.“Berarti Ibunya Mas masih ada?”“Sudah meninggal, Dik. Hanya tinggal adik Ibu yang sekandung. Itu yang tingg
“Masuk, Bu?” Ibu mertuaku sekarang kalau salamnya belum dijawab yang empunya rumah tidak akan masuk. Itu terjadi setelah pulang umroh.Ibu gontai menuju di mana Mas Danu dan Mamah Atik duduk.“Ada apa, Bu?” Mas Danu menyambut ibu dan mengajaknya duduk. Belum apa-apa ibu sudah menangis.“Biarkan ibumu nangis dulu, Dan,” ucap Mamah Atik.Aku segera membuatkan teh hangat untuk ibu.“Minum dulu tehnya, sudah dibuatkan itu sama Ita.” Ibu menyeruput teh yang kubuat berkali-kali hingga hampir tandas.“Dan, Mbakmu enggak pulang semalaman. Ibu khawatir sekali,” ucap ibu.“Astaghfirullah ... ke mana si Asih. Kemarin memang dari sini. Katanya mau kerja,” sahut Mamah Atik.“Benar itu, Dik?”“Iya, Mas. Kemarin pagi Mbak Asih ke sini minta uang sama minta make-up setelah itu pamit pergi kerja,” jawabku jujur.“Apa Ibu sudah telepon?”“Sudah puluhan kali Ibu telepon, nyambung , tapi tidak dijawab.”“Kok, aneh. Apa jangan-jangan telepon Mbak Asih hilang.”“Kalau hilang dan ketemu orang lain sudah pa
“Mainan sama Kia. Anakmu ini cantik dan pintar sekali ya, Dan. Aku jadi pingin punya anak,” jawab Mbak Asih seolah-olah dia tidak sedang sakit.“Alhamdulillah iya, Mbak.“ Mas Danu memangku Kia. Aku ikut duduk di lantai bersama mereka.“Mbak Asih kemarin ke mana sih, katanya kerja kok, enggak pulang?” tanyaku hati-hati. Mbak Asih hanya menggeleng saja.“Mbak Asih, Ita itu mau ngajak shopping beli baju baru. Eh, malahan Mbak Asih enggak pulang-pulang,” kata Mas Danu lagi.“Harusnya kamu telepon dulu, Ta. Jangan main asal tunggu. Kalau kamu kasih tahu mau ngajakin aku shopping pasti aku enggak mau janjian sama Mas Roni,” jawab Mbak Asih sambil menoyor kepalaku.“Oh, jadi Mbak Asih pergi shopping sama Mas Roni?” tanyaku.“Bukan shopping sih, tapi bulan madu. Kami tidur di hotel.” Mendengar pengakuan Mbak Asih Mas Danu sangat marah. Aku pun kaget. Kalau sudah ngomongin hotel sudah pasti ada bumbu-bumbu di dalamnya.“Mbak, harusnya jangan mau diajak Mas Roni kalau enggak shopping. Enak shop